Masuk Daftar
My Getplus

Gaya Kabur Koruptor dalam Sejarah

Menghindari kejaran hukum, mereka pergi ke luar negeri hingga ganti kewarganegaraan. Paling klise, alasan sakit.

Oleh: Nur Janti | 18 Nov 2017
Edi Tansil, buronan kasus korupsi yang hingga kini belum tertangkap. (interpol.go.id).

Ketua DPR Setya Novanto mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju KPK, Kamis (16/11/17) malam. Mobil Fortuner hitam yang ditumpanginya menabrak tiang listrik, Novanto tak sadarkan diri.

Sebelumnya, Novanto kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 10 November. Sempat menghilang, KPK menyatakan bila pada pukul 21.30 Novanto tidak datang ke KPK, dia akan menjadi buron.

Dalam beberapa bulan terakhir sejak masalah hukum menimpanya, Novanto seringkali tidak menghadiri panggilan KPK. Dia beralasan sakit. Namun begitu praperadilannya menang dan status tersangka tak lagi disandang, dia kembali sehat dan beraktivitas seperti biasa.

Advertising
Advertising

Beberapa pihak menduga yang dilakukan Novanto merupakan jurus berkilah dari kejaran penyidik. Cara-cara menghindari kejaran penyidik korupsi sudah menjadi siasat para koruptor sejak lama. Berikut beberapa contoh kasusnya.

Edi Tansil

Edi Tansil menjadi buron setelah terbukti merugikan uang negara sebesar 1,5 triliun rupiah melalui kredit Bank Bapindo. Ketika pencairan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dia merupakan petinggi Bank Bapindo sekaligus direktur utama Golden Key Group (GKG). Melalui Golden Key Group, dia meminjam uang pada Bapindo sebesar 565 juta dollar amerika atau setara 1,5 triliun rupiah.

Edi kemudian dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dan denda 30 juta rupiah, uang pengganti lima ratus miliar, dan mengganti kerugian negara sebesar 1,3 triliun rupiah pada 1996. Tak sampai 20 tahun menghuni Lembaga Permasyarakatan Cipinang, Edi melarikan diri pada 4 Mei 1996.

Baca juga: Teror Terhadap Pemburu Koruptor

Sejak itu, Edi menghilang. Menurut antaranews.com, kabar terakhir mengenai keberadaan Edi bisa dilacak di Tiongkok sejak 2013. Namun, hingga kini dia belum ditangkap.

Lahir di Makassar pada 2 Februari 1953, Edi sukses sebagai pengusaha di bidang keuangann. Kredibilitasnya diakui secara nasional. Namun skandal GKG mencoreng nama baiknya.

Ginandjar Kartasasmita

Mantan menteri Pertambangan dan Energi semasa Orde Baru ini menjadi tersangka dalam kasus Bantuan Kontrak Teknis (BKT) antara Pertamina dan PT Ustrindo Petro Gas di mana . Ginandjar bertanggungjawab atas penyetujuan proyek ini. BKT dimaksudkan untuk merekayasa sumur-sumur minyak yang sudah mati agar bisa menghasilkan minyak lagi. Namun dalam pelaksanaannya, sumur-sumur yang direkayasa adalah sumur aktif. Kasus ini merugikan negra sebanyak 24,8 juta dollar Amerika.

Pada 2001, Kejaksaan Agung (Kejagung) sempat kesulitan menangani kasusnya lantaran Ginandjar menolak diperiksa dengan alasan sedang sakit. Kejagung lalu mengambil langkah dengan memeriksa kesehatan Ginandjar. Namun begitu dokter datang, dia kabur melalui lift. Mobil yang membawanya kabur berjalan dengan kecepatan tinggi, sampai menyerempet petugas keamanan di dekat pagar Kejagung.

Baca juga: Empat Kasus Korupsi Besar pada Awal Orde Baru

Selain aksi kabur itu, Ginandjar tak pernah hadir ketika berkali-kali dipanggil kejaksaan untuk menjadi saksi lantaran sedang berada di Belanda, AS, atau Jepang.

Ginandjar akhirnya ditahan pada 6 Maret-6 Mei 2001 di rumah tahanan kejaksaan. Namun dia tak sendiri, para pengacaranya menemani di kamar tahanan.

Sjamsul Nursalim

Pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) ini mulai disebut dalam kasus korupsi setelah banknya mendapat kredit dari pemerintah pada 1997. Kucuran dana untuk menyehatkan BDNI yang sakit itu ternyata melebihi batas maksimum dan muaranya masuk ke kantong pribadi Sjamsul.

Baca juga: Pemberantasan Korupsi Setengah Hati Rezim Orde Baru

Kejaksaan Agung lalu memeriksa Sjamsul atas penyimpangan penyaluran dan penggunaan dana BLBI. Kasus Sjamsul bertambah berat ketika BDNI mendapatkan Surat Keterangan Lunas BLBI dari Ketua BPPN Syafuddin Tumenggung pada 2004. Padahal, Sjamsul masih berutang 3,7 triliun rupiah kepada negara. Sjamsul menang banyak, sementara negara rugi sampai 6,9 triliun rupiah dan 96,7 juta dollar Amerika.

Meski mendapat beberapakali panggilan dari penyidik, Sjamsul dan istrinya Itjih Nursalim tak pernah memenuhi panggilan tersebut. Kabar yang santer terdengar mengatakan mereka kabur dan menetap di Singapura.

Samadikun Hartono

Pemilik Bank Modern ini bermasalah dengan hukum sejak menyalahgunakan kucuran dana BLBI yang didapat pada 1998. Alih-alih menggunakan dana itu untuk menyehatkan banknya, Samadikun malah menyalahgunakannya untuk kepentingannya sendiri. Kontan negara menanggung kerugian sampai 169 miliar rupiah akibat ulah Samadikun.

Baca juga: Para Terduga Korupsi di Hotel Talagasari

Samadikun lalu divonis empat tahun penjara. Namun sebelumnya, dia mengajukan izin untuk berobat ke Jepang. Kejaksaan mengabulkan. Samadikun diizinkan berobat selama dua minggu dengan menjadikan istrinya, Nelly Chandra, sebagai jaminan.

Begitu di Jepang, Samadikun tak pernah kembali lagi dan buron hingga 13 tahun. Laman cnnindonesia.com menyebut Samadikun pernah tinggal di Apartemen Beverly Hills, Singapura dan memiliki pabrik film di China dan Vietnam. Dia akhirnya ditangkap pada 2016 selepas menyaksikan balap Formula 1 di Shanghai.

Sudjiono Timan

Direktur utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) periode 1995-1997 ini menjadi tersangka korupsi karena menyalahgunakan wewenang dengan memberikan pinjaman tanpa agunan kepada Kredit Asia Finance Limited (KAFL) dan Festival Co. Tindakan tersebut membuat BPUI dan Departemen Keuangan menderita kerugian 178,9 juta dollar Amerika dan lebih dari 600 miliar rupiah.

Sudjiono terbukti bersalah dan dihukum 15 tahun penjara berikut denda 50 juta rupiah. Namun belum lagi kasusnya selesai, dia kabur ke Singapura. Pada 2013, istri Sudjiono mengajukan Peninjauan Kembali kasus suaminya. MA mengabulkan sehingga menuai kritik dari para ahli hukum.

Bambang Sutrisno

Sebagai salah satu bank yang dinyatakan tak sehat, Bank Surya mendapatkan kucuran dana BLBI. Dana itu merupakan pinjaman pemerintah untuk menyehatkan kembali usaha Bank Surya.

Namun alih-alih menggunakan dana untuk menyehatkan bankya, Bambang Sutrisno selaku wakil presiden komisaris malah mengucurkan dana BLBI ke 103 perusahaan fiktif (paper company) miliknya. Negara dirugikan 1,5 triliun rupiah.

Baca juga: Daendels Hukum Mati Pelaku Korupsi

Kejaksaan langsung menetapkannya sebagai tersangka. Namun, Bambang tak pernah memenuhi panggilan kejaksaan meski pemanggilan sudah berkali-kali dikeluarkan melalui surat pos atau media massa. Bambang dinyatakan buron. Kejaksaan dibuat pusing, sampai-sampai menggelar sidang kasus Bambang tanpa kehadiran si terdakwa atau kuasa hukumnya (in absentia). Dalam sidang pada 13 November 2002 itu, PN Jakarta Pusat memvonis Bambang bersalah dan mengganjarnya dengan hukuman penjara seumur hidup.

Dwiyanto Prihartono, kuasa hukum Bambang, menolak pernyataan kalau Bambang kabur. Menurutnya Bambang sudah berada di luar negeri sejak 19 Juni 1997, sebelum dimulainya proses penyidikan kasus BLBI Bank Surya.

Andrian Kiki Anriawan

Sebagai mantan direktur utama Bank Surya, Adrian ikut menjadi tersangka dalam kasus pengemplangan dana BLBI. Bersama Bambang Sutrisno, dia disangka melakukan kejahatan dalam kurun 1989-1998.

Akibat ulahnya, negara merugi sebesar 1,5 triliun rupiah. Sama seperti rekannya, Andrian mendapat hukuman penjara seumur hidup. Namun, dia berhasil melarikan diri ke Singapura dan Australia sebelum akhirnya ditangkap di Perth pada 2008.

Tommy Soeharto

Pada 1994, PT Goro Batara Sakti milik Hutomo Mandala Putra melakukan ruislag dengan Badan Urusan Logistik (Bulog). Tukar guling tanah gudang Bulog seluas 150 hektar yang berjalan atas restu Presiden Soeharto itu memuat banyak kejanggalan. Akibatnya, negara mengalami kerugian sebanyak 95 miliar.

Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita memvonis putra bungsu Presiden Soeharto itu bersalah dan menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara serta denda Rp.30 juta plus mengganti kerugian negara sebesar Rp.30,6 miliar pada 22 September 2000. Tommy, panggilan akrab Hutomo, lalu mengajukan grasi kepada Presiden Abdurrahman Wahid.

Baca juga: Mereka yang Dihabisi Karena Memberantas Korupsi

Setelah grasinya ditolak, Tommy lalu buron. Dalam masa pelariannya itu, Tommy memerintahkan pembunuh bayaran menghabisi Syafiuddin, yang akhirnya meregang nyawa pada 26 Juli 2001.

Pelarian Tommy akhirnya berakhir pada 28 November 2001. Tim Kobra Polda Metro Jaya yang dipimpin Kompol Tito Karnavian berhasil menggerebek dia di tempat persembunyiannya di Bintaro, Tangerang.

Djoko Sugiarto Tjandra

Djoko menjadi terdakwa dalam kasus korupsi Bank Bali pada 1999. Kasus bermula dari pengalihan tagihan utang (cessie) Bank Bali yang melibatkan PT Era Giat Prima (EGP), yang didirikan oleh Djoko dan Setya Novanto.

Pada Januari 1999, terjadi perjanjian cessie antara Bank Bali dan PT EGP ke Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan Bank Umum Nasional (BUN). Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) meminta Bank Bali mentransfer 798 miliar rupiah ke rekening Djoko dan PT EGP.

Baca juga: Gerakan Melawan Korupsi dari Bandung dan Yogyakarta

Namun setelah dana itu cair, EGP meminta BPPN agar memberi instruksi pada BUN untuk memberikan uang pada Bank Bali sejumlah 546 miliar rupiah untuk dibayarkan pada PT EGP. Dana 546 miliar inilah yang menjadi masalah hingga ke persidangan dan membuat Djoko menjadi tersangka.

Djoko mendapat vonis hukuman 2 tahun penjara. Namun, dia berhasil melarikan diri ke Singapura. Belakangan diketahui, Djoko berpindah kewarganegaraan menjadi WN Papua New Guinea. Akibatnya, penyidik kesulitan mengekstradisinya.

Setya Novanto

Nama Novanto sedang ramai diperbincangkan beberapa bulan terakhir sejak dia ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus korupsi KTP-elektronik. Namun dalam catatan sejarah, kasus tersebut bukan kasus korupsi pertama yang melibatkan Novanto.

Pada 1999, Setya Novanto disebut dalam kasus cassie PT Bank Bali kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Namun kasus yang merugikan negara sebesar 546 miliar rupiah itu tak mampu menjerat Novanto. Dia tetap lolos dari jerat hukum.

Baca juga: Mental Korupsi Pejabat Pribumi

Kedua kasus tersebut hanyalah bagian dari banyak kasus yang menyeret nama Novanto. Ketua DPR ini antara lain terlibat dalam kasus penyelundupan beras Vietnam (2003), limbah beracun di Pulau Galang, Batam (2006), Proyek PON Riau (2012), dan yang terbaru kasus KTP-el. Kasus terakhir sempat melahirkan pemberitaan mengenai hilangnya Novanto sebelum akhirnya tertutup oleh pemberitaan kecelakaannya yang janggal di Permata Hijau, Jakarta Selatan.

TAG

korupsi

ARTIKEL TERKAIT

Permina di Tangan Ibnu Sutowo Gubernur Jenderal VOC yang Dituduh Korupsi Jatuh Bangun Pemberantasan Korupsi Foya-foya Bos Pertamina Ibnu Sutowo Menyita Harta Pejabat Kaya Raya Anak Tiran Masuk Istana Korupsi di Perguruan Tinggi Mengadili Jenderal Polisi Surya Darmadi Sebelum Menjadi Pengusaha Sawit Tugas Negara Harry Tansil