Kamis, 1 Januari 1959, Republik Kuba memasuki fase baru. Akibat serangan terus menerus dilakukan oleh para gerilyawan revolusiener pimpinan Fidel Castro, Presiden Fulgencio Batista hengkang ke Republik Dominika. Sejak itulah Kuba secara resmi jatuh ke tangan para revolusiener.
Namun tak semua negara di dunia mengakui kekuasaan Castro, terutama negara-negara Barat dan para sekutunya. Pengakuan total justru datang dari negara-negara yang berafiliasi ke Blok Timur dan sebagian negara-negara yang pernah terlibat dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955. Salah satunya adalah Republik Indonesia (RI) yang menugaskan Ali Sastroamidjojo (diplomat senior sekaligus Duta Besar Tetap RI untuk PBB) untuk merintis hubungan RI dengan Kuba.
“Jadi sebelum Presiden Sukarno bertemu dengan Fidel Castro dan Che Guevara pada 1960, eyang saya-lah yang terlebih dahulu mengondisikan rencana pertemuan antara Castro dengan Bung Karno,” ungkap Tatiek Kemal, salah seorang cucu Ali Sastroamidojojo.
Baca juga: Sukarno dan Jenggot Fidel Castro
Dalam otobiografinya, Tonggak-Tonggak di Perjalananku, Ali Sastroamidjojo menyatakan bahwa kunjungannya ke Kuba adalah salah satu misi diplomatik yang paling penting dan mengesankan dirinya.
“Kunjungan itu saya lakukan dengan persetujuan Kementerian Luar Negeri di Jakarta yang memberikan tugas pula supaya saya menyampaikan pesan Menteri Luar Negeri RI kepada Menteri Luar Negeri Kuba bahwa Pemerintah RI sudah siap melaksanakan tukar menukar perwakilan diplomatik pada tingkat duta besar….” ungkap Ali.
Rombongan utusan RI terdiri dari Ali Sastroamidjojo, Titi Roelia (istri Ali Sastroamiodjojo) dan Sekretaris Pertama bernama Masfar. Mereka tiba di di Havana (ibu kota Kuba) pada 16 Desember 1959. Begitu mendarat di Bandara Jose Marti, rombongan kecil Ali Sastroamidjojo langsung disambut oleh Menteri Luar Negeri Kuba Dr.Raul Roa.
Sambutan meriah dilangsungkan oleh para pejabat Kuba. Dr. Roa secara khusus mengadakan resepsi bagi rombongan Ali di Kementerian Luar Negeri dengan dihadiri oleh semua kepala perwakilan diplomatik di Havana dan para menteri kabinet Castro serta para pejabat militernya.
Guna menghormati tamu-tamu dari Indonesia, selama kunjungan empat hari itu khusus di atas gedung Kemenlu Kuba dikibarkanlah Sang Saka Merah Putih. Namun anehnya, saat melihat jadwal acara utusan khusus RI selama di Kuba, Ali sama sekali tak menemukan agenda untuk bertemu dengan pemimpin revolusi sekaligus perdana menteri Kuba, Fidel Castro.
“Saat menyampaikan pesan dari Menlu RI, saya singgung soal keheranan saya itu. Saya katakan, mengunjungi Kuba tanpa berjumpa dengan Fidel Castro rasanya agak ganjil,” ujar Ali.
Ditanyakan soal tersebut secara langsung oleh tamunya membuat Dr.Roa gelagapan. Sambil sedikit agak rikuh, dia mengatakan bahwa dirinya sudah berusaha untuk mengatur pertemuan antara Ali Sastroamidjojo dengan Fidel Castro tetapi hingga detik itu belum juga berhasil karena Dr. Roa sendiri sama sekali tidak tahu di mana Fidel Castro berada hari-hari itu.
Fidel, lanjut Roa, selalu sibuk dan tak pernah berada di kantornya. Dia sangat rajin berkeliling dan turba ke daerah-daerah tanpa memberitahu sebelumnya ke mana dia akan pergi.
“Tetapi Menlu Roa berjanji akan terus mengusahakan agar saya bertemu dengan Castro dan akan memberi kabar kepada saya dalam waktu 24 jam,” kenang Ali.
Dua hari kemudian, Ali mendapat undangan makan malam dari Che Guevara pada jam 20.00. Di undangan jamuan makam itulah, dia baru mendapatkan kepastian bisa bertemu dengan Castro. Maka berangkatlah Ali Sastro, Titi Roelia dan Masfar malam itu ke Gedung Bank Sentral Nasional, tempat Che Guevara berkantor.
Begitu sampai di tempat acara, semua pejabat sudah hadir termasuk Guevara dan Roa. Anehnya saat acara makan malam akan dimulai, tempat duduk Castro tetap kosong. Ali melihat wajah Roa mulai gelisah, namun tidak demikian dengan Che Guevara.
“Dia terlihat tenang-tenang saja, mungkin sudah terbiasa dengan sikap Castro tersebut,” ungkap Ali.
Begitu acara makan malam akan berakhir dan akan ditutup dengan acara minum kopi bersama, tetiba Castro datang dalam pakaian perjuangan lengkap dengan pistol di pinggang kanan-nya. Tanpa menghiraukan aturan protokoler, Castro langsung mendatangi Ali dan menjabat erat tangannya. Acara minum kopi kemudian berpindah ke ruangan lain.
Baca juga: Ali Sastroamidjojo, Sang Diplomat Ulung
Castro berbicara akrab dengan para tamunya dari Indonesia itu. Dalam suatu kesempatan, dia bertanya kepada Ali mengenai kesan-kesan terhadap Kuba dan rakyatnya. Ali menjawab bahwa dirinya belum memiliki kesan apapun, karena selama di Kuba dia hanya melihat situasi di Havana saja.
Castro paham. Secara spontan, dia lantas mengajak Ali untuk ikut serta dengan dia melihat daerah-daerah di luar Havana. Ajakan itu langsung diiyakan oleh Ali karena dirinya mengira kunjungan itu akan dilakukan besok hari. Ternyata dugaannya salah. Pemberangkatan ke daerah itu akan dilakukan pada malam itu juga.
“Padahal waktu sudah menunjukan jam 12 malam,” kenang Ali.
Singkat cerita, Ali Sastro, Titi Roelia dan Masfar mengikuti rombongan Castro. Perjalanan panjang pun dimulai dengan kawalan para prajurit berambut gondrong. Setelah mengunjungi sebuah pabrik gula dan minum kopi di sana, seorang pejabat memberitahu bahwa mereka ditunggu oleh Castro di suatu tempat.
Baca juga: Kisah Sunyi Ali Sastroamidjojo
Castro menerima rombongan Indonesia ketika dia sedang sibuk memberikan petunjuk kepada para pekerja dan sopir-sopir truk yang tengah sibuk menggarap tanah di tepi suatu danau besar bernama Zapata. Castro menjelaskan kepada Ali bahwa pekerjaan yang tengah dikerjakan itu merupakan suatu proyek pembangunan perumahan kepariwisataan. Bukan untuk para wisatawan asing melainkan untuk rakyat Kuba sendiri yang selama rezim Batista belum pernah menikmati istirahat di tempat yang indah dengan biaya murah.
Setelah selesai dengan urusan pekerjaan, di luar agenda, rombongan Indonesia “diculik” oleh Castro untuk menuju sebuah pulau kecil di tengah danau. Di sanalah berada tempat peristirahatan Castro jika melepas penat seusai turba. Tak sampai setengah jam sampailah mereka di pulau tersebut.
Ali mengenang rumah peristirahatan yang ditempati Castro lebih menyerupai “benteng persembunyian” dibanding suatu villa mewah. Rumahnya sederhana sekali namun tetap dilengkapi sebuah tempat pendaratan untuk helikopter.
“Saya juga melihat beberapa antena tinggi untuk mengirim dan menerima berita-berita radio…” ungkap Ali.
Baca juga: Menanti Gelar Pahlawan Nasional untuk Ali Sastroamidjojo
Ketika sudah tiba waktunya makan siang, Castro meminta disediakan makanan buat dia dan para tamunya. Tetapi di dapur, yang tersedia ternyata hanya tinggal nasi saja, karena lauk pauknya sudah habis. Marahkan Castro? Alih-alih kesal, dia malah mengajak Ali dan seorang pejabat untuk memancing ikan di danau. Sambil memancing Castro bercerita tentang segala hal mengenai sendi dan misi dari revolusinya.
Beberapa jam memancing, banyaklah ikan yang didapat. Castro meminta para pengawalnya untuk menggoreng ikan-ikan hasil pancingan itu. Jadilah kemudian mereka makan sore hanya dengan menu ikan goreng, kecap dan sejenis cabe rawit.
“Bagi mereka hal semacam itu biasa saja, karena rupanya Castro dan kawan-kawannya biasa juga makan seperti itu selama bergerilya di hutan-hutan dan pegunungan,” ungkap Ali.