SEBELUM diperdengarkan dalam Kongres Pemuda II, Wage Rudolf Supratman sengaja mengedarkan salinan naskah lagu Indonesia kepada anggota kepanduan di Jakarta. Mereka lalu membagikannya secara berantai melalui cabang-cabang kepanduan.
“Hampir semua pandu Indonesia di Jakarta mempunyainya. Jadi, yang mula-mula menyebarkan lagu Indonesia di Jakarta adalah para pandu,” tulis Bambang Sularto dalam Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Lagu Indonesia benar-benar populer di kalangan publik setelah Kongres Pemuda II. Sambutan hangat yang diterima Supratman segera disusul dengan publikasi masif naskah lagu itu. Sehari usai kongres, dia kebanjiran permintaan salinan naskah lagu gubahannya dari beberapa organisasi.
“Dan dalam waktu kurang dari seminggu notasi serta syair lagu Indonesia sudah tersebar merata di kalangan organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa serta di kalangan organisasi-organisasi politik seperti PNI dan PPPKI,” tulis Bambang Sularto dalam Wage Rudolf Supratman.
Redaksi Sin Po, suratkabar di mana Supratman bekerja, juga kebanjiran surat pembaca yang meminta pemuatan lagu Indonesia. Atas persetujuan Supratman, Sin Po memuat naskah notasi dan syair Indonesia pada awal November 1928. Kemudian diikuti Suluh Rakyat Indonesia dan Pers Melayu.
Tak ketinggalan para tokoh sentral pergerakan nasional turut andil mempopulerkan lagu Indonesia. “Bung Karno yang waktu itu tinggal di Bandung segera menyuruh orangnya untuk menjumpai Soepratman untuk minta teks lagu tersebut. Dan lagu itu kemudian diajarkan pada warga PNI di sana,” tulis majalah Tiara, Oktober 1982.
Lagu Indonesia lalu menjadi lagu wajib yang hampir selalu dinyanyikan di setiap pertemuan-pertemuan organisasi. Seiring dengan kian populernya lagu itu di kalangan aktivis pergerakan, Supratman berinisiatif untuk mengubah judulnya. Tidak terlalu terang musababnya, lagu itu kemudian berjudul Indonesia Raya.
Kepopuleran itu menjadikan Indonesia Raya dengan mudah diterima khalayak pergerakan sebagai lagu kebangsaan. “Dalam tahun 1929, suatu pergerakan kebangsaan, mengumumkan bahwa Indonesia Raya diakui sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia,” tulis Sularto. Agaknya animo tinggi itulah yang mendorong Supratman menerbitkan naskah eksklusif lagunya dengan atribusi khusus “Lagoe Kebangsaan Indonesia”. Penerbitan naskah itu dibantu oleh Sin Po.
“Wage Rudolf Supratman menerbitkan sendiri naskah lagu Indonesia Raya itu dalam cetakan rapi yang berjumlah lebih dari seribu lembar. Semua sahabat dan kenalannya, diberinya dengan cuma-cuma. Sebagian besar lainnya, dijual dengan harga dua puluh sen. Dalam waktu singkat saja, sudah terjual habis,” tulis Sularto.
Di tahun itu juga piringan hitam Indonesia Raya rilis setelah melewati proses yang alot. Yo Kim Tjan menjadi tokoh penting di baliknya. Kawan Supratman ini adalah importir piringan hitam untuk firma Tio Tek Hong. Ketika Supratman datang membawa ide merekam lagu itu, Yo langsung berminat. Masalahnya, dia tak memiliki alat perekam.
Yo Kim Tjan lalu menjajakan ide itu kepada perwakilan-perwakilan perusahaan piringan hitam yang ada di Batavia seperti His Master’s Voice. Sayangnya, tak ada perusahaan piringan hitam yang menyambutnya. Ide itu terpaksa ditangguhkan. Akhirnya, jalan terbuka ketika Yo Kim Tjan melawat ke Eropa untuk urusan dagang. Dia membeli sebuah alat perekam. Sepulangnya dari Eropa, Supratman dipanggil untuk memulai proses perekaman lagu ke piringan hitam.
“Itulah piringan hitam Indonesia Raya yang pertama kali. Soepratman memainkannya sendiri dengan biolanya dalam bentuk mars-instrumental. Tentu saja tanpa kata-kata,” tulis majalah Tiara.