Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Nicolaas Jouwe Bertemu Presiden Kennedy

Presiden Amerika Serikat itu menjanjikannya tokoh Papua tersebut sebagai “hadiah” kepada Sukarno. Terselip rahasia yang dijaga selama 50 tahun.

Oleh: Martin Sitompul | 15 Mei 2021
Nicolas Jouwe di Bandara Schiphol, Belanda, Juni 1962. (Arsip Nasional Belanda).

Amerika Serikat (AS) terlibat dalam Perjanjian New York yang menyepakati penyerahan Papua kepada Indonesia sekaligus mengakhiri kekuasaan Belanda. Setelah urusan perjanjian itu selesai, Presiden AS John F. Kennedy hendak bertemu dengan wakil-wakil dari Papua. Ada tiga kandidat yang direkomendasikan. Mereka antara lain Markus Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, dan Herman Womsiwor.  

Markus Kaisiepo politisi partai Gerakan Persatuan New Guinea (GPNG) adalah yang paling senior. Sementara itu, Herman Womsiwor, pemuda dari desa Numfor, Biak merupakan yang paling muda. Pada Perang Dunia II, Womsiwor diperbantukan sebagai tentara Sekutu berpangkat sersan. Namun, Kennedy menjatuhkan pilihan kepada Nicolaas Jouwe. Selain sebagai penasihat bagi delegasi Belanda, Jouwe merangkap wakil presiden Dewan Papua yang dipersiapkan memimpin negara Papua kelak.

Dalam memoarnya, Jouwe mengingat pertemuannya dengan Kennedy terjadi pada 16 September 1962. Kennedy mengatakan bahwa dirinya diundang oleh Presiden Sukarno mengunjungi Indonesia tahun 1963 mendatang. Kennedy meminta Jouwe untuk bergabung dalam kunjungan itu.

Advertising
Advertising

“Aku akan mengulurkan tanganmu kepada Presiden Sukarno dan mengatakan, ‘ini adalah hadiah dari saya tuan presiden’,” kata Kennedy seperti ditirukan Jouwe.

Baca juga: 

Rahasia Kennedy tentang Sukarno

Meskipun pertemuan itu berlangsung pada 1962, tapi ucapan Kennedy sungguh membekas di hati Jouwe. Rahasia itu terjaga selama lebih dari 50 tahun. Pengalaman itupun akhirnya dituangkan Jouwe ketika menulis memoar Kembali ke Indonesia: Langkah, Pemikiran, dan Keinginan yang terbit pada 2013.

“Kata-kata dan ucapannya menjadi kenangan yang tak mungkin saya lupakan dan itu yang menjadi salah satu dorongan bagi saya untuk kembali ke tanah air,” tutur Jouwe.

Propaganda Belanda

Kennedy menanyakan, apakah Jouwe mengetahui sejarah Papua. Pertanyaan itu dijawab tidak oleh Jouwe. Sebaliknya, kalau sejarah Belanda, Jouwe tahu banyak, sampai hal kecil seperti berapa banyak sungai dan gunung di Belanda. Orang Papua, menurut Jouwe hanya tahu bahwa mereka punya satu gunung yang terkenal dengan salju abadinya, puncak Gunung Cartenz. Kennedy menimpali bahwa begitulah politik kolonial Belanda untuk menguasai Papua.

Menurut Jouwe, pertemuannya dengan Kennedy berlangsung dengan sangat rahasia. Pada saat itu dirinya menjadi penasihat dan anggota delegasi Belanda dalam perundingan antara Belanda dengan Indonesia. Andai petemuan itu diketahui, pemerintah Belanda akan mencapnya sebagai pengkhianat.

Baca juga: 

Nicolaas Jouwe dari Papua Merdeka ke Republik Indonesia

“Karena saya sebagai seorang pegawai Kerajaan Belanda yang dipercayai 100% untuk menjalankan politik Kerajaan Belanda untuk kemerdekaan bangsa Papua lepas dari Indonesia,” kata Jouwe.

Pada akhir pertemuan itu, Jouwe berjanji kepada Kennedy. “Presiden Kennedy, selama 50 tahun saya tidak akan membuka apa yang kita bicarakan ini,” ungkapnya.  

Kembali ke Papua

Perlakuan Belanda yang “membedakan” orang Papua setidaknya terlihat di masa-masa perundingan. Pada 1961, persoalan Papua dibicarakan dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Seperti terkisah dalam biografi J.A. Dimara: Lintas Perjuangan Putra Papua, Carmelia Sukmawati mengutip kisah bagaimana Belanda dan Indonesia memperlakukan angota delegasinya yang berasal dari Papua.

“Menteri Luar Negeri RI Soebandrio bersama Dimara cs disebutkan sama-sama tinggal di Hotel Plaza. Sementara, Menlu Belanda (Joseph) Luns melakukan diskriminasi, ia tinggal di hotel mewah tetapi Jouwe cs menginap di hotel kelas tiga,” tulis Carmelia.

Baca juga: 

Menteri Luar Negeri Belanda Keseleo Lidah

Selain itu, selama berada di New Yorkm, gerak-gerik Jouwe cs selalu diawasi. Bertolak belakang dengan delegasi Indonesia. Dimara dan rekan-rekannya mendapat kesempatan untuk menikmati dengan bebas suasana kota sebesar New York. Mereka mempergunakan waktu untuk berjalan-jalan menikmati kehidupan modern yang belum ada di Indonesia, seperti terowongan bawah tanah, toko-toko, kereta, dan hiruk pikuk kota lainnya. Lagu pula mereka diberikan uang saku setiap harinya.      

Sekali waktu, Marie Papare, orang Papua delegasi Indonesia yang juga masih keponakan Jouwe menelepon Jouwe lewat sambungan telepon hotel. Dengan suara lirih, dia bicara kepada sang paman, “Selamat pagi Oom Nicolas, saya sedih mendengar Oom diperlakukan buruk oleh Belanda. Mengapa mereka tidak memperlakukan Oom sama dengan Menteri Luns? Kami di sini, Pak Dimara dan teman-teman tinggal satu tempat bersama dengan Pak Soebandrio.” Keadaan diskriminasi itu, seperti diungkap Carmelia, dipakai sebagai alat untuk mematahkan semangat orang Irian pro-Belanda.   

Baca juga: 

Menlu Belanda Sponsori Papua Merdeka, Sukarno: Dia Bajingan!

Setelah status Papua masuk ke dalam Republik Indonesia, Nicolas Jouwe menetap di negeri Belanda. Selama bertahun-tahun, dia berjuang untuk kemerdekaan bangsa Papua dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Seiring waktu, Jouwe menyadari, perjuangan Papua merdeka yang dilakukannya merupakan dorongan dari Belanda. Tujuan itu seolah-olah akan mendirikan negara sendiri dan menjadikan Jouwe sebagai presiden Papua Barat. Untuk itulah Jouwe bersedia merancang bendera, lambang negara, lagu kebangsaan, dan menyiapkan dokumen-dokumen sebagai syarat berdirinya suatu negara.  

“Sebagai seorang muda saat itu, saya tidak menyadari bahwa itu hanya akal-akalan pemerintah Belanda. Saya begitu bersemangat karena pemerintah Belanda menjanjikan jika negara Papua didirikan, maka saya yang akan menjadi presidennya,” kenang Jouwe.  

Di senjakalanya, kerinduan Jouwe untuk kembali ke tanah kelahiran tidak bisa terbendung lagi. “Saya ingin kembali ke Indonesia untuk bersama pemerintah Republik Indonesia membangun dan menyejahterahkan rakyat dan masyarakat Papua,” kata Jouwe pada akhir memoarnya.

TAG

nicolaas jouwe papua john f kennedy

ARTIKEL TERKAIT

Kisah Mantan Pilot John F. Kennedy Digoelis Makassar Itu Bernama Paiso Komunis Agen Syiar Islam di Belantara Papua Jayapura Bermula dari Kamp KNIL Mula Bendera Indonesia Berkibar di Papua Digoelis Masuk Parlemen Gunung Agung dan Masagung Eks KNIL Ikut Bebaskan Papua Kiprah Putra-putra Papua Beratnya Medan Trikora Papua