Kedekatan Presiden Sukarno dan Ho Chi Minh selalu dikaitkan dengan permulaan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Vietnam. Keakraban keduanya terlihat manakala mereka saling berkunjung ke negeri yang dipimpinnya masing-masing. Paman Ho, sapaan akrab Ho Chi Minh, mengunjungi Indonesia pada 27 Februari - 3 Maret 1959. Sedangkan kunjungan balasan dari Sukarno dilakukan pada 24 Juni - 9 Juli 1959.
Namun rupanya jauh sebelum Sukarno berkarib dengan Ho Chi Minh, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) Tan Malaka telah lebih dahulu menjalin hubungan dengan tokoh komunis Vietnam tersebut. Dalam Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan, Arif Zulkifli, dkk menyebut jika pertemuan Tan dan Ho terjadi pada 1922 di Moskow, Uni Sovyet.
Tidak seperti pertemuan dengan Sukarno, yang dilakukan setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya dan Vietnam dalam proses revolusi, hubungan antara Tan dan Ho terjalin ketika Hindia (nama Indonesia sebelumnya) masih memegang status jajahan Belanda dan Vietnam di bawah kuasa bangsa Prancis. Keduanya sama-sama sedang berusaha menggelorakan kebebasan di negerinya masing-masing.
“Kisah pertemanan Tan Malaka dengan Ho dikatakan oleh Tan Malaka sendiri kepada Shigetada Nishijima, tangan kanan Laksamana Maeda di Jakarta,” ungkap sejarawan Bonnie Triyana dalam "Kawan Sehaluan dari Negeri Seberang" dimuat majalah Historia edisi I 2012.
Baca juga: Menyibak Memori 60 Tahun Hubungan Vietnam-Indonesia
Pernyataan Bonnie itu dibenarkan oleh Harry A. Poeze di dalam bukunya Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 1: Agustus 1945 - Maret 1946. Menurut Poeze, Nishijima dan Tan sering bertemu di rumah diplomat Ahmad Soebardjo. Nishijima senang sekali mendengar pandangan-pandangan Tan tentang berbagai persoalan, termasuk tentang pengalaman masing-masing yang bersifat pribadi. Sehingga tidak heran jika pengakuan kedekatan dengan Ho terlontar langsung dari mulut Tan.
“Saya bertemu Sano Manabu melalui kegiatan saya di Komintern. Saya juga kenal Ho Chi Minh dan pernah debat dengan Stalin …” ucap Tan sebagaimana dikutip Poeze.
Pertemuan Tan dan Ho bermula dari ketertarikan keduanya akan gelaran Kongres Komintern (Komunis Internasional) ke-4 di Moskow. Acara rutin yang mempertemukan orang-orang komunis dari seluruh dunia itu berlangsung pada 5 November - 5 Desember 1922. Tan sendiri sudah ada di Moskow sejak Oktober 1922, sementara Ho tiba ketika acara tengah berlangsung.
Bersua di Komintern
Keikustertaan Tan di acara yang dihadiri pimpinan Uni Soviet Vladmir Lenin tersebut terjadi ketika dirinya sedang dalam masa pengasingan. Ia diasingkan pemerintah Hindia Belanda dari Indonesia pada Februari 1922. Tan lalu memilih Negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya. Di sana Tan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan kaum komunis Belanda. Menurut Masykur Arif Rahman dalam Tan Malaka: Sebuah Biografi Lengkap, Tan Malaka dikenal sebagai pahlawan dan martir oleh kaum komunis Belanda.
Berkat banyaknya dukungan terhadap Tan, maka ia pun dicalonkan sebagai anggota Majelis Rendah di Belanda. Dalam proses pemilihan itu, Tan meraih suara kedua terbanyak dari tiga calon yang terdaftar. Namun karena usianya ketika itu (25 tahun) belum mencukupi persyaratan Majelis Rendah Belanda, yakni minimal 30 tahun, Tan gagal memperoleh kursi. Ia pun memutuskan pergi dari Belanda menuju Berlin, Jerman. Di tempat itu Tan mempersiapkan segala keperluan untuk mengikuti acara Kominterns di Moskow.
Baca juga: Ketika Tan Malaka Ingin Jadi Presiden
Sementara itu, keikutsertaan Ho di Moskow terjadi ketika ia sedang dalam proses mencari pengalaman membangun kemerdekaan di negerinya. Ho mempelajari cara pembebasan kaum tertindas dan cara berorganisasi dari berbagai negara. Diceritakan William J Duiker dalam biografi Ho Chi Minh, perhentian pertama Ho ketika baru keluar dari negerinya adalah London, Inggris. Ia tiba di sana ketika Perang Dunia I meletus.
Dari Inggris, Ho melanjutkan petualangannya di Prancis, setelah tinggal sebentar di Amerika. Di negara yang menjajah negerinya itu, Ho mempelajari begitu banyak hal, utamanya cara membangun organisasi dari sebuah partai beraliran sosialis, The French Section of the Workers International (SFIO). Di tempat itu juga Ho memperdalam pemahamannya terhadap Marxisme-Leninisme. Berbagai kegiatannya membawa Ho kepada faksi komunis. Namun pada 1922, aktifitas Ho dan partainya mulai diawasi polisi Prancis karena dianggap menumbuhkan benih radikalisme.
Pada akhir 1922 ia meninggalkan Prancis. Ho lalu memilih Moskow sebagai tempat tinggal berikutnya. Selain dinilai aman bagi para penganut ideologi komunis, kongres Komintern pun tengah diselenggarakan dan Ho memang berencana untuk mengikutinya. Keputusan itu mengantarkannya kepada pertemuan dengan sesama wakil negara terjajah di Asia Tenggara, Tan Malaka.
Wakil Asia
Sebelum hari penyelenggaraan kongres, Tan banyak diikutsertakan dalam rapat-rapat persiapan. Meski tidak memiliki hak suara karena bukan anggota tetap, ia tetap dihadirkan sebagai penasihat. Sejak kedatangannya di Moskow, Tan sering mengunjungi pabrik, dan berkenalan dengan para buruh di sana. Kegiatannya itu membuat Tan semakin dikenal dikalangan kaum pekerja.
Kesempatan Tan bertemu dan mendengarkan pandangan para wakil dari Asia, termasuk Ho, terjadi ketika mereka diberi waktu oleh panitia kongres untuk mengutarakan gagasannya masing-masing selama lima menit di depan peserta kongres. Pada kesempatan tersebut Tan menyampaikan gagasan tentang kerja sama antara komunisme dan Islam.
Baca juga: Saat Islam dan Komunis Harmonis
Menurut Taufik Abdullah, dkk dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah, Tan mempertanyakan sikap tokoh-tokoh komunis internasional yang menentang Pan Islamisme sebagai corak baru dari imperialisme. Menurutnya Pan Islamisme bangkit untuk menentang imperialisme Barat. Mereka berada di jalan yang sama dengan komunis. Karenanya ia menilai sikap anti Islamisme Moskow tidak mencerminkan suasana perkembangan dunia ketika itu.
Sementara menurut Bernard Fall dalam Ho Chi Minh: Selected Writings 1920-1966, pidato Ho, sebagai perwakilan negeri terjajah, di depan orang-orang komunis tersebut menjadi salah satu yang paling memukau “Ai Quoc (nama lain Ho) tampil sebagai salah satu wakil negeri terjajah yang paling vokal dan enerjik,” tulisnya.
Baca juga: Dari Ho Chi Minh hingga Kennedy
Di luar kongres, Tan banyak berbincang dengan wakil-wakil koloni dari Asia. Ia juga banyak berdiskusi dengan Ho tentang Marxisme-Leninisme yang sama-sama mereka dalami. Baik Tan maupun Ho dikenal memiliki kemampuan bahasa yang baik sehingga mereka tidak kesulitan dalam soal berkomunikasi.
Setelah kongres selesai, Tan dan Ho kembali ke perjuangannya masing-masing. Keduanya masih tetap tinggal di Moskow selama dua tahun, mempelajari gerakan anti-kolonialisme dan aktif di Komintern. Ho lalu memutuskan kembali ke Vietnam pada 1930, sedangkan Tan baru bisa kembali ke Indonesia setelah Belanda hengkang.
Baca juga: Hari Ini Adalah Hari Kematian Tan Malaka
Meski sudah lama tidak saling bertatap muka, keduanya masih saling memperhatikan perkembangan perjuangan masing-masing. Tan Malaka sangat terinspirasi dengan cara Ho memimpin perjuangan rakyat Vietnam melawan penjajahan Prancis. Tetapi sejarawan Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Revolusi Indonesia dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, menyebut jika cara memimpin Ho akan sulit diikuti oleh Tan.
“Tak tersedianya kader yang kuat, sepert yang dimiliki oleh Ho Chi Minh di Vietnam menyebabkan Tan Malaka gagal menjalankan strategi politik ala Ho di Indonesia,” ungkapnya.