SENIN, 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro wafat di benteng Rotterdam, Makassar. Secara resmi berita kematiannya dikeluarkan sebuah komisi beranggotakan J.G. Crudelbach (asisten residen), J.T. Lion (mayor infantri), dan F.A.M. Schnetz (perwira kesehatan kelas I). Sejak itu, tak pernah ada kabar tentang Diponegoro, baik tentang keluarga atau pengikutnya.
20 tahun kemudian, muncul kabar tentang keturunan Diponeoro, meski bukan berita baik. Dipoatmodjo, cucu pangeran Diponegoro, ditangkap karena menjadi kepala perampok di wilayah Semarang pada September 1875.
Belanda tak mengeksekusinya. Pejabat Belanda setempat menyatakan bahwa “seorang penduduk lokal, yang merupakan keturunan Pangeran Diponegoro, tidak harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan,” seperti dikutip dalam makalah Werner Kraus, “Diponegoro, Gerakan Nasionalis dan Seni”, yang didiskusikan di Galeri Nasional Jakarta (27/2).
Setelah kematiannya, catat Werner Kraus, tidak ada perhatian terhadap Diponegoro dalam suratkabar nasional, kecuali tentang Dipoatmodjo.
Baca juga: Hijrah Pangeran Diponegoro
Memasuki awal abad ke-20, kesadaran nasional mulai bergeliat. Insulinde, organisasi lanjutan Indische Partij yang dilarang Belanda, berkongres di Semarang pada Maret 1913. Inilah kali pertama Diponegoro masuk panggung pergerakan. Rijken, anggota Insulinde dari Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) Jakarta, menyampaikan pidato berjudul “Diponegoro sebagai Freedom Fighter”. Lima tahun kemudian, Insulinde kembali berkongres di Bandung. Kali ini Diponegoro dihadirkan dalam gambar potret.
“Kita tidak tahu potret sejarah yang digunakan sebagai model. Apakah litografi setelah Bik? atau setelah de Steurs? atau menemukan poster dari seorang seniman tentang Diponegoro yang sama dengan dirinya sendiri?” tulis Kraus. F.V.H.A de Steurs melukis litograf Diponegoro setelah penangkapannya pada 1830. Pada tahun yang sama, A.J. Bik juga menggambar litograf Diponegoro.
Potret diri Diponegoro pun mulai diproduksi di mana-mana.
Baca juga: Di Balik Sketsa Wajah Diponegoro
Partai Komunis Indonesia (PKI) juga menempatkan Diponegoro sebagai simbol antiimperialisme. Henk Sneevliet, pembawa komunis ke Indonesia, menulis artikel tentang Revolusi Rusia di koran De Indier, 19 Maret 1917. Dalam artikelnya, tulis Werner Kraus, Sneevliet menyatakan bahwa orang-orang Jawa harus mengadopsi Diponegoro sebagai contoh yang ideal. Pada kongres PKI tahun 1921 di Semarang, potret diri Diponegoro bersanding bersama potret Karl Marx dan Rosa Luxemburg, di dinding aula tempat kongres digelar.
Partai Nasional Indonesia (PNI) besutan Sukarno pun menjadikan Diponegoro sebagai ikon pergerakan. Dalam pertemuan Pemuda Indonesia, sayap organisasi pemuda PNI, pada 1928, nama Diponegoro dielu-elukan. Sukarno, dalam acara api unggun (kampvuurs) yang diselenggarakan gerakan kepanduan PNI di Bandung pada Februari 1929, mengatakan bahwa kisah hidup Diponegoro adalah cerita nasionalis yang heroik. Kemudian pada malam peringatan wafatnya Sun Yat Sen, gambar besar Diponegoro bersanding dengan gambar Sun Yat Sen di kantor PNI di Bandung.
Baca juga: Diponegoro Phobia Pemerintah Hindia Belanda
Golongan Islam tak ketinggalan. Dalam kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta, 8-16 Mei 1931, gambar Diponegoro berdiri menunjuk Masjid Gede Yogyakarta. Di bawahnya tertulis huruf Arab: Hayya ‘alal falah yang berarti “mari menuju kemenangan.”
“Potret dirinya yang tidak hanya di ruang kongres, tetapi juga dijual di pasar, untuk dipasang di ruang keluarga orang biasa. Indoktrinasi yang terus-menerus ini terbilang sukses,” tulis Kraus.
Pemerintah kolonial di bawah Gubernur Jenderal de Jonge (1931-1936) bereaksi. Semua hal yang berbau Diponegoro dilarang. Dua guru Sarekat Rakyat (perubahan dari Sarekat Islam Merah) di daerah Salatiga dipecat karena di ruang kelasnya terdapat potret Sneevliet, Baars, Semaoen, Douwes Dekker, dan Diponegoro. Acara api unggun khas pemuda PNI juga dilarang. Apalagi peringatan Hari Diponegoro setiap 8 Februari.
“Sampai dengan tahun 1945, gerakan nasionalis masih mempercayai bahwa diponegoro meninggal tanggal 8 Februari, bukan 8 Januari,” tulis Werner Kraus. “Diponegoro sebagai pahlawan nasional adalah penemuan awal nasionalis Indonesia.”*