Dalam rapat Badan Anggaran DPR RI awal Mei 2010, sejumlah fraksi mengusulkan dana aspirasi yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 sebesar Rp8,4 triliun atau tiap anggota DPR (560 orang) mendapat jatah Rp15 miliar. Fraksi yang paling gigih memperjuangkannya adalah Partai Golkar. Alasannya untuk program percepatan pembangunan di daerah pemilihan. Kritik pun berdatangan. Demo dilakukan, menyebut dana aspirasi ini sebagai “gentong babi”, yang rawan korupsi alias hanya memenuhi celengan para politisi.
Istilah “gentong babi” (pork barrel) mengacu pada pengeluaran yang diusahakan oleh politisi atau anggota parlemen untuk konstituennya sebagai imbalan atas dukungan politik, baik dalam bentuk kampanye atau suara pada pemilihan umum. Tujuannya agar mereka dapat terpilih kembali dalam pemilu berikutnya. Praktik politik ini terus dikecam karena cenderung menguntungkan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum serta rawan penyelewengan dan salah sasaran.
Politik “gentong babi” kali pertama diperkenalkan dalam apa yang disebut Bill Bonus. Pada 1817 Wakil Presiden Amerika Serikat John C. Calhoun mengusulkan Bill Bonus yang isinya penggelontoran dana untuk pembangunan jalan raya yang menghubungkan Timur dan Selatan ke Barat Amerika. Dananya akan diambil dari laba bonus Second Bank of the United States. RUU tersebut diveto oleh Presiden James Madison.
Baca juga: Paman Sam dan Tukang Daging
Bill Bonus kedua terjadi pada awal 1931. Saat itu para veteran yang tergabung dalam American Legion dan Veterans of Foreign Wars mendesak pemerintah untuk membayar kompensasi kepada mereka yang berjuang pada Perang Dunia I. Desakan para veteran itu mendapat dukungan anggota Kongres dari Texas, John Wright Patman. Pada 1932, Patman memperkenalkan Veteran’s Bonus Bill. Presiden Herbert Hoover menentangnya. Usaha Patman gagal.
Patman berusaha lagi saat Franklin Delano Roosevelt berkuasa. Kali ini dia mendapat dukungan dari anggota Partai Demokrat, Huey Long, dan Pastor Charles Couglin. Roosevelt bergeming, bahkan memvetonya. Pada 1936, Kongres akhirnya menyetujui pengucuran dana kompensasi untuk para veteran setelah masa veto Roosevelt berakhir. Departemen Keuangan mencairkan dana sebesar US$1,5 milyar dalam bentuk cek Treasury untuk 4 juta veteran berdasarkan Adjusted Compensation Payment Act (UU Pembayaran Kompensasi).
Baca juga: Blackwater, Tentara Bayaran Paman Sam
Sebenarnya istilah “gentong babi” sudah digunakan Edward Everett Hale dalam kisah populer, The Children of the Public (1910), sebagai metafora sederhana untuk setiap bentuk pengeluaran publik untuk warga. Tapi istilah itu menjadi konsumsi publik setelah dipopulerkan oleh Chester Collins Maxey dalam artikel “A Little History of Pork” dalam National Municipal Review pada 1919.
Menurut Maxey, frasa “gentong babi” berasal dari praktik memberikan daging babi asin kepada para budak kulit hitam pada masa Perang Saudara (1861-1865). Istilah “gentong babi” bernada menghina dan merendahkan. Pada masa itu, para tuan pemilik budak memberikan daging babi yang telah diasinkan kepada para budak kulit hitam untuk diperebutkan. Perilaku para legislator yang mencari subsidi pemerintah untuk kepentingan politik pribadi bisa disamakan dengan perilaku para budak yang memperebutkan daging tersebut.
Baca juga: Muasal Logo Dolar
Praktik “gentong babi” kemudian diadopsi oleh beberapa negara. Filipina, menurut Benny Subianto dalam "Skandal 'Gentong Babi' Filipina", Kompas, 9 Juni 2010, sudah menerapkannya sejak 1930. Bahkan, dananya dikelola oleh lembaga Priority Development Asistance Fund (PDAF). Setiap tahun, pemerintah Filipina menganggarkan 70 juta peso atau sekitar US$1,5 juta per anggota Kongres (DPR). Sedangkan Senator mendapat jatah 200 juta peso atau sekitar US$5 juta per orang untuk dana pembangunan di daerah masing-masing. Para anggota Kongres dan Senator kemudian membuat rencana proyek pembangunan, yang akan didanai dengan skema “gentong babi” ini. Tujuannya tak lain hanya untuk menyenangkan konstituen agar terpilih kembali pada pemilihan mendatang.
Di negara-negara lain, praktik “gentong babi” juga disebut patronage (patronase). Di Denmark, Swedia, dan Norwegia disebut “election pork” atau “babi pemilihan”, di mana para politisi mengumbar janji-janji sebelum pemilihan berlangsung. Di Finlandia disebut “politik gorong-gorong”, yang mengacu pada politisi nasional berkonsentrasi pada masalah-masalah lokal. Rumania menyebutnya “sedekah pemilihan”. Sedangkan di Polandia disebut “sosis pemilu”.
Menurut Teddy Lesmana, peneliti di Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, dalam "Politik Pork Barrel dan Kemiskinan", Media Indonesia, 11 Juni 2010, praktik “gentong babi” menjadi sesuatu yang mengandung konotasi negatif terkait dengan perilaku politisi yang menggunakan uang negara untuk kepentingan politiknya dan tidak semata-mata untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Baca juga: Bantuan Paman Sam untuk Polri
Di negeri asalnya, Amerika Serikat, praktik ini menyebabkan penggunaan anggaran yang tak wajar. Misalnya, ada usulan proyek pembuatan toilet di Gunung McKinley yang menghabiskan anggaran US$800.000, pembuatan perahu kuno purba sebesar US$ 2 juta, dan studi mengapa orang tak bersepeda ke kantor dengan anggaran US$1 juta. Karena itu, “gentong babi” menjadi isu kampanye calon presiden Amerika Serikat pada 2008. Bahkan tim kampanye McCain membuat game online “gentong babi”: “Pork Invaders” untuk menyerang Obama. Lewat game ini, McCain ingin menyampaikan pesan bahwa dirinya menentang pemborosan anggaran negara melalui “gentong babi”.
Seperti halnya presiden James Madison, Herbert Hoover, dan Franklin Delano Roosevelt, Obama juga berjanji akan mengawasi dengan ketat para anggota parlemen yang mengajukan proyek “gentong babi”. Bagi Obama, “gentong babi” akan membebani anggaran negara dan menguntungkan politisi yang bersangkutan.
Dana aspirasi tak berbeda dari “gentong babi”.