Pasca peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 keadaan negara bisa dikatakan kisruh. Gerakan penumpasan massa PKI menyebabkan situasi keamanan tidak terkendali. Harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Aksi demonstrasi menentang pemerintah pun semakin menguat.
Untuk mengatasi gejolak tersebut, Presiden Sukarno melakukan perombakan besar-besaran di jajaran kabinetnya. Pada 21 Februari 1966, keluar pengumuman dari Istana bahwa Presiden mereshuffle Kabinet Dwikora. Dalam Kabinet Dwikora yang disempurnakan itu sejumlah menteri ditambahkan sehingga memunculkan istilah “Kabinet 100 Menteri”. Ketua Nahdalatul Ulama Idham Chalid menjadi wakil perdana menteri IV.
“Tapi yang membuat kami kaget adalah digesernya Jenderal Nasution sebagai menteri pertahanan, diganti dengan Mayor Jenderal Sarbini,” kata Jenderal Soemitro dalam memoarnya Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib.
Kegundahan Sarbini
Jenderal Abdul Haris Nasution merupakan salah satu menteri yang kena reshuffle. Jabatannya sebagai menteri koordinator pertahanan dan keamanan dihapus lalu dipecah menjadi dua: pertahanan dan keamanan. Mayor Jenderal Sarbini Martodihardjo ditunjuk menjadi menteri pertahanan sedangkan Kolonel Sjafei diangkat sebagai menteri negara untuk urusan keamanan. Adapun Mayjen Moersjid ditetapkan sebagai wakil menteri pertahanan membantu Sarbini.
Dalam perombakan kabinet, Sukarno memberikan perhatian khusus kepada departemen-depertemen ketentaraan. Selain memberhentikan Nasution dari jabatannya, Sukarno juga menghapus jabatannya sebagai kepala staf angkatan bersenjata dan membubarkan staf yang telah dibinanya sejak 1962. Sarbini yang sebelumnya menjabat menteri urusan veteran dan mobilisasi dianggap sebagai pengganti yang tepat untuk posisi Nasution.
Baca juga: Moersjid, Jenderal yang Nyaris Menjadi Satpam
Sarbini, seturut penelitian Harold Crouch dalam disertasi yang dibukukan Army and Politics in Indonesia, sangat disegani di kalangan Angkatan Darat, sebagai mantan panglima divisi Brawijaya dan Diponegoro. Dia juga dikenal punya relasi cukup kuat dengan Presiden Sukarno. Lagi pula, seperti dicatat Crouch, Sukarno tidak dapat lagi bekerja sama dengan Nasution.
Semula, Sarbini menolak dan bertanya mengapa Nasution harus diganti. Dari Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto, Sarbini mendapat jawaban kalau Nasution akan diberi jabatan baru. Belum puas dengan jawaban itu, Sarbini menemui Nasution, tapi yang bersangkutan hanya mengatakan terserah Sarbini mau menerima posisi menteri pertahanan ataupun tidak. Jawaban demikian semakin membuat gundah Sarbini.
Sarbini kemudian meminta petunjuk kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan Yogya itu menyarankan agar Sarbini menerima saja jabatan menteri pertahanan. “Jika tidak ingin melihat pertumpahan darah,” kata Sri Sultan. Seperti dituturkan Sarbini kepada Crouch, menurut Sultan kalau Sarbini menolak, maka dari “unsur Gestapu” yang akan diangkat. Diyakinkan demikian oleh Sri Sultan, Sarbini akhirnya menerima jabatan yang ditempati Nasution.
“Sarbini tidak pernah mengalami pelantikannya sebagai menteri baru karena Nasution tidak bersedia menghadiri upacara serah terima yang lazim,” tulis Crouch.
Pembangkangan Nasution
Menurut Nasution, dirinya bersama beberapa menteri lain dipecat karena dianggap merintangi Sukarno. Nasution juga menduga bahwa dirinya akan “dibereskan” oleh Menteri Keamanan Sjafei yang terkenal sebagai “jagoan Senen” maupun pemimpin Barisan Sukarno. Namun, menurut Soemitro penujukan Sjafei sebagai menteri keamanan ditugaskan untuk menghadang aksi mahasiswa yang semakin getol berunjuk rasa.
“Dapat dipahami Mayjen Sarbini rikuh untuk menggantikan Jenderal Nas dalam kondisi seperti itu,” tutur Soemitro.
Baca juga: Nas yang “Ditendang” ke Atas
Setelah perombakan kabinet diumumkan, Nasution mangkir ketika dipanggil Presiden untuk menghadap. Nasution kemudian memerintahkan Komandan Korps Staf Angkatan Bersenjata, Kolonel Worang untuk menjaga jangan sampai papan Hankam/SAB diturunkan. Dengan bertindak demikian, Nasution menolak melakukan serah terima.
“Akhirnya Jenderal Sarbini dan Jenderal Moersjid datang ke rumah mendesak saya untuk serah terima Hankam, karena saya tetap tidak bersedia menyerahkan Hankam,” kenang Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru.
Ketegangan yang terjadi mengundang keprihatinan di kalangan Angkatan Darat. Kolega Nasution sesama perwira lalu urun rembug. Mereka mengusulkan supaya Nasution dan Sarbini salat Jumat bersama di kantor Hankam dan sebelum pulang agar boleh mengadakan sekedar serah terima informal tanpa upacara sebagaimana biasanya. Nasution bergeming. Sementara itu, Sarbini bergegas pergi menuju Kalibata untuk menziarahi makam Jenderal Yani sekaligus menenangkan diri.
Baca juga: Yani yang Flamboyan, Nasution yang Puritan
Pada hakikatnya Nasution dapat legowo Sarbini menggantikannya. Perasaan kesal dan marahnya lebih ditujukan kepada Sukarno. Ketika bersua dengan Sarbini, Nasution mengatakan, “Saya berdosa kalau saya terima begitu saja putusan Presiden yang tidak adil. Hankam tidak saya serahkan begitu saja.” Dengan demikian, serah terima urung terjalin.
Drama serah terima jabatan itu terselesaikan pada 24 Februari 1966, ketika “Kabinet 100 Menteri” akhirnya dilantik. Sarbini resmi menjabat menteri pertahanan. Sementara itu, Nasution harus tersingkir dari biduk catur kekuasaan rezim Sukarno.