Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Belanda Mendirikan Denpasar

Setelah menaklukkan Bali, pemerintah kolonial Belanda mengubah kota kerajaan itu menjadi kota modern dengan berbagai infrastruktur yang menunjang kepentingan mereka.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 29 Jan 2021
Rombongan pasukan Belanda di Bali. (Wikimedia Commons).

Upaya rakyat Bali mengusir kekuatan kolonial Belanda dari wilayahnya berakhir sudah. Pada 20 September 1906, rakyat memutuskan mengakhiri perlawanan. Kerusakan yang semakin meluas, serta gugurnya seluruh keluarga istana, membuat mereka terpaksa meletakkan senjata. Belanda pun keluar sebagai pemenang Puputan Badung.

Pasca perang, pemerintah kolonial segera membangun kontrol atas wilayah barat dan selatan Bali, baik di lapangan politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Dalam menjalankan kontrol, pemerintah kolonial mendirikan pemerintahan sementara di bekas wilayah Kerajaan Badung. Mereka lalu memilih Puri Denpasar sebagai pusat pemerintahan sementara tersebut. Menurut Made Sutaba, dkk dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali, puri itu juga menjadi pertahanan terkuat Belanda di Bali. Asisten Residen Swartz yang membawahi wilayah Afdeeling Zuid Bali, ditugasi menjaga tempat itu.

Nama Denpasar cepat dikenal kalangan Belanda, terutama tentara yang ikut dalam pertempuran. Tidak hanya sebagai pusat pemerintahan kolonial, tetapi juga digunakan untuk menyebut wilayah bekas Kerajaan Badung. Lama kelamaan Denpasar dikenal luas sebagai nama sebuah kota, menggantikan Badung.

Advertising
Advertising

Baca juga: Pasang-Surut Hubungan Bali dengan Bangsa Asing

Dijelaskan A.A. Gde Putra Agung, dkk dalam Sejarah Kota Denpasar 1945-1979, berdasar laporan resmi seorang peneliti Belanda, Van Geuns, pada akhir 1906 diketahui bahwa Denpasar adalah sebuah kota yang terdiri dari rumah-rumah penduduk dengan keadaan jalan yang kurang menunjang. Laporan itu merupakan keterangan pertama Denpasar sebagai nama sebuah kota.

“Dengan kenyataan ini nama Denpasar sebagai sebuah nama kota lahir pada tanggal 24 November 1906. Dan justru orang Belandalah yang memberikan julukan kepada tempat puputan ini dengan nama Denpasar,” kata Gde Putra Agung, dkk.

Pemerintah Belanda membagi wilayah bekas kekuasaan Badung ke dalam lima kedistrikan, yakni Distrik Kota (Denpasar), Distrik Kesiman, Distrik Kuta, Distrik Abiansemal, dan Distrik Mengwi. Hal itu dilakukan demi mempermudah pengaturan di tempat tersebut. Distrik Kota menjadi pusat pemerintahan, dengan berbagai aktivitas sosial, politik, dan ekonomi.

Pemerintahan Denpasar juga mengurusi wilayah yang cukup luas di selatan Bali, meliputi Badung, Tabanan, Gianyar, Klungkung, dan Karangasem. Mengingat peran penting tersebut, pemerintah Belanda melakukan banyak pembenahan di seluruh wilayah Denpasar. Pembangunan jalan, gedung-gedung pemerintahan, serta pusat perekonomian dikerjakan dalam kurun waktu yang singkat. Itu dilakukan agar kegiatan para kolonialis di Denpasar dapat cepat berjalan.

Baca juga: Upaya Memajapahitkan Bali

Tidak hanya pembangunan di bidang formal, menurut Ni Made Yudantini, dkk dalam Sejarah dan Perkembangan Kota Denpasar sebagai Kota Budaya, pemerintah Belanda juga mendirikan permukiman, sekolah, pasar, dan museum. Infrastruksur jalan dan jembatan yang menghubungkan banyak tempat pun mulai dibangun.

“Di samping jalan-jalan maka pemerintah kolonial telah pula mencoba menerapkan tata kota yang baru bagi Denpasar. Dalam tata kota ini antara lain menyangkut pembenahan, pelebaran, dan pembangunan baru sarana maupun prasarana Kota Denpasar seperti Pasar Badung yang merupakan pusat perbelanjaan bagi masyarakat,” ungkap Gde Agung Putra, dkk.

Pemerintah kolonial merencanakan pula pembangunan kawasan industri, pemukiman, rekreasi, fasilitas kesehatan, dan perkantoran pelengkap administrasi seperti kantor urusan pajak di seluruh Denpasar. Di sektor industri, perkembangan pesat terjadi pada 1930-an dengan dibangunnya pabrik minyak kelapa dan penggilingan padi.

Sementara di sektor rekreasi, kemajuan terjadi dengan sangat pesat. Seperti Pantai Kuta yang pada permulaan abad ke-19 ramai dilalui kepal-kapal dagang, mulai diperkenalkan sebagai tempat baru, yaitu sarana rekreasi. Di sana terdapat berbagai hiburan, tempat menginap, dan area bersantai. Pantai Kuta telah menjadi tempat orang-orang Eropa melepas penatnya.

Baca juga: Dihantam Pandemi Bali bak Kota Mati

Mereka berencana menjadikan Denpasar sebagai sebuah kota besar, mendampingi Singaraja di utara Bali. Kehidupan di tempat itu pun menjadi semakin ramai di berbagai sektor. Penduduk dari desa-desa sekitar mulai memasuki kawasan Denpasar. Mereka membangun kehidupan baru di sana, baik sebagai buruh, pedagang, hingga pembantu orang-orang Eropa.

Dampak urbanisasi memaksa pemerintah Belanda membangun tangsi militer di sekitar pusat kota. Tidak lupa didirikan juga gudang senjata, kantor kepolisian, kantor agrarian, dan rumah sakit umum. Pejabat tinggi pun mulai ditempatkan di sana, mengurusi berbagai keperluan administrasi dan pengawasan terhadap masyarakat bumiputera yang dari hari ke hari semakin ramai menempati wilayah Denpasar.

“Namun demikian pemerintah telah menyadari akan masalah tersebut sehingga masalah-masalah seperti itu dapat ditangani dengan mudah. Pemerintah hanya bersikap memberikan petunjuk kawasan mana yang dapat dimukimi sesuai dengan rencana pemekaran Kota Denpasar. Perkembangan ini berlanjut sampai akhir pemerintahan kolonial Belanda di Bagi pada Maret 1942,” tulis Gde Agung Putra, dkk.

TAG

bali denpasar

ARTIKEL TERKAIT

Jenderal "Jago Perang" Belanda Meregang Nyawa di Pulau Dewata Pembantaian dan Penjarahan di Bali Selatan Raja Bali yang Digosipkan Punya Harem ABRI Masuk Desa Demi Golkar di Bali Pulangnya Keris Pusaka Warisan Puputan Klungkung Agung Jambe Dibunuh dan Kerisnya Dirampas Pembantaian di Puri Cakranegara Banjir Darah di Puri Smarapura Koleksi Pita Maha Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi Pesona dari Desa Penglipuran