DI MAKASSAR, nama Nadjamoeddin Daeng Malewa tak begitu tenar. Dia hanya dikenal sebagai seorang tokoh politik dan pernah bergabung dalam Negara Indonesia Timur (NIT). Selebihnya samar. Bagaimana kiprahnya?
Nadjamoeddin Daeng Malewa lahir tahun 1907 dan dibesarkan dari keluarga pengusaha kapal yang bermukim di Buton. Dia Berdarah Bugis. “Selintas itu saja. Saya kira detail-detail kehidupan Daeng Malewa sungguh sulit ditemukan. Naskah dan literaturnya sedikit sekali,” kata Siti Junaeda, sejarawan Universitas Negeri Makassar.
Menurut Junaeda, pada akhir 1920-an, saat kembali ke Makassar, Daeng Malewa bergabung dengan Perserikatan Selebes, sebuah organisasi massa pemuda dari berbagai daerah. Kecakapannya dalam berorganisasi membuatnya dipercaya memimpin Perserikatan Selebes cabang Makassar. Bersama pengurus lain, dia mengembangkan Perserikatan menjadi organisasi massa bercorak lokal.
Melalui Perserikatan itulah Daeng Malewa merintis Perhimpunan Perguruan Rakyat Selebes (PPRS) pada 1930 yang bertujuan memajukan pendidikan. Di sekolah itu, dia mengajar Ringkasan Pergerakan Barat atas Pengaruhnya Fransche Revolutie serta Bahasa Belanda.
Beragamnya latar belakang politik dan sosial-budaya daerah dalam organisasi akhirnya memunculkan konflik antara “Utara” dan “Selatan”. “Nadjamoeddin yang menjadi pemimpin cabang Makassar mengambil-alih dan mengganti namanya menjadi Partai Selebes,” kata Junaeda.
Perubahaan cabang Makassar ini akhirnya diikuti pula oleh cabang Baranglompo, dan pada masa awal ini jumlah anggota Partai Selebes sekitar 400 orang. Kemudian untuk pengembangannya dibentuk pula cabang Surabaya pada 17 Januari 1932, lalu menyusul cabang Palembang, cabang Bonthain, dan cabang Buton.
Ketika mesin partai sudah berjalan baik, Daeng Malewa memutuskan bergabung dengan koalisi yang lebih besar. Maka, Partai Selebes menjadi anggota Parindra (Partai Indonesia Raya).
Selain aktif di Parindra, Daeng Malewa coba mewujudkan gagasan untuk mengembangkan perekonomian. Pada November 1935, dia juga membentuk Roekoen Pelayaran Indonesia (Roepelin) sebagai upaya menyaingi Koninklijike Paketvaart Maatschappi (KPM) yang memonopoli perdagangan laut di Indonesia. Dia juga mendirikan koperasi; salah satunya yang berhasil adalah Minasa Badji di Makassar.
Namun tak berlangsung lama, Daeng Malewa memisahkan diri karena tak didukung Parindra menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) tahun 1935-1939. Keluar dari Parindra, dia mendirikan Persatuan Selebes Selatan, dengan sikap loyal pada pemerintah dan bersedia bekerjasama dengan pihak Belanda untuk kemajuan rakyat Selebes Selatan.
[pages]Perdana Menteri NIT
Dalam beberapa pidatonya, Daeng Malewa mengungkapan kebangsaan dan pembangunan negeri secara federasi. Baginya, kedaulatan rakyat Indonesia haruslah sama rata. Gayung bersambut, pemerintah Belanda melalui Gubernur Jenderal van Mook menggandengnya dan mengadakan konferensi Malino pada 25 Juli 1946. Dihadiri oleh 70 orang perwakilan dari berbagai daerah, termasuk Kalimantan dan beberapa daerah di Indonesia bagian timur.
Menurut Junaeda, ide federasi ini akan membuat daerah Timor Besar (Indonesia Timur) mampu bersaing dengan daerah lain. “Inilah ide dan pemahaman Daeng Malewa, sehingga menggabungkan diri dengan NIT,” katanya.
Lima bulan berselang konferensi lanjutan dilaksanakan di Denpasar, Bali, 7-23 Desember 1946. Pada 24 Desember 1946, diumumkan Negara Indonesia Timur (NIT). Pemilihan presiden NIT dengan pemungutan suara anggota delegasi. Calonnya: Tjokorda Gde Raka Soekawati (Bali), Tajoeddin Noer (Sulawesi Selatan), dan Daeng Malewa (Sulawesi Selatan). Pada putaran pertama tak ada kandidat yang memiliki suara dominan. Putaran kedua kedudukan imbang: Soekawati (31 suara) dan Tajoeddin Noer (31 suara), sementara Daeng Malewa (6 suara). Perolehan suara Daeng Malewa yang kecil menjadi penentu pada putaran ketiga. Apakah suaranya akan diberikan kepada Tajoeddin Noer atau Soekawati.
“Secara kedaerahaan Daeng Malewa sangat dekat dengan Tajoeddin Noer, karena sesama orang Sulawesi Selatan, namun visi dan pandangan politiknya sangat jauh berbeda. Tajoeddin Noer pro Republik dan kesatuan. Sementara Daeng Malewa lebih pada federasi. Akhirnya suara itu dialihkan ke Soekawati,” kata Siti Junaeda.
Dengan demikian, Soekawati terpilih sebagai presiden NIT dan Daeng Malewa sebagai perdana menteri merangkap menteri perekonomian. Dia menjabat perdana menteri dua periode: 13 Januari-2 Juni 1947 dan 2 Juni 1947-11 Oktober 1947.
Daeng Malewa menjalankan beberapa program yang sudah dirintisnya sebelum NIT terbentuk, seperti menggalakkan koperasi, mengaktifkan sistem pelayaran, dan mendorong kedaulatan petani kecil. Dia juga mengusulkan dana pembangunan untuk meningkatkan perdagangan dan perkapalan sebesar 5 juta gulden. Meski anggaran ini tak disetujui, namun usahanya terlihat sekitar tahun 1947. Pemerintah Belanda membentuk otorita pemilik kapal bersama, yaitu Maskapai Kapal Sulawesi Selatan (MKSS) lalu berubah menjadi Perusahaan Pelayaran Sulawesi Selatan (PPSS), dan Pelayaran Rakyat Indonesia (Perindo) di Manado, Sulawesi Utara.
Penggelapan Anggaran
Pada Agustus 1947 dalam internal NIT berembus kabar skandal penggelapan anggaran pengadaan tekstil untuk rakyat. Dalam disertasinya di Universitas Hasanuddin berjudul “Dari Makassar ke Ujung Padang: Beberapa Catatan Perobahan Ketatanegaraan, Tata Pemerintahan dan Kehidupan Sosial sebuah Kota Besar”, Hanoch Luhukay mengatakan bahwa Daeng Malewa tak menyadari adanya desas-desus itu hingga upaya melengserkannya.
Belanda akhirnya melakukan penyelidikan. Hanoch Luhukay menyatakan, upaya menjatuhkannya sejalan dengan keinginan Belanda untuk mengontrol dan menguasai negara federal. Sementara Daeng Malewa dianggap sebagai teman Belanda yang sangat berbahaya. Sikap sosialnya membuat kehidupan politiknya seperti buku yang terbuka lebar.
Daeng Malewa diberhentikan sebagai perdana menteri pada 20 September 1947. Dia diadili dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Selain itu, melalui Surat Keputusan Resident Zuid-Celebes pada 24 September 1947, dia tidak dapat bermukim di daerah kekuasaan NIT, khususnya daerah yang diberlakukan darurat perang seperti Sulawesi Selatan.
“Saya kira tuduhan skandal tekstil itu hanyalah untuk menjatuhkan Daeng Malewa dari lawan-lawan politiknya. Karena dianggap sangat lihai,” kata Junaeda.
Sebelum vonis dijatuhkan, Daeng Malewa terserang sakit. Dia menderita penyakit kanker dan dirawat di sebuah rumah sakit di Makassar. “Saya tidak dapat data, kanker apa dan di rumah sakit mana,” kata Junaeda. “Namun, dalam beberapa arsip Daeng Malewa sakit dan pemerintah tidak mempedulikan hingga tak memberikan layanan kesehatan yang cukup baik.”
Daeng Malewa meninggal dunia di Makassar dan tak ada yang mengetahui letak nisannya.
[pages]