Masuk Daftar
My Getplus

Kemenangan dari Masa Lalu

Hakim mengetuk palu pada hari yang mendung di Den Haag. Kabar cerah untuk Rawagede. Tiga kambing Saih bin Sakam bisa jadi diganti.

Oleh: Aboeprijadi Santoso | 15 Sep 2011
Pengadilan gugatan hukum kasus Pembantaian Rawagede di pengadilan Den Haag, Belanda. (Radio Nederland Wereldomroep).

Pada 8 September 2008, KUKB mewakili sembilan janda Rawagede, resmi menuntut negara kerajaan Belanda untuk bertanggungjawab secara hukum atas “kerugian yang diderita warga Rawagede akibat tindakan tentara Belanda”. Pada 21 November 2008, negara menyatakan kepada pengacara para penggugat tersebut “tidak bersedia memberi ganti rugi atas kerugian yang mereka ajukan”.

Para janda penggugat menuduh negara Belanda bertindak onrechtmatig (unlawful, melawan hukum) dengan melakukan: Pertama, eksekusi terhadap para suami dari para penggugat dan seorang ayah dari seorang penggugat dan penembakan Saih, dan kedua, karena tidak melakukan penyelidikan dan penyidikan hukum yang baik dan tidak mendakwa serta tidak mengadili militer Belanda yang bertanggungjawab atas eksekusi.

Tentang gugatan yang terakhir disebut, Hakim menunjuk pada perjalanan kandasnya kasus Rawagede sejak terjadinya surat-menyurat antara Letjen Spoor dan Jaksa Federhof hingga kebijakan pemerintah pada 1948, 1969 dan 1995. Singkatnya, negara mengabaikan tugasnya menegakkan keadilan.

Advertising
Advertising

Maka pada Rabu, 14 September 2011, majelis hakim yang terdiri dari Mr. D.A. Schreuder, Mr. J.J. van der Helm, dan Mr. M.E. Honee pun mengetuk vonis dengan menyatakan “de Staat heeft onrechtmatig gehandeld (negara telah melakukan tindak melawan hukum) terhadap para penggugat” dengan melakukan eksekusi, menembak Saih, karenanya, negara harus bertanggung jawab atas segala kerugian mereka.

Baca juga: Jalan Panjang Memenangkan Gugatan Pembantaian Rawagede

Belum selesai ketua majelis hakim membacakan putusannya di siang hari yang mendung di Den Haag itu, Jeffrey Pondaag tak kuasa menahan emosi. Dia menangis tersedu-sedu. “Saya memberi selamat kepada para janda, dan menyesal tidak bisa memberi selamat kepada Pak Saih karena beliau sudah mendahului kita,” katanya sedih bercampur gembira. 

Pondaag boleh berbangga atas upaya keras dan kampanyenya selama bertahun-tahun yang akhirnya berbuah manis. Tapi di sudut luar sidang, pengacara yang mewakili pihak tergugat kepada pers mengaku belum tahu apa langkah pemerintah selanjutnya. Dia tidak menyebut atau pun membantah kemungkinan kasasi (naik banding). Namun banyak pihak, termasuk Pondaag dan KUKB, tampaknya tetap harus menimbang serius kemungkinan itu. “Kami akan pelajari lebih dulu keputusan itu,” ujar sebuah sumber di Kementerian Luar Negeri Belanda.

Yang pasti, sang pengacara penggugat, Liesbeth Zegveld tetap sumringah. Semangatnya optimistis. “Saya senang, akhirnya pengadilan menyadari ini sebagai suatu tindak kejahatan yang harus diselesaikan,” ujarnya begitu keluar dari ruang sidang.

Jadi apa sebenarnya kekuatan argumen yang membuat kasus ini gol di tengah pesimisme banyak kalangan? Zegveld mengatakan, “Kami katakan tidak jujur, tidak adil untuk mengimbau kadaluwarsa bagi kasus seperti ini. Negara bertanggungjawab penuh bahwa kasus ini sebegitu lama kandas di jalan. Negara mengatakan kalian (para penggugat) terlampau lama menunggu sejak peristiwa. Tapi kami katakan, Anda (negara) tidak bisa mengatakan begitu kalau kasusnya sedemikian serius, lalu Anda berputar-putar dengan berbagai alasan dan kebijakan. Di situ negara justru harus mengambil tanggungjawab. Dan argumen ini diterima oleh dewan hakim. Ini belum pernah terjadi sebelumnya.”

Baca juga: Kisah Duka dari Pembantaian Rawagede

Bagaimana dengan para penggugat dan ganti ruginya? Kesembilan penggugat yang diwakili KUKB tersebut adalah Wisah binti Silan, Wanti binti Dodo, Lasmi binti Kasilan, Cawi binti Baisan, Taswi, Tijeng binti Tasim, Layem binti Murkin, Taijsi binti Tikin dan Saih bin Sakam. Kecuali yang tersebut terakhir yang telah almarhum, semuanya adalah janda dari korban eksekusi Rawagede. Banyak di antara mereka telah menginjak usia lanjut. Pak Saih begitu bersahaja ketika di Belanda mengatakan hanya ingin bertemu Ratu Beatrix dan mendapatkan ganti rugi untuk tiga kambing milik ayahnya yang ikut tewas. Dia gagal bertemu Ratu, tapi ganti rugi bagi keluarganya tentu harus lebih dari sejumlah ekor kambing.

Pihak negara kerajaan Belanda sejak semula memang tidak membantah terjadinya eksekusi di luar hukum, namun tidak pernah berkesimpulan tegas dan bernyali untuk membawanya ke meja hijau. Untuk pelipur lara, Belanda menyediakan dana sebesar 850 ribu euro untuk dikelola oleh sebuah LSM Belanda sebagai suatu proyek pembangunan di Rawagede. Untuk tidak menyiratkan pengakuan dan tanggungjawab atas kasus Rawagede, maka proyek itu ditangani LSM. Celakanya dana dan proyek yang diputuskan oleh kabinet yang lalu itu kini tak karuan juntrungannya. Pihak Kementerian Luar Negeri yang membawahi kerjasama pembangunan mengatakan belum ada proyek yang diajukan sedangkan LSM pengelola dana yang kebetulan juga aktif sekitar Rawagede kini tidak diterima lagi di Rawagede karena dituduh mencatut uang ganti rugi bagi desa Rawagede. Salah kaprah pahit ini kini menjadi isu politik baru pasca vonis hakim kemarin.

Pihak pengacara penggugat kini harus menyiapkan perhitungan rumit yang mencakup berbagai jenis kerugian material maupun non-material (biaya hidup akibat kerugian perang, nasib janda dengan anak yang kehilangan ayah, biaya sekolah anak dan lain sebagainya). Ada yang menyebut jumlah 350 gulden pada nilai tahun 1946, tapi ini pun belum dapat dipastikan nilainya dalam euro sekarang.

Baca juga: Simpang Siur Penyebab Pembantaian Rawagede

Sejarah kini mencatat masyarakat pasca-kolonial tak mudah begitu saja lepas dari sisa-sisa beban kolonial. Di Belanda ada anggapan, dengan tampilnya generasi baru, masalah kolonial Belanda di Indonesia sudah passee (sudah lewat), untuk mengatakan Belanda telah bebas dari trauma kolonial. Tetapi kasus Rawagede yang tak dinyana telah dimenangkan oleh para janda penyintas itu menunjukkan perjalanan waktu mencakup enam dasawarsa yang memperlihatkan kealotan sikap elite politik dan elite kehakiman.

Hakim, seperti ditegaskan pula oleh pengacara penggugat van Zegveld, jelas memutuskan bahwa perkara seperti ini, demikian juga ganti ruginya bila dimenangkan, hanya berlaku bagi mereka yang menderita kerugian akibat kasus yang terjadi. Artinya, anak-anak korban dan janda tersebut berhak memperoleh ganti rugi, namun hak berhenti di sini, jadi tidak berlaku bagi cucu dan cicit mereka.

Seperti dikatakan Zegveld, kemenangan hukum tanpa preseden atas kasus kejahatan perang dapat berimplikasi pula bagi kasus-kasus serupa di Indonesia di masa kolonial. Kasus pembantaian ratusan penduduk Sulawesi Selatan oleh Kapten Raymond Westerling misalnya. Tapi untuk pengaduan hukum seperti Rawagede, diperlukan sejumlah saksi hidup dari masa itu dan juga upaya hukum sebuah badan yang mewakili mereka dengan bahan bukti yang memadai. Nah, masih adakah saksi mata kasus Westerling di Sulawesi Selatan yang seefektif seperti almarhum Pak Saih bin Sakam?

Baca juga: Membuka Peristiwa Pembantaian di Sulawesi Selatan

Tak kalah penting: perlu nyali politik. Keberanian dan ketelitian para pengacara maupun Dewan Hakim perlu dipuji. Inilah halaman pertama dari Belanda pasca-kolonial yang harus menelan kembali ludah dari ulah kolonialnya. Tak berlebih sebuah harian, De Volkskrant, menyatakan kasus Rawagede mengingatkan kita pada Kanselir Jerman Barat Willy Brandt yang pada 1970 dengan tegar dan tulus tunduk, duduk bersimpuh di depan monumen korban Nazi di Warsawa, Polandia, sebagai isyarat kuat untuk pengakuan kesalahan Jerman terhadap bangsa Yahudi.

Tapi tak ada Willy Brandt lain di Indonesia. Justru di saat masyarakat Belanda mulai menggugat ulah tentara kolonialnya di tahun 1990-an, baik Belanda maupun Indonesia sedang memulihkan dan merapatkan hubungan demi kepentingan masing-masing. Di Belanda ada Jan Pronk yang menggugat kasus pembantaian Santa Cruz, Dili, pada 1991 tapi ulah Pronk dihujat elite Orde Baru dan Pronk dipersalahkan di Belanda.

Tiga dasawarsa Orde Baru berlalu berarti Indonesia makin miskin dengan saksi-saksi hidup yang dapat menggolkan kasus semacam Rawagede. Sudahkah terlambat bagi Indonesia untuk menggugat di meja hijau kasus kejahatan perang Belanda dan menampilkan nyali politik untuk menuntut pengakuan penuh, termasuk de jure, atas kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945?

TAG

pembantaian rawagede

ARTIKEL TERKAIT

Jenderal Belanda Tewas di Lombok Letnan Rachmatsyah Rais Gugur saat Merebut Tank Belanda Dulu Tentara Kudeta di Medan Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika Sebelum Jenderal Symonds Tewas di Surabaya Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Pelatih Galak dari Lembah Tidar Pangeran Pakuningprang Dibuang Karena Narkoba Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem