Pada 16 November 1965, Tuba bin Abdul Rochim, seorang pemuda dari Brebes, ditangkap karena menjadi anggota Pemuda Rakyat. Laki-laki yang lahir pada 14 April 1944 ini kemudian ditahan di Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba. Satu bulan kemudian, ia dipindahkan ke RTC Tangerang.
Pada awal Februari 1966, proyek kerja paksa di RTC Tangerang dimulai. Para tahanan politik harus bekerja menggarap lahan untuk ditanami padi. Tuba termasuk di antara para pekerja paksa itu.
Setelah tiga bulan menggarap lahan, Tuba dipindahkan ke bagian dapur untuk mempersiapkan ransum tapol, jatah makan peleton pengawal, dan petugas sipir penjara. Selain itu, Tuba dan 24 orang lainnya ditugasi untuk mencari kayu bakar ke daerah Serpong, Lengkong, Karawaci, dan sekitarnya.
Baca juga: Para Tapol dan Anjingnya
Dengan dikawal seorang CPM dan dua orang hansip penjara, mereka diperbolehkan mencari kayu bakar ke rumah-rumah penduduk dan menebang pohon yang cabangnya sudah berlebih. Setiap harinya, Tuba harus mengumpulkan 10 kubik kayu bakar.
Hingga pada suatu hari, pekerjaan mencari kayu bakar ini membuatnya bertemu dengan seorang gadis desa yang tinggi semampai dan berkulit kuning langsat. Tuba jatuh hati dan mereka pun berkenalan.
"Dia masih SMP. Namanya Aisyah. Tahi lalatnya itu gede di sini," kata Tuba kepada Historia sambil menunjuk dahi sebelah kirinya.
Tuba dan Aisyah semakin dekat karena Tuba sering mencari kayu bakar di sekitar rumah Aisyah. Walaupun Tuba seorang tahanan politik, Asiyah menerima apa adanya.
"Dan dia mengharapkan saya agar nanti, kalau misalkan bebas bisa bersatu lagi," cerita Tuba.
Namun, perjumpaan Tuba dan Aisyah tak berlangsung lama. Hampir satu tahun mereka tidak bertemu karena Tuba pindah tempat mencari kayu bakar.
Pada Agustus 1970, dalam rangka HUT ke-25 Republik Indonesia, Kota Tangerang ramai oleh pawai dan berbagai pertunjukan kesenian. Di Sungai Cisadane digelar perlombaan perahu.
Baca juga: Peliknya Menjalin Komunikasi dengan Tapol
Sementara itu, Tuba yang dipekerjakan sebagai pembantu di rumah Komandan Kodim Tangerang, sedang mencuci pakaian di tepi Sungai Cisadane. Tak berapa lama, seorang gadis tiba-tiba datang mendekatinya dan berkata, "Bang, istirahat dulu." Gadis itu kemudian membungkukkan badan dan meletakan bungkusan makanan.
"Bang istirahat dulu, ini aku bawain makanan," kata gadis itu lagi.
Ketika Tuba menoleh ke arah gadis itu, ia terkejut mendapati Aisyah, gadis desa yang ia rindukan telah berdiri di hadapannya. Tuba langsung menjabat tangan Aisyah dengan erat dan enggan melepaskannya. Aisyah lalu bercerita tentang usahanya mencari Tuba.
"Jadi dia selalu ingat Bang Tuba," kata Tuba.
Hampir dua jam mereka bercerita sambil menghabiskan kue pancong. Aisyah kemudian pamitan sambil memberikan koran yang dibungkus kain putih.
Sejak itu, setiap hari Aisyah menemui Tuba di tepi Sungai Cisadane dan memberikan koran kepada Tuba ketika ia sedang mencuci pakaian.
"Kalau sore, dia itu beli koran yang baru, kemudian dibungkus pakai kain putih, kemudian ditaruh di bawah batu. Bang itu barangnya di bawah batu itu," kata Tuba menirukan Aisyah.
Baca juga: Tak Ada Lauk untuk Tapol Moncongloe
Koran pemberian Aisyah itu menjadi satu-satunya sumber informasi tentang dunia luar bagi Tuba dan teman-temannya di dalam penjara.
"Pertemuan saya dengan Mbak Aisyah diamini (oleh teman-teman), disetujui untuk kepentingan politik, bolehlah pacaran. Sehingga saya tidak ragu-ragu. Sehingga setiap hari berita masuk terus. Saat itu susah sekali untuk mendapatkan surat kabar," terangnya.
Tuba kemudian meceritakan kisah cintanya kepada temannya, Slamet Riyadi. Slamet pun membuatkan lagu berdasar kisah Tuba dan Aisyah. "Kalau begitu saya ekspresikan kisah kamu itu jadi lagu," kata Slamet kepada Tuba.
"Boleh silahkan saja. Asal namanya tidak perlu nama aslinya. Tapi bikin saja Melati," jawab Tuba.
Akhirnya, jadilah lirik lagu berjudul Melati di Tepi Cisadane, yang mengisahkan asmara antara tahanan politik dan seorang gadis desa. Komposisi musiknya dibuat oleh teman Tuba bernama Ari Matupalewa.
"Berkesan sekali lagu itu sampai sekarang betul-betul saya simpan," ungkap Tuba.
Baca juga: Tujuh Tahanan Politik Perempuan di Kamp Plantungan
Pada 1973, hubungan Tuba dan Aisyah harus terhenti. Tuba dipindah lagi ke penjara Salemba selama satu bulan. Kemudian bersama 1.000 lebih tahanan politik, ia dipindahkan ke Pulau Nusakambangan hingga akhirnya dibawa ke Pulau Buru pada November 1976.
Pada November 1979, Tuba dibebaskan dari Pulau Buru. Ia mencoba untuk mencari Aisyah. Setelah beberapa kali mondar-mandir di sekitaran rumah Aisyah, ia bertemu dengan seorang perempuan yang mirip dengan pujaan hatinya. Namun, Tuba begitu sungkan untuk menegur.
"Itu ada seorang perempuan mukanya persis sama, tahi lalatnya juga sama," ujar Tuba.
Selain karena takut salah orang, Tuba berpikir bahwa mereka sudah putus hubungan cukup lama. Ia bahkan mendapat informasi bahwa Aisyah sudah menikah dengan orang lain.
Tuba ikhlas tidak berjodoh dengan Aisyah. Toh, pada 1980, ia menikah dengan perempuan yang juga menerimanya apa adanya. Meski demikian, ia masih berharap bisa bertemu dengan mantan kekasihnya untuk melegakan hati.