Rencana Israel mendirikan 4000 rumah di Tepi Barat menuai protes. Melalui Wakil Juru Bicara Departemen Luar Negeri Jalina Porter, pemerintah Amerika Serikat (AS) mengecam rencana yang akan dimulai pada 12 Mei mendatang itu. Pembangunan itu dikhawatirkan akan memperburuk ketegangan yang telah meningkat sejak sebulan terakhir antara Israel dan Palestina.
“Program Israel untuk memperluas permukiman sangat merusak prospek dari solusi dua negara,” ujarnya kepada Alarabiya yang dikutip cnnindonesia, 8 Mei 2022.
Meski begitu, pemerintah Israel bergeming. Komite Perencanaan Israel, sebagaimana diberitakan CNN Indonesia, tetap akan bersidang pada pekan ini untuk menyetujui pembangunan 4000 rumah khusus untuk Yahudi di Tepi Barat itu.
“Permukiman Israel merupakan kompleks perumahan khusus Yahudi yang dibangun di atas tanah Palestina yang melanggar hukum internasional. Setidaknya sekitar 600-750 ribu pemukim Israel tinggal di sana, dengan rincian sekitar 250 pemukiman ilegal yang tinggal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur,” demikian kata CNN Indonesia yang mengutip Aljazeera.
Apa yang dilakukan Israel bukanlah hal baru. Menurut sejarawan Israel Ilan Pappe, pencaplokan tanah di Palestina memang menjadi tujuan utama Zionis sejak sebelum mendirikan Israel.
“Zionisme muncul pada akhir 1880-an di Eropa tengah dan timur sebagai gerakan kebangkitan nasional, didorong oleh meningkatnya tekanan pada orang-orang Yahudi di wilayah tersebut baik untuk berasimilasi secara total atau berisiko melanjutkan penganiayaan (walaupun, seperti yang kita ketahui, bahkan asimilasi lengkap bukanlah perlindungan terhadap pemusnahan dalam kasus Nazi Jerman). Pada awal abad kedua puluh, mayoritas pemimpin gerakan Zionis mengaitkan kebangkitan nasional ini dengan penjajahan Palestina. Lainnya, terutama pendiri gerakan, Theodor Herzl, lebih ambivalen, tetapi setelah kematiannya, pada 1940, orientasi terhadap Palestina tetap dan konsensual,” ujar Ilan Pappe dalam bukunya, The Ethnic Cleansing of Palestine.
Upaya para pemimpin Zionis awal itu berangkat dari penafsiaran mereka terhadap ajaran agama Yahudi tentang “tanah yang dijanjikan”.
“Eretz Israel, nama Palestina dalam agama Yahudi, telah dihormati selama berabad-abad oleh generasi bergenerasi Yahudi sebagai tempat ziarah suci, tidak pernah sebagai negara sekuler masa depan. Tradisi dan agama Yahudi dengan jelas menginstruksikan orang Yahudi untuk menunggu kedatangan Mesias yang dijanjikan pada ‘akhir zaman’ sebelum mereka dapat kembali ke Eretz Israel sebagai bangsa berdaulat dalam teokrasi Yahudi, yaitu sebagai hamba-hamba Tuhan yang taat (ini mengapa kini beberapa aliran Yahudi Ultra-Ortodoks adalah non atau anti-Zionis). Dengan kata lain, Zionisme mensekularisasikan dan menasionalisasikan Yudaisme. Untuk mewujudkan proyek mereka, para pemikir Zionis mengklaim wilayah alkitabiah dan menciptakannya kembali, bahkan menemukannya kembali, sebagai tempat lahir gerakan nasionalis baru mereka. Seperti yang mereka lihat, Palestina diduduki ‘orang asing’ dan harus diambil alih. ‘Orang asing’ di sini berarti semua orang bukan Yahudi yang telah tinggal di Palestina sejak zaman Romawi. Faktanya, bagi banyak Zionis Palestina bahkan bukan tanah yang ‘diduduki’ ketika mereka pertama kali tiba di sana tahun 1882, melainkan tanah yang ‘kosong’: penduduk asli Palestina yang tinggal di sana mayoritas tidak terlihat oleh mereka atau, jika tidak, adalah bagian dari kesulitan alam dan dengan demikian harus ditaklukkan dan dihilangkan. Tidak ada, baik karang maupun orang Palestina, yang menghalangi ‘penebusan’ nasional tanah yang didambakan gerakan Zionis.”
Akibat dari upaya mewujudkan keyakinan itu, konflik antara para Yahudi imigran (Zionis) dengan para penduduk Arab di Palestina, yang sejak 1917 berada di bawah “Perwalian” Inggris, kerap terjadi. Bahkan, masyarakat Arab sampai dua kali mengadakan pemberontakan terhadap otoritas Inggris yang mereka anggap “berat sebelah” dalam menangani masalah penduduk Arab dan Zionis.
Para Zionis tidak pernah surut dalam obsesi mereka mendirikan “Rumah nasional” Yahudi. Terlebih setelah Konferensi Zionisme Internasional di Hotel Biltmore, New York, pada 9-11 Mei 1942, melahirkan Biltmore Program (BP). Dua hal terpenting dari BP yakni perlunya segera menerapkan tujuan awal Deklarasi Balfour –merupakan pernyataan resmi pemerintah Inggris yang dikeluarkan Menlu Arthur Balfour sebagai dukungan terhadap upaya pendirian “Rumah nasional” bagi Yahudi– dan peningkatan imigrasi Yahudi ke Palestina yang tidak terbatas.
“Terlepas dari beberapa perbedaan pendapat internal, sering kali didasarkan pada dukungan untuk resolusi dua negara dengan orang-orang Arab Palestina, Program Biltmore dengan cepat diterima sebagai platform gerakan Zionis,” tulis Kylie Baxter dan Shahram Akbarzadeh dalam US Foreign Policy in the Middle East: The Roots of Anti-Americanism.
Usai PD II, Zionis telah siap mewujudkan pendirian “Rumah nasional” mereka. Keputusan PBB yang –mengambilalih penangangan Palestina usai Inggris mundur dari wilayah itu pada Februari 1947– memilih opsi membagi Palestina menjadi dua –untuk Arab dan Zionis– sebagai langkah pemecahan bahkan tidak mereka indahkan hingga membuahkan penyerangan terhadap basis-basis Arab mulai akhir 1947. Kemanangan milisi-milisi Zionis dalam pertempuran pada awal 1948 makin meningkatkan kepercayaan diri mereka. Taktik baru yang semakin agresif kemudian dibuat dan diterima pada Maret 1948, dikenal sebagai Plan Dalet.
“Plan Dalet, juga dikenal sebagai Rencana D, adalah operasi militer Zionis yang sangat disayembarakan pada periode pra-negara. Bagi Zionis, Rencana D adalah tindakan pertahanan agresif yang bertujuan untuk mengamankan wilayah yang dialokasikan untuk orang-orang Yahudi di bawah Resolusi 181. Orang-orang Arab mengidentifikasi Rencana D sebagai upaya Zionis untuk mengambil alih tanah mereka. Tujuan dari Rencana D termasuk penakukan desa-desa Arab, sebuah taktik yang sebelumnya tidak pernah dicoba oleh Haganah. Akar pengungsi Palestina dapat ditelusuri kembali ke periode ini, sebelum Perang Mei 1948,” sambung Kylie dan Shahram.
Usai menyerang Desa Deir Yassin dan membantai penduduknya pada April 1948, milisi-milisi Zionis terus melanjutkan serangan-serangan ke berbagai pedesaan Arab di Palestina. Pada 15 Mei 1948, sehari setelah Israel dideklarasikan, beberapa Zionis intel Batalyon ke-33 Alexandroni dari Haganah –milisi terbesar Zionis yang kemudian dijadikan Tentara Nasional Israel– bertemu dengan beberapa tokoh Desa Tantura.
Baca juga: Nasib Tragis Desa Palestina yang Dibantai Zionis
Tantura merupakan desa pesisir Palestina kuno yang cukup besar. Terletak di pantai Mediterania antara Tel Aviv-Haifa, Tantura saat itu punya sekitar 1500 penduduk. Penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, nalayan dan pekerja di bidang perikanan, serta pekerja kasar. Bagi Zionis, Tantura ibarat duri dalam daging lantaran masih dikuasai orang-orang Arab. Dalam rencana operasi untuk membebaskan wilayah-wilayah Zionis yang terisolasi, Tantura termasuk di dalam jalur yang akan dilewati. Alexandroni juga memiliki seorang kolaborator di Tantura sehingga memungkinkan mereka mendapatkan arsip desa.
Dalam pertemuan dengan beberapa tokoh Tantura pada 15 Mei 1948 itulah beberapa intel Alexandroni menawarkan para tokoh itu agar menyerah. Namun tawaran itu ditolak. Akibatnya, Tantura dijadikan daftar desa yang harus direbut.
Pada 22 Mei malam menjelang tanggal 23, milisi-milisi Alexandroni di bawah pimpinan Shimshon Mashvits menyerang Tantura dari empat penjuru desa untuk menciptakan pintu tertutup bagi penduduk yang akan melarikan diri. Namun, mereka mendapat perlawanan gigih dari para penduduk.
“Selama pertempuran sepanjang malam, penduduk desa melakukan perlawanan keras, membunuh 13 tentara Alexandroni dan seorang pelaut sebelum menyerah. Lebih dari 70-an penduduk desa meninggal,” tulis sejarawan Benny Morris dalam 1948: A History of the First Arab-Israeli War.
Adanya korban di pihaknya membuat Alexandroni mengamuk dan membalas dendam begitu mereka merebut Tantura. Pembunuhan langsung dilakukan di rumah-rumah penduduk kendati para penjaga desa telah mengibarkan bendera putih sebelumnya. Pembunuhan itu baru berhenti ketika Yaacov Epstein, kepala permukiman Zihron Yaacov, tiba dan menghentikan pembunuhan tersebut.
Penduduk hidup kemudian ditangkapi dan digiring ke pantai. Tawanan pria dipisahkan dari tawanan perempuan dan anak-anak. Para tawanan di pantai diperintahkan duduk sambil menunggu kedatangan Mashvits.
Begitu Mashvits tiba disertai seorang kolaborator lokal, pemilihan tawanan untuk dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok kecil langsung dilakukan berdasarkan daftar nama yang dimiliki Mashvits atau mereka yang terlibat dalam pemberontakan tahun 1936, memiliki kontak dengan mufti Palestina, atau siapa saja yang pernah menyerang orang Yahudi. Semua pria yang dipilih berusia antara 10 hingga 50 tahun.
Mereka dibawa ke tempat lebih jauh di pantai. Satu per satu diinterogasi tentang keberadaan gudang senjata yang diyakini keberadaannya oleh Zionis. Begitu menjawab tidak tahu, orang yang diinterogasi langsung ditembak di tempat. Mengutip kesaksian seorang aparat yang terlibat, Ilan Pappe menggambarkan bahwa pembunuhan di pantai itu juga merupakan ajang balas dendam pribadi. Itu dibuktikan dari banyaknya prajurit Zionis yang mendatangi Mashvits dan memberitahunya bahwa sanak-saudaranya tewas dalam pertempuran sebelumnya. Respon sang komandan adalah perintah mengumpulkan pria tawanan ke dalam kelompok berisi lima-tujuh orang lalu mengeksekusi mereka. Prinsip Mashvits jelas, untuk satu nyawa saudara Zionis yang tewas, mesti diganti dengan lebih banyak nyawa orang Arab.
Abu Masyekh, penduduk asal Qisarya yang tinggal di Tantura, menyaksikan bagaimana kekejaman itu terjadi. Dengan mata-kepalanya sendiri dia melihat eksekusi 85 pemuda Tantura di permakaman dan masjid-masjid. Dia ingat betul operasi itu diawasi seluruhnya oleh Mashvitz yang bersenjata stengun.
“Mereka berdiri di samping tembok, semuanya menghadap tembok. Dia (Mashvitz, red.) datang dari belakang dan menembak mereka di kepala,” ujarnya, dikutip Ilan Pappe.
Saksi lain, Mahmud Abu Salih, melihat tujuh pria dari keluarganya tewas dieksekusi. Pria yang saat kejadian berusia 17 tahun itu kemudian berrelasi dengan salah satu anak korban yang kemudian menjadi gila karena melihat ayahnya dieksekusi di depannya.
Kengerian juga diingat betul oleh Mustafa Abu Masri. Karena usianya baru 10 tahun saat kejadian, Masri dikelompokkan ke dalam kelompok perempuan dan anak-anak sehingga dia selamat. Dia menyaksikan selusin saudaranya ditembak para milisi Zionis. Eksekusi terhadap saudara-saudaranya itu bermula dari ayahnya yang menitipkan keluarganya kepada seorang perwira Zionis yang dikenal baik dan dipercayai keluarga mereka. Begitu mereka pergi bareng perwira itu, mereka dieksekusi. Ayahnya dieksekusi juga kemudian.
Usai eksekusi, Mashvitz memerintahkan beberapa orang Palestina, termasuk tetua desa Abu Fihmi, untuk mengidentifikasi mayat-mayat. Mashvitz juga memerintahkan dua orang Palestina menggali kuburan massal di bawah pengawasan Mordechai Sokoler, orang Yahudi asal Zikhron Yaacov yang traktornya ikut dipinjam untuk penggalian itu. Begitu selesai diidentifikasi, mayat-mayat itu diangkut gerobak ke kuburan massal itu dan dimakamkan.
Kendati banyak yang menyebut jumlah korban pembantaian itu 110 orang, Sokoler mengatakan dalam testimoninya pada 1999 bahwa jumlah korban jiwa sebanyak 230 orang. “Saya meletakkannya satu per satu di kuburan,” ujarnya, dikutip Pappe.
“Yang terjadi di Tantura adalah eksekusi sistematis terhadap para pemuda berbadan sehat oleh tentara Yahudi dan perwira intelijen,” ujar Pappe.