Masuk Daftar
My Getplus

Jalan Hidup Idham Chalid

Ia terlibat langsung dalam perjuangan NU sebagai partai politik dan aktif dalam pertarungan Pemilu 1955. Pernah menduduki jabatan strategis: dari ketua umum NU hingga ketua DPR/MPR.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 05 Mar 2021
Idham Chalid bersama seorang anggota parlemen Jepang di Gedung DPR Jakarta (Perpustakaan Nasional RI)

Dari sambungan telepon, suara itu terdengar sangat antusias. Terasa semangatnya begitu meluap-lupa ketika membicarakan sosok Idham Chlaid yang tak lain adalah kakeknya tercinta. Kenangan semasa kecil dengan Abah, sapaan keluarga untuk Idham Chalid, rasanya tidak mungkin bisa ia lupakan.

Di mata Grandy Ramadhan, Idham adalah orang yang sangat rendah hati dan sederhana pola hidupnya. Bahkan pada saat Idham Chalid memegang jabatan yang cukup tinggi di pemerintahan, gaya hidup sang kakek tetap sederhana. Ia ingat betul setiap kali keluarga berpergian ke suatu tempat, sang kakek selalu memilih tempat menginap yang sederhana, tapi tetap nyaman, alih-alih harus tinggal di tempat yang mewah dan mahal.

“Beliau sangat anti hidup bermewah-mewahan, bahkan untuk barang-barang yang beliau pakai pribadi tetap lebih mengutamakan fungsi dibandingkan kemewahan barangnya. Itu yang beliau tanamkan ke anak-anak dan cucu-cucunya. Saya banyak diajari oleh beliau,” ujar Grandy kepada Historia.

Advertising
Advertising

Baca juga: Idham Chalid, Politisi Air yang Tak Lagi Mengalir

Idham Chalid lahir di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan pada 27 Agustus 1921. Ia anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H. Muhammad Chalid merupakan penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah. Sejak kecil Idham mendapat pendidikan agama yang baik dari keluarganya. Ia juga terdaftar sebagai murid di Madrasah Al-Rasyidiyah di Amuntai.

Setamat dari madrasah tersebut, Idham melanjutkan sekolah di Pondok Modern Gontor Ponorogo. Setelah aktif di berbagai gerakan perjuangan, pada usia 30 tahun Idham dipercaya sebagai Sekertaris Jenderal Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU). Pada 1956, empat tahun setelah menjabat Sekjen, Idham diberi kepercayaan menjadi Ketua Umum PBNU. Ia menjadi Ketua Umum PBNU termuda (usia 34 tahun) dan terlama (selama 28 tahun).

Membangun Politik di NU

Pada 1950-an perpecahan di tubuh Masyumi kian meluas. Sejumlah tokoh NU di dalam partai yang dibentuk untuk menyalurkan aspirasi politik umat Islam Indonesia tersebut semakin jelas menunjukkan kekecewaannya terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil partai. Menurut Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, sejak ketegangan di kongres 1949, hubungan antara Masyumi dan NU tidak pernah membaik.

Akibatnya pada 1952, NU memutusukan berpisah dari Masyumi. Kondisi itu berimbas juga kepada Idham. Ia yang sejak 1950 duduk sebagai wakil Masyumi di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) harus memilih di mana dirinya akan berlabuh. Dikisahkan Ahmad Muhajir dalam Idham Chalid: Guru Politik Orang NU, setelah melalui berbagai pertimbangan, Idham memutuskan untuk lebih terlibat di NU ketimbang Masyumi. Salah satu alasan dari keputusan itu adalah kedekatan Idham dengan Wahab Chasbullah, Rais ‘Aam PBNU yang sangat besar pengaruhnya dalam proses perpisahan NU dari Masyumi.

Baca juga: KPK Melawan DI/TII

“Wahab inilah yang memiliki peranan penting dalam karir Idham di NU. Dengan kelihaian Wahab, namun penuh kehati-hatian, serta faktor insting politik yang tajam membuat Idham mengalami kemajuan pesat di bawah bimbingannya, dengan belajar banyak mengenai teknik berogranisasi, berdebat dan berpidato, sambil juga membangun jaringan dukungan sendiri dalam partai,” kata Muhajir.

Setelah melepas kedudukan di parlemen, Idham aktif di gerakan Pemuda Ansor. Pada 1952, ia kemudian menjabat sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi yang berafiliasi kepada NU di bidang pendidikan. Di tahun yang sama, ia diangkat menjadi Sekjen PBNU. Baru dua tahun menjabat, Idham terpilih sebagai wakil ketua PBNU. Kedudukannya kian penting manakala ia dipercaya memegang jabatan Ketua Lajnah Pamilihan Umum Nadhlatul Ulama (Lapunu), sebuah dewan yang khusus menangani Pemilu bagi partai NU.

Tugas sebagai ketua Lapunu tidaklah mudah, mengingat Pemilu 1955 menjadi ujian pertama bagi NU. Hajat demokrasi pertama rakyat Indonesia itu harus bisa menjadi ajang pembuktian NU setelah mereka keluar dari Masyumi. Ketua Lapunu dituntut membuat strategi terbaik untuk memenangkan suara dalam Pemilu tersebut. Dan Idham berhasil membuktikannya.

Baca juga: NU dalam Pemilu Pertama Orde Baru

Dalam Pemlilu 1955, NU meraih keberhasilan yang mengejutkan. Mereka berhasil mengumpulkan 45 kursi, dengan total suara yang dikumpulkan sebesar 18,4 persen. Menurut Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren, keberhasilan itu tidak lepas dari penggunaan metode kampanye yang efektif dari kubu NU, juga kemampuan NU menggalang solidaritas di lingkungan kaum santri. Berkat hasil positif dalam Pemilu 1955, NU mendapat jatah lima kursi menteri di Kabinet Ali Sastroamijoyo II, termasuk jabatan Wakil Perdana Menteri yang diserahkan pada Idham.

“Dengan usianya yang baru 35 tahun, dan tanpa pengalaman sebagai menteri, pengangkatannya mencerminkan bahwa NU tidak hanya menaruh harapan besar terhadap perkembangan karir Idham, tetapi juga tidak mempunyai calon lain yang layak,” terang Muhajir.

Baca juga: Mengapa NU Keluar dari Masyumi?

Pada Muktamar NU ke-21 di Medan pada Desember 1956, Idham terpilih sebagai ketua umum PBNU. Di bawah kepemimpinannya, NU terus melanjutkan pergerakannya di gelanggang politik dalam negeri. Dalam posisinya tersebut, ia juga sempat kembali menduduki kursi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Djuanda. Sementara kedudukannya sebagai ketua umum PBNU berakhir pada 1984. Ia digantikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang ditandai dengan fase Khittah 1926 atau NU kembali menegaskan diri sebagai organisasi masyarakat yang tidak terlibat politik praktis serta tidak berafiliasi dengan partai mana pun.

Dalam perubahan politik yang terjadi begitu cepat di dalam negeri, utamanya sejak manuver politik Sukarno menjelang dekade 1960-an, Idham tetap mengambil jalan hidup di dunia politik. Ia menjadi wakil ketua MPRS (1963-1966), Menteri Kesejahteraan Rakyat (1966-1967; 1967-1968; dan 1968-1973), Ketua DPR/MPR (1971-1977), Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (1973). Di tubuh NU sendiri kedudukan sebagai ketua umum berakhir pada 1984.

Setelah tidak lagi di dunia politik, Idham memimpin Perguruan Darul Ma’arif di Cipete Selatan, Jakarta Selatan; Lembaga Pendidikan Darul Qur’an; dan Rumah Yatim di Cisarua. Ia mengehembuskan nafas terakhirnya pada 11 Juli 2010, setelah berjuang menghadapi sakit sejak 1999. Sosok Kiai Idham kemudian diabadikan oleh Bank Indonesia dalam uang pecahan 5.000 rupiah.

TAG

idham chalid nahdlatul ulama

ARTIKEL TERKAIT

Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971 Melawan Sumber Bermasalah Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda Kibuli Raden Paku Lyndon LaRouche, Capres Abadi AS