Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Nenek yang Dilepas Pembajak Pesawat Garuda Woyla

Tak mau dibebani seorang perempuan sepuh yang terus menangis, para pembajak membebaskan nenek asal Medan ini di Penang.

Oleh: Martin Sitompul | 30 Mar 2021
Ilustrasi Hulda Panjaitan br, Tobing, salah satu penumpang pesawat Garuda DC-9 "Woyla" yang dibajak pada akhir Maret 1981. (Repro Tempo, 4 April 1981 (Betaria Sarulina/Historia)

Setelah berhasil dikuasai, para pembajak Pesawat Garuda DC-9 “Woyla” mulai beraksi. Dengan menodongkan pistol ke tubuh kapten pilot Herman Rante, para pembajak memerintahkan pesawat  bergerak menuju Kolombo, Sri Lanka. Meski dalam tekanan, Herman Rante menolak karena bahan bakar pesawat yang terbatas. Lagi pula pesawat yang dikemudikannya tidak dilengkapi dengan peta penerbangan  internasional. Akhirnya, pembajak setuju terbang ke Penang, Malaysia, sebagai tujuan sementara.

Para penumpang, dikisahkan dalam majalah Senakatha No. 8, April 1990, awalnya bingung menghadapi keadaan tersebut. Hiromi Higa, penumpang kebangsaan Jepang tidak memahami apa yang terjadi. Kebanyakan penumpang semula menyangka bahwa aparatur keamanan sedang menangkap buronan. Ada pula yang mengira sedang ada pengambilan adegan film aksi  dan menganggap aksi bersenjata itu sebagai guyonan belaka. Penumpang baru menyadari pesawat tengah dibajak setelah barang-barang milik mereka mereka ditadah oleh para teroris itu.

“Siapa di antara kalian yang melawan perintah akan ditembak, atau pesawat akan diledakkan,” demikian ancaman pembajak.

Advertising
Advertising

Di tengah kekalutan, seorang penumpang perempuan yang duduk di baris ke-2 dari depan di kelas ekonomi tidak henti-hentinya menangis. Hulda Panjaitan br. Tobing, nenek berusia 76 tahun itu kaget melihat gerombolan pembajak mengacungkan pistol dan pisau. Dia menyangka sedang terjadi perang dalam pesawat.

Dilepas Pembajak

Hulda berasal dari Tarutung, Sumatra Utara. Dia sedang menjenguk anaknya, seorang pegawai PT. Pelni yang bertugas di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sang anak sempat membawa Hulda berlibur ke Bali kemudian mengantarnya sampai Jakarta. Tidak lupa Hulda membawa dua tongkat Bali yang elok sebagai buah tangan.   

“Setelah menginap dua hari di Jakarta, Sabtu itu (28/3) ia ingin kembali ke Medan, dan naik pesawat No. 206 yang kemudian dibajak itu,” tulis Tempo, 4 April 1981.  

Baca juga: Cerita Korban Pembajakan Garuda Woyla

Selama penerbangan menuju Penang, Hulda terus meronta. Di mata nenek itu, perangai para pembajak sangatlah kasar dan bengis. Seorang dari antara pembajak menghardik, “Jangan mencoba bergerak, nanti kepalamu saya hancurkan.” Ketika pesawat Garuda Woyla tiba di Bandara Bayan Lepas, Penang pukul 11.48, tenggorokan Hulda sudah kering lantaran lelah berteriak.

Kendati sudah mendarat, penumpang tidak diizinkan turun dan tertahan dalam pesawat. Pukul 12.35, pembajak membuka kontak lewat saluran radio. Mereka meminta disambungkan dengan pejabat maskapai Garuda setempat. Maka, Manajer Garuda Distrik Penang Supangat Yusar-lah yang berhubungan dengan pembajak.

Menurut B. Wiwoho dalam Operasi Woyla: Sebuah Dokumen Sejarah, pembajak mengajukan tiga tuntuan: peta perjalanan menuju Kolombo, bahan bakar, dan makanan. Bagi pengantar peta perjalan, pembajak meminta remaja berusia 15 tahun sebagai kurir. Pembajak juga memperingatkan agar sang kurir tidak memakai baju dan cukup mengenakan celana dalam. Namun saat itu, tidak ada remaja tanggung yang bisa jadi sukarelawan.

“Adalah reserse polisi Inspektur Nasir Yang (25 tahun) yang terpilih untuk membawa peta penerbangan ke pesawat. Perawakannya memang agak pendek 160 sentimeter, rambutnya sedikit panjang,” tulis Wiwoho.

Baca juga: Sebelum Pembajakan Pesawat Garuda

Nasir Yang datang dengan skuter motornya yang diparkir sekira seratus meter dari Woyla.  Ketika mendekati pesawat, Nasir Yang sempat melihat penampakan dua pembajak. Seorang berkulit legam dengan rambut keriting. Seorang lagi berkulit lebih putih tapi pada dahinya ada bercak hitam. Di dalam pesawat, pembajak memerintahkan Hulda keluar dari pesawat. Setelah pembajak menerima peta, Nasir Yang diminta sekalian membawa Hulda.

Sewaktu Hulda dilepaskan, sebenarnya ada juga penumpang lain yang lanjut usia minta ikut turun. Seperti dikutip Sinar Harapan, 7 April 1981, dia berkata kepada pembajak, “Saya juga sakit, Pak. Di dompet saya itu ada surat dokter.” Siapa nyana, permintaan itu dibalas pembajak dengan gamparan.

Hulda menjadi satu-satunya penumpang yang diturunkan di Penang. Padahal, dalam pesawat juga ada seorang penumpang anak kecil berusia 6 tahun bernama Hendra. Anak itu tampaknya tidak menjadi gangguan bagi para pembajak.     

Saksi Pertama

Hulda agak heran menyaksikan seseorang bertelanjang dada membantunya menuruni tangga pesawat. Perasaaan gelisah tiba-tiba menyelimuti diri sang sepuh, takut kalau dirinya bakalan dibunuh. Tapi, dengan suara ramah, Nasir Yang membimbing Hulda menuju skuter motornya. Dengan berboncengan, mereka menuju menara pengawasan bandara.

Setibanya di menara pengawas, Hulda masih gemetaran. Petugas bandara berusaha menghiburnya. Ketika dimintai keterangan, Hulda kesulitan menuturkan apa yang terjadi karena kendala bahasa. Hulda lebih fasih berbahasa Batak daripada bahasa Indonesia sehingga tidak banyak yang bisa diceritakannya.

Setelah Hulda lebih tenang, akhirnya diperoleh gambaran mengenai para pembajak. Seperti dikutip Tempo, Hulda menujukkan sebuah gambar orang bermata ceruk, berkumis, dan berjenggot kecil. Dia juga menuturkan, ketika semua penumpang berdoa menurut keyakinan masing-masing, seorang pembajak berkilah bahwa doa-doa mereka tidak akan berhasil, sebab para pembajak “di jalan yang benar”.

Baca juga: Pramugari Hadapi Pembajakan

Demi memulihkan kondisinya, Hulda dirawat di kediaman Supangat. Kejadian pembajakan membuatnya enggan naik pesawat terbang lagi. Namun, Hulda tetap mendoakan yang terbaik bagi para penumpang yang berada di pesawat Woyla. “Mudah-mudahan mereka semua selamat,” katanya.  

Sementara itu, pembajak berhasil memperoleh semua tuntutannya selama singgah di Penang. Peta menuju Kolombo sudah berada di tangan mereka. Sebanyak 10.210 liter bahan bakar telah diisi ke tangki minyak Woyla. Pun demikian dengan makan siang yang dipasok pihak Garuda Penang berupa 60 kotak nasi dengan lauk berisi ayam, roti kismis, kue dan cangkir plastik berisi teh dan susu. Tapi, kondisi dalam pesawat makin tidak menentu. Menu lezat itu tidak membuat kondisi penumpang menjadi tenang. Saat itu, tiada seorang pun penumpang yang mengetahui kemana tujuan penerbangan selanjutnya.

Pukul 16.05, Woyla lepas landas dari Bandara Bayan Lepas. “Dari Penang para pembajak memerintahkan pilot terbang ke Bangkok setelah menurunkan Ny. Panjaitan (76 tahun) di Penang,” demikian keterangan yang dilansir harian Angkatan Bersenjata, 31 Maret 1981.

TAG

pembajakan garuda woyla

ARTIKEL TERKAIT

Antara Lenin dan Stalin (Bagian II – Habis) Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Jenderal Nasution Mengucapkan Selamat Hari Natal Musuh Napoleon di Waterloo Hina Diponegoro Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Ketika Kapolri Hoegeng Iman Santoso Kena Peremajaan Sekolah Dokter Dulu Sekolah Miskin Setelah  Jadi ABRI, Polisi Jadi Alat Politik Penguasa Cerita di Balik Pengunduran Diri Bung Hatta Akibat Bantuan untuk Penduduk Papua Dikorupsi