Samuel Ratulangi, gubernur pertama Sulawesi mengalami rupa-rupa perlakuan tidak adil ketika Belanda mengasingkannya ke Serui, Papua. Pada awal masa pengasingan, Ratulangi sekeluarga diberi makan daun pepaya tiap hari. Cara represi seperti ini cukup membuat Ratulangi sekeluarga mengeluh. Mereka merasa diperlakukan seperti kambing.
Selain asupan makan yang memprihatinkan, pemerintah Belanda mendoktrin penduduk Serui untuk menjauhi kelompok Ratulangi. Setelah tiba di Serui dari Makassar pada April 1946, Ratulangi dan rombongannya dipisahkan dari penduduk. Agar menjaga jarak dengan mereka, pemerintah Belanda mengancam warga setempat: barang siapa berani mendekati tujuh oknum berbahaya (Ratulangi dkk) akan ditindak tegas.
“Waktu kami masuk di sana, rupanya sudah dikasih bisikan ‘ini hati-hati orang oknum, oknum yang berbahaya’,” tutur Lani Ratulangi Sugandi, kepada Historia. Lani adalah putri ketiga Samuel Ratulangi yang turut serta dalam pengasingan ke Serui. Lani yang bernama asli Everdina Augustina kini berusia 87 tahun dan akrab disapa Oma Lani.
Baca juga:
Keluarga Sam Ratulangi Makan Daun Pepaya Tiap Hari
Menurut Lani, pemerintah Belanda mencekoki penduduk Serui yang kebanyakan beragama Protestan. Mereka bilang bahwa kelompok Ratulangi merupakan oknum berbahaya sebagaimana antagonis dalam kisah Alkitab. “Masyarakat di situ kan banyak Protestan jadi pakai istilah-istilah dulu saya belum ngerti, kita itu disebut oknum berbahaya pakai ceritera dari Alkitab,” katanya.
Seturut dalam penelitian Bernarda Meteray dalam Nasionalisme Ganda Orang Papua, kelompok Ratulangi dilarang mengadakan kontak dengan penduduk setempat. Pemerintah menganggap mereka kriminal yang sangat berbahaya. Namun lamban laun, orang-orang Serui menyadari bahwa Ratulangi dan kelompoknya bukanlah orang yang berbahaya. Pemerintah Belanda pun perlahan memberikan kebebasan kepada Ratulangi sekeluarga untuk berhubungan dengan penduduk Serui.
Baca juga:
Bunuh Diri Kelas Soegoro Atmoprasodjo
Setiap pagi kala memasak, istri Ratulangi Maria Tambayong membuka jendela dapur rumah. Anak-anak Serui kerap menghampiri dan menyapa keluarga Ratulangi. “Selamat Pagi Tuan, Selamat Pagi Nyonya,” kata mereka.
“Anak-anak Papua di Serui itu masih sangat polos dan luhur budinya,” kenang Oma Lani.
Sekali waktu, Sam Ratulangi ingin mengubah kebiasaan menyapa anak-anak Serui. Supaya lebih akrab dan tidak berjarak, Ratulangi mengatakan, jika ingin menyapa cukup katakan saja pekik merdeka. Keesokan harinya, anak-anak itu datang dan kembali menyapa.
“Merdeka,Tuan! Merdeka, Nyonya!”
Walaupun sudah diajarkan supaya lebih setara, salam sapa anak-anak Serui itu tetap tidak seperti yang diharapkan Ratulangi. Meski demikian, Ratulangi berhasil menjalin silahturahmi yang sangat baik dengan penduduk setempat. Simpati dan dukungan orang Serui terhadap Ratulangi pun datang silih berganti.
Baca juga:
Soegoro Atmoprasodjo, Orang Pertama yang Memperkenalkan Nasionalisme Indonesia di Papua
Ketika kebutuhan konsumsi keluarga Ratulangi tercukupi dengan kebijakan berbelanja sendiri, Ratulangi kerap mengundang warga sekitar untuk makan di rumahnya. Bukan hanya itu saja. Di tengah status sebagai tahanan politik, Ratulangi bahkan berhasil mendirikan partai politik Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) dengan menggandeng putra Papua bernama Silas Papare.