Masuk Daftar
My Getplus

Gerakan Menentang Pembangunan TMII

TMII salah satu tempat wisata favorit di Jakarta. Pernah ditentang sangat keras oleh mahasiswa, seniman, dan intelektual.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 24 Nov 2018
Wahana Bioskop 3 Dimensi Keong Mas di TMII. (Hendaru Tri Hanggoro/Historia.id).

Menjelang pengujung 1971, Ibu Tien Soeharto menyita perhatian masyarakat. Dia mengumumkan rencana pembangunan Miniatur Indonesia Indah (MII), sebuah taman besar representasi kebudayaan dari 26 provinsi di Indonesia. Dia memperkirakan pembangunan MII akan berbiaya Rp10,5 miliar.  

Pengumuman Ibu Tien bikin bingung masyarakat. Sebab sebelum Ibu Tien mengumumkan rencana pembangunan MII, Presiden Soeharto, sekaligus suami Ibu Tien, berpidato tentang anjuran hidup prihatin. “Jangan melakukan pemborosan-pemborosan, karena sebagian besar rakyat masih hidup miskin,” kata Soeharto, dikutip Mahasiswa Indonesia, 5 Desember 1971.

Soeharto juga menekankan bahwa segala rencana pembangunan hendaknya berlandas pada skala prioritas. “Marilah kita menggunakan dana dan kemampuan yang kita miliki sekarang hanya bagi usaha-usaha yang perlu dalam rangka mencapai kemajuan,” lanjut Soeharto.

Advertising
Advertising

Gerakan Menentang TMII

Sebagian masyarakat menganggap rencana pembangunan MII bertolak belakang dengan anjuran hidup prihatin dari Presiden Soeharto. Mereka menyebut rencana pembangunan MII serupa dengan proyek mercusuar. Tidak punya banyak manfaat untuk masyarakat dan justru mengingatkan mereka pada proyek mercusuar garapan Bung Karno pada era Orde Lama.

“Sama sekali tak bisa dikatakan bahwa proyek MII memang menduduki tempat teratas dalam skala prioritas pembangunan sehingga begitu urgen untuk diwujudkan sekarang juga,” catat Mahasiswa Indonesia, 9 Januari 1972. Suara menentang rencana pembangunan MII berasal dari kelompok mahasiswa di Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang.

“Sebagai protes terhadap apa yang mereka anggap penghamburan yang tidak dapat diterima karena terbatasnya kemampuan keuangan negara, maka para mahasiswa di Bandung dan Jakarta membuat berbagai gerakan ad-hoc dengan nama yang lucu seperti Gerakan Penghematan, Gerakan Akal Sehat (GAS), dan Gerakan Penyelamat Uang Rakyat,” ungkap Francois Raillon dalam Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia.

Baca juga: Gagasan Awal Taman Mini Indonesia Indah

Kelompok penentang pembangunan MII berupaya menekan gagasan Ibu Tien dengan dua cara: demonstrasi dan diskusi. Gerakan Penghematan (Gepeng) mendatangi kantor pemerintah terkait pembangunan MII, sedangkan Gerakan Penyelamat Uang Rakyat menyambangi sekretariat Yayasan Harapan Kita (YHK) dan membentangkan spanduk “Sekretariat Pemborosan Uang Negara” pada 23 Desember 1971.

Tak lama setelah aksi bentang spanduk, sekelompok orang sekonyong-konyong muncul membawa senjata tajam. Mereka menyerang anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat. Satu orang anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat lunglai, kena bacok. Kemudian suara tembakan terdengar. Kaca sekretariat YHK pecah dan seorang lagi anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat roboh. Peluru bersarang di pahanya.

Penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat menambah gelombang protes mahasiswa terhadap rencana pembangunan MII. Antara lain dari organisasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.

Baca juga: Empat Kasus Korupsi Besar pada Awal Orde Baru

Empat organisasi mahasiswa tersebut turun ke jalan, menuntut polisi mengusut penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat, dan meminta pemerintah menimbang ulang proyek MII.

Sekelompok mahasiswa Universitas Indonesia turut menyatakan simpatinya atas kasus penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat. Mereka bergerak ke kediaman Ibu Tien dan Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta, pada 27 Desember 1971.

Mahasiswa ingin berdialog dengan Ibu Tien dan Presiden Soeharto mengenai rencana pembangunan MII. Tapi keinginan mereka tak terwujud. Petugas keamanan berjanji meneruskan aspirasi mereka ke Ibu Tien dan Presiden Soeharto.

Memberangus Pengkritik

Di Bandung, jalanan sepi dari aksi mahasiswa. Tetapi ruang-ruang kelas di universitas ramai oleh seminar dan diskusi tentang rencana pembangunan MII. GAS, salah satu gerakan ad-hoc penentang MII di Bandung, menghadirkan pembicara dari kalangan teknokrat, birokrat, pemimpin redaksi media massa, dan intelektual. Diskusi berlangsung secara lepas dan tanpa ketegangan.

Memasuki awal tahun baru 1972, rencana pembangunan MII termuat di sejumlah media mancanegara. The Evening Star, surat kabar di Washington AS, menyorot keterlibatan batalion zeni ABRI dalam pembangunan MII.

“Yang normalnya bekerja untuk operasi karya seperti pembangunan jalan, kini akan menjadi sukarelawan untuk merambah proyek ini,” demikian catat The Evening Star, 3 Januari 1972, seperti diulas Mahasiswa Indonesia, 16 Januari 1972. 

Baca juga: Gerakan Melawan Korupsi dari Bandung dan Yogyakarta

Awal tahun baru juga ditandai dengan kian lantangnya suara gerakan-gerakan penentang MII. Latar belakang gerakan penentang juga makin bertambah. Tak lagi hanya berasal dari mahasiswa, tetapi juga dari kalangan seniman dan intelektual seperti W.S. Rendra, Arief Budiman, H.J.C. Princen (Poncke), dan Mochtar Lubis.

“Taufan protes-protes terhadap proyek mini Indodnesia telah berhembus ke segenap penjuru tanah air kita,” tulis Mochtar Lubis di Indonesia Raya, 13 Januari 1972, termuat dalam Tajuk-Tajuk Mocthar Lubis Seri 1.

Aksi-aksi jalanan dan diskusi gerakan penentang MII mulai dapat tanggapan dari presiden. Dia menilai aksi dan diskusi dari para penentang MII tidak substansial, agresif, dan keluar batas. Dia menduga ada "Mister X" yang punya tujuan lain di balik protes terhadap pembangunan MII.

“Saya tahu bahwa ada kelompok tertentu yang ingin menjadikan proyek yang kami cita-citakan itu sebagai satu issue politik. Mereka mencari kesempatan untuk bisa mengganggu kestabilan nasional,” kata Soeharto pada 6 Januari 1972, dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Baca juga: Melawan Korupsi dengan Malam Tirakatan

Soeharto memperingatkan gerakan penentang MII agar tidak berperilaku di luar batas. Dia akan menghantam gerakan itu jika berniat menggulingkan kekuasaannya.  

“Yang memakan kedok demokrasi secara berlebih-lebihan akan ditindak. Kalau ada ahli hukum yang mengatakan tidak ada landasan hukum, demi kepentingan negara dan bangsa, saya akan gunakan Supersemar,” kata Soeharto dikutip Mahasiswa Indonesia, 9 Januari 1972.

Ancaman Soeharto mewujud jadi tindakan nyata pada 17 Januari 1972. Letjen TNI Soemitro, Wakil Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Wapangkopkamtib), melarang semua aktivitas gerakan anti-MII. Petugas juga menahan beberapa tokoh penentang MII seperti Arief Budiman dan Poncke.

“Kenapa dilarang, alasannya adalah karena katanya mereka-mereka itu dengan nyata telah melakukan kegiatan-kegiatan yang dinilai sebagai ancaman serius bagi keamanan dan ketertiban umum, demokrasi menurut UUD '45 serta wibawa pemerintah dan stabilitas pemerintah,” tulis Mahasiswa Indonesia, 23 Januari 1972.

Pelarangan terhadap aktivitas gerakan penentang MII mengalihkan saluran protes ke DPR. Anggota gerakan penentang MII meminta anggota parlemen membahas rencana pembangunan MII.

Lampu Hijau dari Parlemen

DPR kemudian membentuk panitia khusus MII. Panitia ini lalu memanggil tokoh-tokoh penentang MII, perwakilan pemerintah dan YHK. Mereka duduk bersama membahas sisi positif dan negatif pembangunan MII selama Maret 1972.

Rapat pembahasan itu berkeputusan bahwa YHK boleh melanjutkan pembangunan MII. “Proyek itu boleh diteruskan dengan syarat tidak boleh menikmati fasilitas keuangan negara dan juga tak ada sumbangan wajib,” catat Raillon.

Baca juga: Komodo-komodo Hadiah Presiden Soeharto

DPR meminta pemerintah membentuk badan pengawas untuk mengawasi aliran dana dan pembangunan MII. Di dalamnya termasuk tokoh budayawan dan intelektual. Sejak itulah suara protes terhadap MII menjadi senyap.

Batu pertama pembangunan MII diletakkan pada 30 Juni 1972. Dan pada 20 April 1975, MII resmi dibuka dengan nama Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Tepat sehari sebelum hari Kartini. Dalam album Kenang-Kenangan Peresmian Pembukaan Taman Mini Indonesia Indah 20 April 1975, Ibu Tien hari itu kelihatan berwajah sangat cerah. Dia banyak melempar senyum.

Berpidato di hadapan tamu undangan peresmian TMII, Ibu Tien sempat menyatakan terima kasih kepada para penentang gagasannya. “Karena ketidaksetujuan mereka sebenarnya ingin mengingatkan kami agar kami tidak berbuat salah. Dan dengan begitu mendorong kami untuk bekerja lebih berhati-hati,” kata Ibu Tien.

Baca juga: Pawang Hujan dalam Peresmian TMII

Soeharto juga mengungkapkan rasa gembiranya dengan maujudnya TMII. Pengunjung memadati TMII setelah hari peresmian. Hari demi hari, kunjungan warga terus meningkat. Seraya itu pengelola melanjutkan pembangunan TMII tahap kedua.

Soeharto kini balik mengejek pengkritiknya. “Kenyataan, sekian tahun kemudian, menunjukkan bahwa setelah Taman Mini Indonesia Indah itu jadi, pengkritik-pengkritik itu akhirnya mengakui manfaatnya,” kata Soeharto.

Tak bisa dibantah bahwa sekarang TMII telah menjadi tujuan wisata favorit di Jakarta. Dan satu lagi yang tak bisa dielakkan pula, ia juga telah menjadi catatan sejarah tentang bagaimana rezim Orde Baru bersikap terhadap pengkritiknya.

TAG

ibu tien soeharto soeharto taman mini indonesia indah

ARTIKEL TERKAIT

Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto TAP MPR Dicabut, Sejarah Makin Berkabut Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Eks KNIL Tajir Soeharto Berkuasa seperti Raja Jawa Ali Moertopo “Penjilat” Soeharto Pangeran Haryasudirja Hampir Mati Ditembak Jepang Nisan dan Tengkorak dalam Peringatan Reformasi