JIKA berkunjung ke Cianjur, anda akan menemukan tempat bernama Salakopi (ada juga yang bilang Selakopi). Kawasan yang masuk wilayah kota ini termasuk salah satu pusat keramaian. Ada mal besar dan kafe-kafe yang setiap harinya dipenuhi muda-mudi. “Salakopi memang tempat yang nyaman buat kongkow-kongkow sambil ngopi,” ujar Adam (31), anak muda Cianjur.
Namun, tak banyak orang Cianjur tahu mengapa tempat tersebut bernama Salakopi. Seorang sepuh bernama Ohim (74) yang agak paham cikal bakal nama itu. Menurutnya, saat muda dia kerap mendengar bahwa zaman baheula, Salakopi merupakan hamparan kebun kopi produktif. “Nama Salakopi itu sendiri katanya berasal dari dua kata: sela dan kopi, artinya di sela-sela tumbuhan kopi,” ungkap kakek lima cucu ini.
Bisa jadi keterangan Ohim itu bukan isapan jempol. Sebab, menurut sejarawan Jan Breman, Cianjur merupakan pemasok kopi terbesar untuk VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) pada awal abad ke-18. Bahkan pada 1711, Bupati Wiratanu III dari Cianjur merupakan penguasa lokal pertama di Priangan yang menyetor hampir seratus pikul kopi kepada VOC.
“Harga yang dia peroleh dari VOC adalah 50 gulden per pikul (satu pikulan = 125 pon),” tulis Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870.
Pasokan kopi semakin melimpah saat VOC memberlakukan sistem tanam paksa dalam nama Preanger Stelsel (Sistem Priangan) pada 1720. Itu terjadi karena “jasa” para bangsawan lokal (menak dan santana) yang menekan masyarakat untuk menjual produk mereka hanya kepada VOC dengan harga murah.
Menurut Gunawan Yusuf dalam Sejarah Cianjur Bagian 7, di bawah pengendalian Wiratanu III, pada 1724, Cianjur bahkan pernah memanen kopi sebanyak 1.216.257 pikul (setara dengan harga 202.271,25 ringgit). Jumlah yang sangat fantastik saat itu.
“Setengah hingga tiga perempat perdagangan kopi dunia berasal dari VOC dan jumlah itu setengahnya dihasilkan dari Priangan bagian barat, yakni Kabupaten Cianjur…” tulis G.J. Knaap dalam Coffee for Cash.
Terlebih, menurut sejarawan Saleh Danasasmita, kopi asal Priangan (baca: Cianjur) memiliki kualitas terbaik hingga menjadi andalan VOC di pasaran dunia. Akibatnya, kas keuangan pemerintah Hindia Belanda jaman Herman Willem Daendels pernah surplus. “Karena kopi Priangan pula Belanda sempat menyebut kawasan tersebut sebagai gabus pelampung Belanda di tanah Hindia,” tulis Saleh dalam Sejarah Bogor Bagian I.
Keuntungan yang diraih VOC berbanding lurus dengan “percikan laba” yang didapat para bangsawan. Sebagai contoh, Breman mengungkapkan bahwa pada 1726 saat Wiratanu III meninggal, Bupati Cianjur ke-3 itu masih berhak mendapat 26.000 ringgit gulden ditambah bunga atas jumlah itu.
Sejarawan C.R. Boxer dalam Jan Kompeni: Sejarah VOC dalam Perang dan Damai, menyebut sekitar empat sampai enam juta pon kopi diangkut dari Priangan menuju Belanda pada 1730. VOC sendiri tidak kesulitan dalam memasarkan bijih hitam, yang mereka sebut sebagai “kopi Jawa”, ke Eropa. Begitu populernya “kopi Jawa” di Eropa, hingga seorang pendeta, Francois Valentijn, mengeluhkan kecanduan orang-orang Eropa terhadap benda hitam dari Hindia itu.
“Dia mengeluh bahwa kopi Jawa sudah menjadi begitu umum disukai hingga pelayan-pelayan wanita serta penjahit tidak mau bekerja sebelum menikmati cairan hitam tersebut…” tulis Boxer.
[pages]