DALAM sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia 1945-1949, pemerintah Australia merupakan satu dari sekian pemerintahan di dunia yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Bahkan Republik Indonesia yang masih muda belia menunjuk Australia jadi salah satu dari tiga anggota Commission of Good Offices (Komisi Jasa Baik yang lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara, KTN). Belanda memlih Belgia dan kedua negara, Indonesia dan Belanda, sepakat memlih Amerika Serikat sebagai negara ketiga.
Anggota KTN Australia yang diwakili oleh Richard Kirby mulai bertugas di Indonesia pada Oktober 1947 untuk meninjau situasi. Pada saat itu pemerintah Australia berada di tangan Australia Labor Party (Partai Buruh Australia, ALP), sebuah partai sosial demokrat moderat. Sementara itu oposisi di dalam parlemen Australia dipimpin oleh Robert Menzies yang lebih berpihak ke pihak kolonial Belanda Sikap elit politik Australia menyoal Indonesia terbelah saat itu.
Sejak awal abad 20 sampai sekarang, sejarah hubungan Australia dengan Indonesia selalu berada dalam situasi sikap yang terbelah. Acapkali hanya elit yang terbelah sikapnya, tetapi tidak demikian dengan sikap rakyat Australia secara keseluruhan. Baik penguasa maupun rakyat punya sejarahnya masing-masing, khususnya dalam soal hubungan dengan Indonesia. Kadang-kadang soal ini juga melahirkan berbagai jenis kontradiksi.
Adalah betul kalau pemerintah ALP pernah menjadi pendukung kemerdekaan Indonesia. Tetapi hal itu lebih mencerminkan sebagai hasil desakan dari bawah, desakan dari rakyat biasa di Australia, daripada sikap resmi pimpinan ALP itu sendiri.
Sebelum Perang Dunia Kedua meletus, pemerintah Australia di bawah ALP mengakui sepenuhnya legalitas dan legitimasi kediktatoran kolonial yang berlangsung di Hindia Belanda. Tidak pernah dipertanyakan apakah kolonialisme di sana merupakan sebuah bentuk penindasan atau bukan. Bahkan ketika Jepang menyerbu Hindia Belanda pada 1942, pemerintah ALP mengizinkan pemerintahan Hindia Belanda memindahkan lokasi kantor-kantor pemerintahan dari Batavia ke Melbourne dan kemudian ke Brisbane, Australia. Kapal terbang Qantas menyelamatkan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda dan stafnya dengan jalan menjemput mereka di Cilacap dan menerbangkannya ke kota Broome di Australia Barat sebelah utara.
Alasan Australia menerima Belanda bisa dimengerti jika melihat kenyataan bahwa saat itu negeri Belanda sedang dijajah oleh tentara fasis Nazi dan Belanda menjadi sekutu Inggris Raya dan Australia menghadapi tentara Nazi. Tetapi yang tidak dapat dipahami adalah sikap pemerintah ALP, yang didukung penuh oleh barisan opposisinya Robert Menzies, untuk menampung tahanan-tahanan politik pemerintah kolonial Belanda di dalam penjara Australia. Pemerintah Hindia Belanda, didukung oleh Jenderal Douglas MacArthur, meminta izin kepada pemerintah Australia untuk memindahkan tahanan dari Boven Digul di Papua ke penjara di Australia. Penghuni Boven Digul terdiri dari pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia, aktivis-aktivis dari berbagai latar-belakang, baik yang komunis maupun dari aliran lain, yang pernah menentang kediktatoran kolonial Belanda. Pemerintah dan kelompok oposisi Australia meluluskan permintaan itu.
Pada 17 Mei 1943, John Dedman, Menteri Urusan Organisasi Perang menandatangai sebuah dokumen yang menyatakan semua tahanan Digul yang akan dikirim ke Australia dinyatakan sebagai tahanan Australia. Pada Juni 1943 tahanan-tahanan tersebut diangkut dengan menggunakan kapal laut ke Australia. Gelombang pertama menggunakan kapal Katoomba, disusul gelombang kedua dengan kapal Belanda Both. Setibanya di Australia mereka dipindahkan ke kamp tawanan perang (yang juga sudah dihuni tahanan orang Jepang) di kota Cowra di negara bagian New South Wales.
Itulah saat pertama kali dan hanya pernah terjadi sekali, pemerintah Australia menerima tahanan politik negara lain di dalam penjaranya. Selama tahun 1943 sampai bulan Juni, sejarah ini adalah sejarah kerjasama kekuasaan Hindia Belanda dengan kekuasaan Australia. Baru pada tahun 1944 dan 1945 hampir semua tahanan politik itu dibebaskan dari Cowra dan bisa bergerak bebas di masyarakat Australia –kecuali 17 tahanan yang dianggap keras kepala oleh pihak Belanda. Ketujuhbelas orang itu dikembalikan ke Tanah Merah di Papua pada tahun 1945.
Dari sejarah bisa diketahui kalau pembebasan kaum pergerakan yang jadi tahanan politik tersebut merupakan hasil kerjasama antara tahanan politik itu sendiri dan orang-orang Indonesia lain yang sedang berada di Australia bersama organisasi rakyat Australia. Dalam proses itu yang berperan adalah organisasi hak azasi, gereja, serikat buruh, anggota biasa dari Partai Buruh, Partai Komunis Australia dan organisasi mahasiswa. Para buruh Australia yang bekerja pelabuhan pun melakukan pemogokan menolak membongkar muat barang bawaan kapal-kapal milik Belanda.
Kerjasama bersejarah itu juga melahirkan sebuah assosiasi baru bernama Australia Indonesia Association. Sejarah kerjasama rakyat dengan rakyat itu melahirkan banyak cerita baru yang menarik, berbeda dengan hubungan penguasa dengan penguasa yang berulangkali melanggar prinsip demokrasi sampai sekarang pun. Itulah sisi lain dari cerita dukungan Australia terhadap kemerdekaan Indonesia.