Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso telah lama membidik aktivitas Robby Tjahjadi. Yang disebut terakhir adalah mantan pegawai negeri yang kemudian beralih profesi menjadi penyelundup mobil mewah. Robby terbilang penyelundup yang licin karena berhasil menyogok petugas bea cukai Pelabuhan Tanjung Priok. Lewat bantuan orang dalam, dia mampu meloloskan ribuan unit mobil selundupan setiap tahunnya.
“Di Indonesia tahun 1968 sampai Oktober 1972, salah satu kasus penyelundupan yang terkenal adalah kasus penyelundupan mobil mewah. Salah seorang pelakunya adalah Robby Tjahjadi, seorang turunan Cina,” tutur Hoegeng dalam otobiografinya yang ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H., Hoegeng, Polisi- Idaman dan Kenyataan.
Suatu ketika, Hoegeng berniat melaporkan kasus penyelundupan Robby Tjahjadi kepada Presiden Soeharto. Hoegeng menghadap langsung ke kediaman Soeharto di Jalan Cendana 8, Menteng, Jakarta Pusat. Tapi, Hoegeng kecele. Orang yang hendak dia laporkan ternyata sudah lebih dulu berada di Jalan Cendana. Hoegeng berpapasan dengan Robby Tjahjadi yang baru saja keluar dari rumah presiden. Buru-buru Hoegeng meninggalkan Cendana menuju kantornya di Mabes Polri, Jl. Trunojoyo 3.
Baca juga: Cerita di Balik Gedung Mabes Polri
Hoegeng tercekat saat menyadari Robby Tjahjadi memiliki relasi yang luas di kalangan elite. Padahal, menurutnya, Robby hanyalah seorang anak muda yang punya hobi bersantai di rumah-rumah hiburan malam. Pada 1971, usia Robby (kelahiran 1943) bahkan belum genap 30.
Dalam Tempo, 22 Agustus 1992, Hoegeng mengaku dirinya dianggap berbahaya oleh sejumlah “tuan besar” karena suka menangkapi orang. Desas-desus itu kian santer tatkala Hoegeng gencar menyelidiki kasus Robby Tjahjadi. Hoegeng mafhum ada pihak-pihak yang terganggu melihatnya mengutak-atik masalah penyelundupan. Toh, bagi Hoegeng, kepolisian mengusutnya sama saja seperti kasus kriminal biasa.
“Sungguh mati saat itu saya tak tahu hubungan Robby Tjahjadi dengan para pembesar,” kata Hoegeng kepada Tempo.
Baca juga: Hoegeng, Polisi Anti Suap
Aditya Soetanto –putra kedua Hoegeng– mengisahkan peristiwa ketika ayahnya dipanggil ke Jalan Cendana. Menurut Didit, panggilan Aditya, ayahnya saat itu dalam keadaan sakit gigi. Pipi Hoegeng sampai ditempel koyo untuk mengurangi rasa sakit. Setelah menunggu lama di beranda, Hoegeng belum juga mendapat panggilan masuk karena presiden sedang ada tamu.
“Papi terkejut. Ternyata, tamunya adalah Robby Tjahjadi. Papi langsung pulang dan tak mau datang meskipun ajudan meneleponnya. Papi beralasan giginya sakit, dan tak bisa ditahan lagi,” ungkap Didit seperti dikutip Suhartono dalam Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan.
Tak lama setelah insiden dengan Robby Tjahjadi di Cendana 8, Hoegeng dipanggil menghadap Presiden Soeharto. Hoegeng mencatat, hari itu tanggal 6 September 1971, presiden mencopotnya dari jabatan Kapolri. Soeharto selanjutnya menawarkannya pos duta besar di Belgia bagi Hoegeng, karena sudah tidak ada lagi posisi di Indonesia. Tawaran itu ditolak tegas oleh Hoegeng.
“Wong saya belajar untuk jadi polisi, bagaimana saya bisa jadi duta besar?” celetuk Hoegeng dikutip Tempo.
Baca juga: Hoegeng, Pensiunan Kapolri jadi Seniman
Pada 2 Oktober 1971, Hoegeng mengundurkan diri. Dalam keterangan pers, Hoegeng diberitakan pensiun dengan alasan peremajaan dalam pucuk pimpinan Polri. Padahal, penggantinya ialah Jenderal Mohamad Hasan yang usianya dua tahun lebih tua daripada Hoegeng. Meski merasa alasan pemberhentiannya belum jelas, Hoegeng enggan mengaitkannya dengan kasus Robby Tjahjadi.
Menurut Soehartono, Hoegeng merasa terpukul menyaksikan apa yang terjadi. Di satu sisi, ia melakukan pemberantasan penyelundupan yang merugikan keuangan negara, tetapi justru banyak pejabat tinggi negara yang berkompromi dengan mereka. Setelah pensiun, Hoegeng tak lagi aktif dalam pemerintahan. Dia lebih banyak berkegiatan di bidang seni dan hiburan.
Robby Tjahjadi sendiri baru tertangkap setahun kemudian, tepatnya pada 21 Oktober 1972. Dia didakwa bersalah atas penyelundupan yang menyebabkan kerugian negara sekira 700 juta rupiah. Dari tuntutan sepuluh tahun penjara, Robby hanya menjalani masa hukuman seperempatnya.
Baca juga: Bea Cukai Loloskan Mobil Selundupan Robby Tjahjadi
Setelah bebas dari penjara, Robby Tjahjadi menjadi pengusaha tekstil “Kanindotex” di Semarang. Perusahaannya sempat mencicip kejayaan sebagai eksportir benang sampai ke Eropa. Menurut sejarawan Leo Suryadinata dalam Prominent Indonesia Chinese: Biograpichal Sketches, Robby Tjahjadi mendapat dukungan dari otoritas pemerintah Indonesia. Namun, Grup Kanindo kemudian terlilit utang dan tidak mampu membayar kembali pinjamannya. Ia dinyatakan bangkrut pada September 1994.