Di depan corong radio London, Ratu Belanda Wilhelmina berpidato. Bukan dalam bahasa Belanda, Sri Ratu menyampaikan sabdanya lewat bahasa Inggris. Hal ini dapat dimengerti sebab keberadaan Ratu Wilhelmina di Inggris dalam status pelarian setelah negerinya diduduki oleh tentara Jerman.
Dalam pidatonya, Wilhelmina mengenang betapa kejinya serangan Jepang terhadap Amerika Serikat (AS) setahun silam. Sang Ratu menekankan peran Belanda yang tanpa ragu ikut ke kancah perang berada bersama AS sebagai sekutu. Pidato tersebut disiarkan pada 7 Desember 1942 dan harian Inggris, Time ikut pula memuatnya.
Yang menarik, Wilhelmina juga menyanjung jasa negeri koloninya, Hindia Belanda. Wilhelmina menyampaikan rasa terimakasih kepada Hindia Belanda karena telah mempertahankan diri dari serbuan pasukan Jepang dengan heroik. Dan pada kesempatan itulah untuk kali pertama, Sang Ratu menyebut nama Indonesia dalam pidato resminya.
Baca juga:
Raja Nusantara di Penobatan Ratu Belanda
Indonesia - bersama dengan Suriname dan Curacao – kata Wilhelmina akan dilibatkan dalam satu konferensi yang setara dengan Kerajaan Belanda. Ratu Belanda itu menjanjikan bentuk pemerintahan baru bagi negeri koloninya untuk bebas sesuai dengan spirit Piagam Atlantik. Wilhelmina bersedia memenuhi janjinya untuk duduk berembuk bersama Indonesia setelah perang berakhir.
Sekilas terdengar seperti angin sejuk, namun pidato Wilhelmina itu mengandung muatan politis cukup besar. Di tengah deru Perang Dunia II yang masih berlangsung, Belanda tengah menarik simpati para sekutunya. Belanda sejatinya masih memiliki kepentingan terhadap negeri koloni.
“Tanpa memandang apakah pernyataan tersebut jujur atau hanya basa-basi, pernyataan Ratu Wilhelmina tersebut berhasil menimbulkan akibat yang diharapkan,” ujar sejarawan Universitas Amsterdam Belanda Frances Gouda dan peneliti militer Thijs Brocadees Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920-1949.
Baca juga:
Menurut Gouda dan Zaalberg, pemerintah Belanda melalui pidato Ratu Wilhelmina ingin menggiring opini guna menarik dukungan AS. Di balik pidato itu, tersebutlah peran Hubertus van Mook, pamong praja Belanda yang berpengalaman sekaligus progresif. Van Mook kelak menjadi penguasa Belanda yang terakhir dan sangat berpengaruh bagi negeri tersebut selama revolusi kemerdekaan Indonesia berlangsung.
Memang terbukti, sepanjang Perang Dunia II, Presiden AS, Franklin Roosevelt memakai janji Wilhelmina sebagai contoh untuk ditiru Inggris dan Prancis. Pernyataan Roosevelt kepada Duta Besar Australia di Washington pada akhir 1944 menjadi bukti keberpihakan AS kepada Belanda. Roosevelt percaya Belanda akan menepati janji memberikan demokrasi dan status persemakmuran kepada koloninya di Asia Tenggara.
Keganjilan dalam pidato Ratu Wilhelmina juga disampaikan oleh sejarawan Belanda lainnya, Cees Fasseur. Menurut guru besar sejarah Universitas Leiden ini mengapa pidato sepenting itu baru diucapkan di masa perang. Ketika pemerintah Belanda berada dalam pengasingan dan wilayah negeri Belanda diduduki Jerman.
“Pendudukan Jerman atas Nederland telah menjadikan Indonesia sebagai sebuah wilayah berpemerintahan kolonial tanpa negeri induk,” tulis Fasseur seperti dikutip M. Adnan Kamal dalam Kepulauan Rempah-Rempah.
Baca juga:
Pasukan Bumiputera Pembela Ratu Belanda
Di Hindia Belanda sendiri, komitmen Ratu Wilhelmina itu kurang begitu bergaung. Orang-orang Indonesia menyambut dingin pidato Sri Ratu. Menurut sejarawan Ongokham dalam Runtuhnya Hindia Belanda, peluang besar Belanda untuk mempertahankan Hindia Belanda kandas setelah penolakan terhadap Petisi Soetardjo. Ketika ancaman pendudukan Jepang datang, ajakan Ratu Wilhelmina mempertahankan Hindia hanya seruan yang melempem.
Dan ketika perang usai, janji Wilhelmina pun tidak pernah benar-benar ditunaikan. Sabda Sri Ratu tidak lebih dari janji politik yang dijadikan alat oleh para politisinya belaka. Alih-alih diwujudkan, Belanda malah melakukan dua agresi militer-nya untuk kembali menguasai Hindia yang telah memerdekakan diri sebagai Republik Indonesia.