KOMISI Eropa menolak seruan negara-negara Eropa Timur untuk memberlakukan apa yang disebut hukum genosida ganda yang akan mengkriminalisasi siapapun yang menyangkal kejahatan rezim komunis, seperti juga banyak negara Eropa melarang penyangkalan atas holocaust.
Minggu lalu, enam negara Eropa Timur menulis kepada Viviane Reding, komisaris hukum Eropa, menghimbau agar Uni Eropa memberikan sanksi terhadap tindakan-tindakan “pemaafan publik, penyangkalan, serta pengecilan makna kejahatan (rezim) totalitarian.”
Menteri luar negeri Lithuania, Latvia, Bulgaria, Hungaria, Romania, dan Republik Ceko menyatakan bahwa kejahatan rezim komunis “harus diperlakukan dengan standar yang sama” sebagaimana kejahatan Nazi, terutama di negara-negara yang memberlakukan hukum penyangkalan holocaust.
Namun para pejabat tinggi Uni Eropa mengatakan dalam sebuah laporan yang dipublikasikan pada 22 Desember 2010, bahwa pendapat mengenai masalah ini masih bercabang dan tak ada dasar hukum bagi Brussels untuk memutuskannya.
“Tak ada konsensus dalam masalah ini. Masing-masing negara anggota punya sudut pandang sendiri-sendiri,” ujar jurubicara Komisi Hukum Uni Eropa Matthew Newman kepada The Guardian. Dia mengatakan, Komisi Eropa memandang masalah ini “dengan amat serius.” Namun, “Dalam tahap ini, syarat-syarat untuk membuat peraturan belumlah terpenuhi. Komisi Eropa akan terus mengkaji masalah ini.”
Negara-negara Eropa Timur mengandalkan kemampuan Uni Eropa untuk membuat hukum terkait kejahatan lintasnegara “yang amat serius” dan keputusan Uni Eropa di masa lalu tentang rasisme dan xenofobia.
Namun Komisi Eropa mengatakan tak ada instrumen hukum yang menyinggung totalitarianisme dan karenanya menolak usulan genosida ganda. “Tentu saja harus digarisbawahi bahwa apa yang dilakukan rezim komunis adalah sebuah kejahatan, namun mereka tak menargetkan minoritas etnis tertentu,” ujar Newman.
Menurut Menteri Luar Negeri Lithuania Audronius Azubalis, yang memimpin para menteri luar negeri untuk mengkampanye hukum baru itu, pemahaman Uni Eropa tentang genosida harus diperluas dan mencakup kejahatan terhadap kelompok yang didefinisikan sebagai “status sosial atau keyakinan politik.”
Andrius Grikienis, jurubicara misi Lithuania ke Uni Eropa mengatakan: ”Selama tahun-tahun pertama pendudukan Soviet, Lithuania kehilangan 780.000 penduduknya. 444.000 orang meninggalkan Lithuania atau dipulangkan ke tanah air mereka, 275.697 orang dikiirm ke gulag atau pembuangan, 21.556 orang tentara perlawanan dan pendukung mereka dibunuh, serta 25.000 orang mati di garis depan.”
Sebagai perbandingan, dia mengatakan, “Lebih dari 200.000 warga Yahudi dibunuh oleh Nazi dan kolaboratornya (di Lithuania).”
Komisi Eropa tak berminat masuk ke wilayah yang amat kontroversial. Sejumlah negara Eropa Barat menolak usulan itu. Mereka beranggapan bahwa ini usaha terselubung untuk merehabilitasi para kolaborator (Nazi di negara-negara Eropa Timur) sementara antisemitisme masih menjadi isu hangat di masyarakat dan media-media di Eropa Timur.
Pada 25 November 2010, dutabesar Inggris, Estonia, Finlandia, Prancis, Belanda, Norwegia, dan Swedia yang bertugas di Vilnius, ibukota Lithuania, mengirimkan surat pernyataan kepada presiden Lithuania dan pejabat tinggi lainnya. Dalam surat itu mereka mengungkapkan kekhawatiran atas sentimen antisemit yang terus berkembang di Lithuania.
Mereka mengajukan keberatan atas sebuah artikel suratkabar yang ditulis sejarawan Kementerian Dalam Negeri Lithuania, Petras Stankeras, yang menyebut Holocaust sebagai sebuah “dongeng”. Mereka juga memprotes keputusan pengadilan di Klaipedia, Lithuania, Mei lalu, yang melegalkan swastika dipampangkan di tempat-tempat umum. Dengan alasan swastika adalah “simbol tradisional Lithuania”. Sementara “berbagai upaya untuk menyamakan genosida tak berperikemanusiaan terhadap Yahudi dengan kejahatan Soviet terhadap Lithuania, yang meski tak dapat dikecilkan, tak bisa dianggap dama dalam tujuan atau hasilnya.”
Pada masa Perang Dunia II, Lithuania adalah salah satu negara tempat kamp konsentrasi Nazi. Di kamp konsentrasi Kovno, setidaknya 35.000 orang Yahudi terbunuh. Menurut Jonathan Freedland dalam kolomnya di The Guardian, Nazi dan kolaboratornya di Lithuania memerintahkan penggalian sebuah lubang besar di Ninth Fort, sebuah penjara di Kovno, tempat mereka menembak mati 10.000 orang Yahudi, termasuk 4.237 anak pada suatu hari di bulan Oktober 1941. Tapi pembunuhan terhadap Yahudi telah terjadi sebelum Nazi menginvasi Lithuania pada 22 Juni 1941.
Efraim Zuroff, pemburu Nazi dan direktur Simon Wiesenthal Center cabang Israel, menggambarkan usaha keenam negara Eropa Timur itu sebagai “penyesuaian palsu.”
“Kami tak mempersoalkan hari peringatan bagi kejahatan komunis, dan memang sesuatu harus dilakukan. Namun holocaust adalah tragedi yang unik dalam sejarah,” ujarnya.
“Meski kejahatan Soviet amat mengerikan, namun Anda tak bisa membandingkan orang-orang yang membangun Auschwitz dengan orang-orang yang membebaskannya. Nazi Jerman mungkin tak akan kalah jika bukan karena jasa Rusia.” [Guardian]