Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Hoegeng dan Teuku Markam Bersitegang

Kapolri paling jujur itu pernah berseteru dengan pengusaha tajir yang meminta dibuatkan paspor diplomatik. Tak ragu bersikap keras kendati di hadapan Presiden Sukarno.

Oleh: Martin Sitompul | 28 Jun 2021
Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso dan Haji teuku Markam. Sumber: Repro otobiografi Hoegeng "Polisi: Idaman dan Kenyataan" dan "Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983—1984".

Ada anekdot lucu dari Gus Dur tentang polisi. Katanya, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia. Pertama, polisi tidur. Kedua, patung polisi. Dan ketiga, Jenderal Hoegeng. Dari ketiganya, hanya Hoegeng yang berwujud manusia. Hoegeng pernah menjabat sebagai kepala Kepolisian Republik Indonesia periode 1968 sampai 1971.

Kejujuran Hoegeng kiranya bukan isapan jempol semata. Pada reputasinya melekat citra polisi anti suap. Selama mengabdi di kepolisian, Hoegeng berkali-kali menghadapi orang-orang punya kuasa yang coba menyogoknya.

Pada pertengahan 1950-an, Hoegeng ditempatkan di Medan sebagai kepala reserse kriminal. Belum sempat menempati rumah dinas, Hoegeng ditawari mobil dan rumah oleh seorang pengusaha Tionghoa sebagai gratifikasi. Hoegeng tahu dia sedang berurusan dengan pengusaha yang bergerak dalam bisnis gelap penyelundupan. Tawaran itu dia tolak mentah-mentah. Hoegeng bahkan memulangkan kembali barang-barang perabotan mewah yang sempat dikirimkan si pengusaha tersebut.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Hoegeng, Polisi Anti Suap

Pengalaman di Medan menempa Hoegeng  untuk tak ragu menciduk penjahat kelas kakap. Tidak terhitung banyaknya kasus penyelundupan dan perjudian yang berhasil dibongkar Hoegeng. Pada 1961, Hoegeng diangkat menjadi kepala jawatan imigrasi di Jakarta. Lagi-lagi, Hoegeng berperkara dengan seorang penggede yang punya kepentingan di jawatan imigrasi.

Hoegeng dalam otobiografinya Polisi: Idaman dan Kenyataan menuturkan tentang seorang pengusaha asal Aceh yang menemuinya langsung di kantor imigrasi. Hoegeng menangkap kesan arogan lantaran si pengusaha mendaku diri sebagai orang dekat Presiden Sukarno. Usut punya usut, pengusaha itu pernah menyumbang sebesar 50 juta rupiah ketika Bung Karno mengadakan penggalangan dana untuk kampanye ganyang Malaysia. Dan untuk mencari dana tersebut, dia minta pada Bung Karno berbagai fasilitas, termasuk monopoli perdagangan karet di Sumatra.

“Pengusaha itu namanya cepat melejit berhubung ia segera kaya raya karena memegang monopoli berbagai bahan mentah di Sumatra, antara lain karet. Pergaulannya cepat beredar di kalangan menteri karena ia memang dinilai amat dekat dengan Bung Karno,” kata Hoegeng.

Dalam otobiografinya, Hoegeng tidak menyebutkan siapa nama si pengusaha. Namun, dalam memoar Abdul Karim Oey Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa: Sahabat Karib Bung Karno, dikisahkan mengenai saudagar kaya bernama Teuku Markam, penyumbang 50 juta rupiah kala Sukarno menggelar penggalangan dana menyokong operasi Dwikora pada 9 Juli 1964. Saat itu, Markam telah dikenal sebagai pengusaha pabrik kulit yang dinamakannya PT Karkam – singkatan Kulit Aceh Raya Kapten Markam,

“Dasaad menyumbang Rp 100 juta, Yusuf Muda Dalam Rp 100 juta, Karkam Rp 50 juta, dan banyak lagi,” kata Oey.

Baca juga: 

Galang Dana Dwikora ala Sukarno

Markam memang pengusaha yang royal. Namanya disebut-sebut sebagai penyumbang 28 kg dari 38 kg emas untuk monumen nasional. Karena dermanya itu, tidak heran jika Markam bisa merapat ke lingkaran elite sekelas presiden maupun para menteri. Markam termasuk satu dari delapan pengusaha nasional yang disebut-sebut sebagai penasihat Sukarno. Namun tetap saja jika dia berurusan dengan Hoegeng maka dia akan menemukan kesukaran. 

Kepada Hoegeng, sang pengusaha meminta agar diberikan paspor diplomatik. Paspor demikian memiliki kekebalan hukum tertentu berdasarkan hukum internasonal. Berhubung yang meminta bukanlah diplomat, Hoegeng menegaskan bahwa Markam tidak punya hak untuk memiliki paspor diplomatik. Lagi pula paspor diplomatik harus dimintakan lewat rekomendasi Departemen Luar Negeri, dan tidak langsung ke kantor imigrasi.  

Markam rupanya perlu paspor diplomatik supaya bebas bepergian ke luar negeri. Markam melobi sambil menawarkan iming-iming berupa uang untuk membiayai kebutuhan rumah tangga Hoegeng setiap bulan. Menyadari dirinya disogok, Hoegeng langsung naik pitam.

“Saudara lihat itu pintu!” bentak Hoegeng seraya menuding, “Jadi Saudara tinggal pilih: keluar baik-baik atau saya tendang ke luar pintu itu! Persetan dengan uang kamu itu.” Diperlakukan demikian, Markam hanya bisa gelagapan. Dia kemudian melengos pergi meninggalkan kantor jawatan imigrasi.

Baca juga: 

Aksi Penyamaran Hoegeng

Beberapa hari kemudian, Hoegeng dan Markam sama-sama punya urusan bertemu Presiden Sukarno di Istana. Markam diterima lebih dahulu. Hoegeng melihat keakraban terjalin di antara mereka. Alih-alih merasa kikuk, Hoegeng malah langsung "memukul" Markam dengan kata-kata tajamnya. 

“Nah, ini pengusaha anak emas Bapak, lho ya?” ujar Hoegeng.

“Emangnya kenapa?” Bung Karno mengiyakan sambil tertawa.

“Untuk Bapak ketahui,” kata Hoegeng mengadu, “ia coba-coba menyogok atau membeli saya agar dikasih paspor diplomatik.”

Untuk beberapa detik, suasana menjadi hening. Bung Karno kemudian mengonfirmasi pengaduan Hoegeng kepada Markam, “Hei kamu, apa iya?!” tanya Bung Karno setengah menghardik. Markam kebingungan dengan wajah tertunduk.

Baca juga: 

Ketika Ali dan Hoegeng Menolak Permintaan Bung Karno

Meski pernah berseteru pada masa Sukarno, Markam dan Hoegeng sama-sama sengsara di era Orde Baru. Pada 1966, Markam dipenjara selama sembilan tahun. Perusahannya diambil-alih oleh negara. Kedekatan dengan Sukarno menyeret Markam pada tuduhan sebagai koruptor dan  antek PKI. Sebagaimana kebanyakan kasus tahanan politik, dakwaan tersebut tidak pernah terbukti karena hukuman terhadap Markam tidak melalui proses pengadilan.

Pada 1975, Markam Bebas dari tahanan. Dia kemudian membangun kembali bisnisnya dengan mendirikan PT Marjaya (Markam Jaya). Menurut Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983—1984, Markam menjadi pemborong pembuatan jalan. Beberapa di antaranya adalah pembangunan jalan sepanjang 35 km di Lhoukseumawe, Aceh Utara dan 136 km di Cileungsi, Jawa Barat.  

Sementara itu, Hoegeng setelah menjabat Kapolri dipensiunkan dengan alasan yang tidak jelas. Hoegeng kemudian dicekal oleh pemerintah karena terlibat dalam Petisi 50. “Gara-gara saya menandatangani Petisi 50 juga maka siaran musik Hawaiian kami lewat Radio Elshinta dihentikan,” kenang Hoegeng. Pencekalan itu lebih karena sikap kritis Hoegeng terhadap pemerintahan rezim Soeharto.  

TAG

hoegeng pengusaha teuku markam

ARTIKEL TERKAIT

Jatuh Bangun Teuku Markam Adam Malik Sohibnya Bram Tambunan Insiden Hoegeng dan Robby Tjahjadi di Cendana 8 Bea Cukai Loloskan Mobil Selundupan Robby Tjahjadi Cerita Bob Hasan di Nusakambangan Slamet Sarojo, Polisi Jadi Pengusaha Sidang Terbuka Jusuf Muda Dalam Hoegeng Membuka Buku Hitam Menggeruduk Rumah Penggede Orde Lama Hoegeng Menangkal Bahaya Narkotika