Masuk Daftar
My Getplus

Kiprah VOC di Pulau Dejima

Pemerintahan Tokugawa pernah memberi kuasa penuh atas sebuah pulau di Nagasaki kepada VOC. Menjadi pusat perdagangan dan prostitusi terbesar di Jepang.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 08 Sep 2020
Lukisan karya Kawahara Keiga yang memperlihatkan potret orang Belanda dan perempuan Jepang. (Wikimedia Commons).

Pada 2 Juli 1609, dua kapal dagang Maskapai Perdagangan Hindia Timur (VOC) –De Rode Leeuw met Pijlen dan De Griffioen– berlabuh di Hirado, sebuah pulau di pantai barat Kyushu. Itu menjadi kali pertama kapal dagang Belanda masuk ke wilayah Jepang, setelah tahun 1600 kapal ekspedisi mereka secara tidak sengaja terdampar di Teluk Usuki, Kyushu, saat sedang mencari tempat berdagang di Asia Timur.

Dua awak kapal, sekaligus saudagar besar Belanda, Abraham van den Broek dan Nicolaas Puyck, diperkenankan bertemu penguasa Jepang Shogun Tokugawa Ieyasu. Dalam kesempatan itu mereka meminta izin mendirikan kantor dagang Belanda di Hirado. Pada Agustus, izin tersebut disetujui. Belanda juga boleh memasuki semua pelabuhan Jepang. Jacques Speck ditunjuk sebagai kepala perwakilan VOC di Jepang.

“Dengan adanya kantor perwakilan ini perdagangan menjadi lancar, dan setiap tahun sekitar empat sampai tujuh kapal Belanda tiba dari Batavia ke Jepang,” tulis Bambang Wibawarta dalam “Dejima: VOC dan Rangaku” dimuat Wacana.

Advertising
Advertising

Baca juga: Terbunuhnya Mitra Dagang VOC

Tahun 1639, Shogun Tokugawa Iemitsu menerapkan sakoku (politik isolasi) di seluruh Jepang. Peristiwa pemberontakan di Shimabara yang dilakukan kelompok petani Katolik yang dibantu Portugis dan Spanyol menjadi sebabnya. Penguasa Jepang tidak ingin misi agama mengganggu pemerintahan militer di negerinya. Semua orang asing di Jepang pun diusir, kecuali Belanda.

Menurut sejarawan Meta Sekar Puji Astuti, Belanda hanya mementingkan urusan dagang semata, sama sekali tidak mengurusi soal agama seperti bangsa lain. “Pada waktu itu negara Eropa satu-satunya yang boleh melakukan kontak dengan Jepang adalah Belanda. Sebelumnya Portugis, tetapi mereka bermain agama sehingga orang Jepang mengusirnya keluar,” ujar Meta.

Meski posisi Belanda cukup istimewa di Jepang, keberadaan mereka belum benar-benar aman. Pemerintah Jepang masih mengawasi pergerakan mereka. Khawatir peristiwa pemberontakan yang dimotori bangsa asing kembali terulang. Akses Belanda ke seluruh pelabuhan Jepang yang sebelumnya begitu terbuka juga mulai dibatasi. Kapal-kapal VOC tidak bisa secara bebas menaik-turunkan barang tanpa izin penguasa daerah (Daimyo).

Baca juga: 17 Tuan dan Kehancuran VOC

Demi menjaga Jepang tetap bebas dari pengaruh asing, juga mempermudah pengawasan, pada 1641 para penguasa memindahkan pusat dagang Belanda di Hirado ke Pulau Dejima, Nagasaki. Pulau bekas tempat tinggal orang-orang Portugis dan Spanyol itu menjadi “penjara” baru bagi VOC. Mereka diawasi secara ketat. Struktur pulau pun dibuat rumit, dengan hanya menempatkan satu akses keluar-masuk berupa jembatan. Meski begitu, Dejima menjadi salah satu pusat perdagangan sukses VOC di Asia Timur.

“Pulau Dejima dibangun antara 1634 sampai 1636 … di sana terdapat 65 bangunan, yang tidak hanya digunakan sebagai kantor dagang Belanda, juga sebagai tempat tinggal orang-orang Jepang terutama mereka yang berprofesi sebagai penerjemah,” tulis Louis Frederic dalam Japan Encyclopedia.

Struktur Pulau Dejima. (Wikimedia Commons).

Pusat Perdagangan

Puluhan tahun berada di Jepang, Belanda hanya fokus pada urusan dagang. Mereka berupaya keras memonopli perdagangan di negeri para samurai itu. Komoditas seperti perak, emas, tembaga, dan keramik menjadi andalan Jepang, sementara Belanda menjagokan rempah-rempah, kayu, dan tekstil mereka. Keduanya berusaha menguasai jalur perdagangan di Asia Timur.

Sejak membuka hubungan dengan Jepang, Belanda cukup bergantung pada produksi perak dan emas dari sana. Menurut sejarawan C.R. Boxer dalam Jan Kompeni: Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799, logam berharga itu membantu mengurangi kebutuhan VOC untuk mengimpor mata uang emas dan perak dari Eropa.

Baca juga: Toko Jepang sebagai Mata-mata

Pada akhir abad ke-17, Jepang mengeluarkan peraturan baru yang secara sepihak menentukan harga komoditas yang dibawa kapal milik VOC. Hal itu jelas merugikan pihak Belanda. Jika Belanda tidak setuju, Jepang mempersilahkan mereka membawa kembali barang dagangannya ke Batavia. VOC pun mau tidak mau menerima penawaran itu. Akibatnya, setiap tahun tidak lebih dari empat kapal saja yang berlabuh di Nagasaki.

“Hal ini dapat diduga terjadi sebagai akibat kemarahan para pejabat bawahan Shogun di Edo yang tidak mendapat bagian upeti karena upeti diserahkan langsung kepada Shogun,” tulis Wibawarta.

Pejabat VOC di Batavia lalu mengirimi Shogun sebuah surat dalam bahasa Cina. Mereka khawatir hubungan dagang antara Belanda-Jepang akan berakhir buruk jika mereka tidak menghentikan penetapan secara sepihak tersebut. Para penguasa Jepang yang tidak senang dengan surat itu justru menaikkan pajak VOC. Mereka beranggapan jika bukan mereka yang menentukan harga barang, keuntungan hanya akan diperoleh pihak VOC.

Baca juga: Jepang dari Isolasi hingga Industri

Pihak Belanda membalas tindakan Jepang itu dengan mengirim barang-barang dengan kualitas rendah. Akhirnya muncul saling ketidakpercayaan di antara kedua pihak. Ketegangan juga sempat terjadi di sekitar Dejima-Nagasaki. Dan dalam tahun 1790, pemerintah Jepang hanya mengizinkan satu kapal Belanda saja yang berlabuh di Nagasaki.

“Tetapi kedua belah pihak tidak ada yang bermaksud hendak memutuskan hubungan itu seluruhnya. Orang Belanda takut bila mereka meninggalkan Deshima, maka orang Inggris akan diizinkan mengambil tempat mereka. Di pihak Jepang, para pejabat dan pedagang juga menganggap hubungan ini menguntungkan,” tulis Boxer.

Hubungan dagang antara Jepang dan VOC terus mengalami penurunan seiring dengan situasi di Hindia Belanda dan Negeri Belanda sendiri. Kondisi maskapai itu yang terus memburuk memengaruhi sistem dagang VOC di berbagai tempat.

Keadaan pulau Dejima abad ke-19 (Wikimedia Commons)

Pusat Pergundikan

Tidak semua orang Jepang bisa masuk ke Dejima. Bukan karena pembatasan dari pihak Belanda, tetapi larangan dari penguasa Jepang. Mereka tidak ingin rakyatnya terlalu dekat dengan pengetahuan Barat. Bahkan tidak ada satupun perempuan yang boleh mendekati pulau tersebut. Satu-satunya kalangan perempuan yang bisa masuk ke sana hanya para pelacur Jepang.

Para perempuan pekerja seks komersial itu datang dari Maruyama, Nagasaki, dan Tedo, yang menurut C.R. Boxer “keindahannya pada siang hari bagaikan Surga, dan pada malam hari bagaikan Istana Raja Naga”. Mereka dikirim oleh para penguasa Jepang untuk menjaga orang-orang Belanda tidak berkeliaran ketika ingin memuaskan hasrat seksualnya.

Baca juga: Unit 731, Alat Pembunuh Massal Militer Jepang

“Juga berdasarkan pesanan mereka menyediakan untuk orang-orang kita pelacur, dan pelaut-pelaut muda kita yang tidak tahu keadaan, biasanya tidak malu untuk mengeluarkan lima ringgit untuk kenikmatan satu malam, dengan nona-nona yang seorang pribumi Nagasaki bisa memperolehnya untuk dua atau tiga maas (uang perak kecil), karena mereka bukan tergolong yang terbaik dan tercakap,” ungkap Engelbert Kaempfer, penguasa Dejima, seperti dikutip Boxer.

Penghasilan sebagai pemuas hasrat orang-orang Belanda itu bukan satu-satunya bagi mereka. Selain jumlahnya yang tidak seberapa, penghasilan harian itu banyak diberikan kepada germo. Pendapatan terbesar para gundik itu didapat dari bisnis penyelundupan. Rupanya para pedagang Belanda banyak yang memanfaatkan mereka untuk menjual berbagai macam barang ke kota dengan harga yang tinggi. Dengan cara itu, para pedagang akan lolos dari biaya pajak yang amat tinggi. Sebagai imbalan, para perempuan itu akan diberi barang-barang mewah.

Baca juga: Genosida VOC di Pulau Banda

Walau menjadi pusat prostitusi, menurut laporan para penguasa Dejima, hampir tidak ada kelahiran. Para perempuan Jepang itu, imbuh Boxer, sepertinya telah melaksanakan suatu bentuk pengaturan kelahiran. Kalaupun lahir seorang anak, menurut peraturan yang berlaku, si bapak (orang Belanda) wajib mengurus pendidikannya, tetapi si anak harus menetap di Jepang.

“… orang-orang Belanda pemabuk asmara berdarah dingin ini di Jepang dan di Jawa sempat termasyhur karena keperkasaan seksual mereka … menurut kepercayaan yang tersebar di Jepang, bahwa mereka adalah atlet seks dan spesialis dalam melaksanakan kebolehan-kebolehan erotis malam hari dan dalam penggunaan zat-zat perangsang berahi,” tulis Boxer.

TAG

jepang voc

ARTIKEL TERKAIT

Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Ulah Mahasiswa Kedokteran yang Bikin Jepang Meradang Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian I) Azab Pemburu Cut Meutia Prabowo Berenang di Manggarai Saat Peti Laut jadi Penanda Pangkat Pegawai VOC