SUASANA Kashmir yang sempat tenang berubah mencekam. Jaringan-jaringan telekomunikasi hingga internet diputus otoritas India. Puluhan ribu serdadu ditempatkan. Jam malam diberlakukan di wilayah dengan otonomi khusus tersebut. Para turis digiring keluar Kashmir. Sekira 400 politisi hingga aktivis pro-separatis ditangkapi.
Selaku tetangga yang juga berpenduduk mayoritas muslim, Pakistan prihatin mengatasnamakan solidaritas sesama muslim. Perdana Menteri (PM) Imran Khan menyerukan bahwa jika India tak menghentikan kebijakan baru mereka terhadap wilayah otonomi Jammu dan Kashmir, bukan tidak mungkin pecah perang lagi antara India dan Pakistan sebagaimana yang pernah terjadi pada 1947, 1965, 1971 dan 1999.
“Pemerintahan nasionalis-Hindu India (PM Narendra Modi dan partai penguasa BJP/Bharatiya Janata Party, red) mempromosikan ideologi rasis. Ini akan berujung pada sebuah perang yang takkan dimenangkan pihak manapun dan implikasinya akan mengglobal,” kata Khan, dikutip National Public Radio, Rabu (7/8/2019).
Khan juga khawatir India bisa melancarkan pembersihan etnis di Kashmir untuk kemudian membanjiri Kashmir dengan etnis Hindu. Oleh karenanya, Khan akan membawa isu ini ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Sidang Umum PBB.
Pangkal dari kekacauan ini adalah disahkannya Perintah Presidensial Parlemen India dalam rangka reorganisasi Undang-Undang Jammu dan Kashmir pada Senin (5/8/2019) lalu. Regulasi itu mencabut pasal 370 dalam Konstitusi India yang menjadi dasar otonomi khusus wilayah Jammu dan Kashmir. Pasal ini mengizinkan Kashmir di bawah pemerintahan federal India berhak punya bendera negara, pemerintahan, dan konstitusi sendiri namun tetap bagian dari India.
Baca juga: Pemberontakan Terhadap Sastra India
Dengan Perintah Presidensial itu, status khusus wilayah Jammu dan Kashmir dilucuti dan sistem hukum serta pemerintahannya bakal sama dengan sejumlah negara bagian di India. Wilayah itu juga akan dibagi dua menjadi Negara Bagian Jammu dan Kashmir serta Negara Bagian Ladakh.
Kebebasan berkonstitusi dan perlindungan warga lokal bakal hilang. Pasalnya, warga luar Kashmir bakal diizinkan berdiam dan memiliki tanah di wilayah itu, hal yang sebelumnya dilarang.
Sengketa Tiada Habis
Isu Kashmir merupakan buah dari konflik berkepanjangan antara India dan Pakistan. Wilayah ini jadi rebutan sejak pemerintahan British India, pemerintahan kolonial sebelum merdekanya dua negara, angkat kaki pada 1947. Musababnya, Pakistan mendukung Pemberontakan Poonch, medio Juni-Oktober 1947, yang mengacaukan Negara Bagian Jammu dan Kashmir semasa dipimpin Maharaja Hari Singh.
Kekacauan kian bertambah setelah dihelatnya Konferensi Muslim yang pro-Pakistan dan Konferensi Nasionalis yang pro-India. Maharaja sendiri lebih ingin berpijak pada netralitas terkait friksi antaretnis.
Konfik berbalut kekerasan pun terjadi antara pemberontak Barisan Sardar dan demonstran muslim dengan pasukan Hindu di bawah Pemerintahan Provisional Azad bentukan Konferensi Nasionalis. Mengutip analis politik-strategi Asia Selatan Christopher Snedden dalam Kashmir: The Unwritten Story, pemberontakan itu berakhir dengan lengsernya kekuasaan sang maharaja. Pemimpin pemberontakan dari milisi Sardar yang merupakan eks-perwira British India, Muhammad Ibrahim Khan, kabur ke Lahore. Ia dilindungi PM Pakistan Liaquat Ali Khan yang menolak permintaan Pemerintahan Provisional Azad untuk menangkap dan mengirim balik Ibrahim.
“Pada 2 Oktober, Asosiasi Kashmir di Lahore mengirim telegram ke (presiden) Muhammad Ali Jinnah, memintanya turun tangan karena etnis Muslim di Poonch dibantai dan Muslim di area lainnya dipersekusi paramiliter Dogra,” sebut Snedden.
Baca juga: Kecelakaan Pesawat Garuda di Mumbai India
Perang India dan Pakistan terkait Kashmir akhirnya terjadi untuk kali pertama pada 22 Oktober 1947-5 Januari 1949. Menilik V.P. Malik dalam Kargil from Surprise to Victory, Perang Indo-Pakistani I itu membawa korban 1.104 jiwa di pihak India dan 6.000 di pihak Pakistan.
Gencatan senjata yang dimediasi PBB mengubah batas geografis Kashmir lewat perjanjian Line of Control (LoC). Wilayah Azad Kashmir dan Gilgit-Baltistan diklaim Pakistan, sementara Lembah Kashmir, Jammu, dan Ladakh masuk ke India.
Di wilayah Kashmir naungan India, diberlakukan Pasal 370 dan Pasal 35A mulai 1954. Monarki Jammu dan Kashmir dilikuidasi kemudian lewat kedua regulasi itu diberian status khusus dan otonomi.
Perang Indo-Pakistani pecah lagi pada Agustus-September 1965. Pemantiknya, upaya Pakistan mengipasi populasi Muslim untuk memberontak. Victoria Schofield dalam Kashmir in Conflict: India, Pakistan and the Unending War menyebutkan, Angkatan Darat (AD) Pakistan merekrut dan melatih milisi mujahidin untuk kemudian menginfiltrasi wilayah Jammu dan Kashmir lewat Operasi Gibraltar.
Belakangan, militer Pakistan benar-benar turun gunung. Kala itu India dan Pakistan juga sedang terjadi semacam perlombaan senjata. Selain di udara dan laut, di darat terjadi pertempuran tank terbesar pasca-Perang Dunia II. India punya 720 tank berbagai jenis, sementara Pakistan 756 tank, di mana sama-sama menggunakan “produk barat”.
Indonesia ikut terlibat dengan mendukung Pakistan. Menyitat memoar Panglima AU Pakistan Marsekal Ashgar Khan, The First Round, Presiden Soekarno menyokong dengan bantuan sejumlah jet tempur MiG-19, dua kapal patrol, dan satu kapal selam. Konflik kedua India-Pakistan soal Kashmir itu lantas “dibubarkan” PBB lewat desakan gencatan senjata hingga Deklarasi Tashkent, 10 Januari 1966.
Baca juga: Alasan Indonesia Mendukung Pakistan daripada India
Kendati sejak 1965 India dan Pakistan tak pernah lagi berperang terbuka terkait sengketa Kashmir, Perang Indo-Pakistan III pecah pada 1971. Namun, ia merupakan konflik menjelang lahirnya negara Bangladesh di Pakistan Timur.
Dari waktu ke waktu, konflik bersenjata kerap terjadi mengingat munculnya sejumlah organisasi hingga milisi yang cenderung separatis pada 1970-an, seperti Jammu and Kashmir Liberation Front (JKLF), Jemaat e-Islami Jammu and Kashmir (JIJK), atau Muslim United Front (MUF). Aksi teror antara kelompok-kelompok separatis itu dan pemerintah India pun acap bergulir seiring kurun.
Sebelum ketegangan akibat Perintah Presidensial belum lama ini, India dan Pakistan sempat bergelut dalam konfrontasi militer di wilayah perbatasan. Pemicunya aksi bom mobil milisi Jaish-e-Mohammad pada 14 Februari 2019 yang menewaskan 40 tentara perbatasan India.
Duabelas hari berselang, India membalas dengan serangan udara ke Balakot di wilayah Pakistan yang diduga jadi sarang milisi separatis Kashmir pelaku bom mobil. Keesokan harinya AU Pakistan bikin perhitungan, yang mengakibatkan terjadinya pertempuran udara. Pilot MiG-21 “Bison” India ditembak jatuh dan pilotnya, Abhinandan Varthaman, ditahan. Ia baru dibebaskan 1 Maret 2019.