Masuk Daftar
My Getplus

Dialog dengan Kolonel Latief

Pembicaraan empat mata antara Tapol peristiwa 27 Juli 1996 dengan Tapol G30S di Rutan Cipinang. Kisah dari sudut pandang pelaku.

Oleh: Petrus Hariyanto | 01 Okt 2020
Petrus Hariyanto (berdiri di tengah berkaus kuning), Tapol peristiwa Kudatuli (27 Juli 1996) bersama Tapol lain era Soeharto di LP Cipinang. (Dok. Petrus Hariyanto/Historia.id).

Dalam peristiwa penculikan dan pembunuhan enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama TNI Angkatan Darat, dini hari 1 Otkober 1965, ada beberapa nama pemimpin militer sebagai pelaku yang dikenal publik, antara lain Letkol Untung Syamsuri (Komandan Batalion I Tjakrabirawa), Brigjen Soepardjo (Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga), Kolonel Abdul Latief (Komandan Brigif 1 Jayasakti), Mayor Udara Suyono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Udara). Ada juga orang sipil, antara lain Syam Kamaruzaman (anggota Biro Khusus PKI, Pono (Biro Khusus PKI). Kecuali Kolonel Latief yang divonis seumur hidup, sebagian besar sudah dieksekusi mati.

Pada Desember 1996, aku ditahan di LP Cipinang, pindahan dari Rumah Tahanan  Kejagung. Saat itu aku masih berstatus Tahanan Politik (Tapol) yang masih dalam proses persidangan dengan dakwaan subversi paska “Peristiwa 27 Juli”. Aku sangat beruntung karena waktu itu masih sempat berjumpa dengan Kolonel Latief, saksi kunci peristiwa G30S.

Bertemu dan bercakap-cakap dengannya sangatlah menyenangkan. Obrolanku dengannya bisa menghabiskan waktu berjam-jam, karena bekas anak buah Soeharto itu senang bercerita, dan tidak menutupi peristiwa G30S. Semua dibukanya gamblang. Katanya waktu itu, dia ingin meluruskan peristiwa itu untuk membongkar versi pemerintah yang menurutnya banyak bohongnya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kisah Petrus Saat Kudatuli Meletus

Pagi itu, di  awal Januari 1997, aku sempatkan main ke kamar selnya. Sebelumnya, aku sempatkan mampir ke Blok 3F untuk bertemu dengan Fauzi Isman, Narapidana Politik (Napol) Kasus Talangsari Lampung, dengan Vonis hukuman 20 Tahun, untuk menanyakan letak sel Kolonel Latief (sering kami menyebut demikian).

“Kalau tahanan PKI ada di Blok Eki (Ekstrim Kiri), sedangkan kita (Tapol PRD dan Napol Kasus Lampung) berada di Blok 3EF atau Blok Eka (Ekstrim Kanan). Kamar Pak Latief nomor 6, Nuku Sulaiman (kasus stiker SDSB/Soeharto Dalang Segala Bencana) juga ada di Blok Eka,” ujar Fauzi.

Dari cerita Fauzi, Blok Eki diperuntukan bagi anggota PKI atau yang dinyatakan terlibat G3OS. Kata Fauzi,  saat ini tinggal lima Napol yang tersisa, sementara lainnya sudah dieksekusi mati.

Katanya, Pak Katno (Ketua Pemuda Rakyat) ada di kamar 1, Pak Asep Suryaman alias Pak Hamim anggota Biro Khusus PKI di kamar nomor 5, Pak Boengkoes anggota pasukan Cakrabirawa kamar nomor 4, Pak Marsudi anggota AURI, kamar 7. Semuanya divonis hukuman mati. Beberapa kali akan dieksekusi, tetapi urung dilaksanakan.

Baca juga: Catatan Petrus Hariyanto: PRD dan Penggulingan Soeharto (1)

Berbekal informasi dari Fauzi aku menuju sel Pak Latief. Bagi kami yang ada di LP Cipinang, jarak antara selku dan sel Pak Latief terhitung jauh. Maklum, biasa beraktivitas hanya seputaran blok. Ketika kutemukan sel kamarnya, di ruang depan penuh gitar, tas koper berlapis batok kelapa yang dihaluskan.

“Semua ini buatanku. Aku dulu aktif di Bingker (Bimbingan Kerja). Aku buat gitar akustik dan listrik, bahkan bass betot keroncong, untuk mengisi waktu luang, dan bisa dijual. Bahkan sampai ke luar negeri,” ujar Pak Latief memecah lamunanku yang sedang memandang kerajinan tangan yang dipajang di dalam selnya.

Seperti biasanya, dia selalu antusias bila bertemu aku. Aku dipersilahkan duduk, Pak Latief lalu menanyakan bagaimana jalannya proses persidanganku? “Aku jadikan momen untuk membongkar kejahatan Soeharto dan panggung perlawanan kepada rezim orba,” jawabku.

“Nah, sudah betul itu. Walau kalian dipenjara, jangan takut untuk melawan Soeharto. Dalam proses sidang kamu harus berani melawan penguasa dengan gagah berani,” kata Latief berapi-api. Dia kemudian melanjutkan, “Petrus harus mencontoh aku. Walau aku disiksa dan diisolasi selama sepuluh tahun. Tapi aku melawan dalam persidangan. Aku sendiri baru disidang di Mahkamah Militer Tinggi, setelah 13 Tahun dipenjara. Aku harus bongkar peristiwa G30S. Kebenaran harus diungkap,” ujarnya dengan penuh semangat.

“Peristiwanya sendiri bagaimana sih pak? Apa betul bapak melakukan kudeta dan membunuh Jendral Ahmad Yani cs.?” tanyaku.

“Siapa yang kudeta? Kami-kami saat itu, yakni Letkol Untung, Brigjen Suparjo adalah para Perwira Menengah Angkatan Darat yang ingin menggagalkan kup dari Dewan Jenderal. Itu bukan isu. Itu sesuatu yang nyata.” 

Baca juga: Catatan Petrus Hariyanto: PRD dan Penggulingan Soeharto (2)

“Saya laporkan hal itu ke Pangkostrad. Saat itu, Mayjen Soeharto sendiri juga mengatakan ke aku kalau anak buahnya memberi informasi adanya upaya para Jenderal AD yang akan mengambil alih kekuasaan. Jadi sudah beredar luas di kalangan militer,” ungkapnya.

Menurut penuturan Pak Latief, sakitnya Presiden Sukarno membuat para Jenderal AD yang selama ini sering menyabot perintah dan program Sukarno bergerak.

“Jenderal Ahmad Yani dipanggil Presiden Sukarno kala itu, ditanyai akan kebenaran adanya Dewan Jenderal. Media ramai saat itu memberitakan adanya rencana Dewan Jenderal untuk mengambil alih kekuasaan Presiden Sukarno,” tambahnya.

Hati Pak Latif sebagai militer terpanggil karena Pemerintahan Sukarno dalam keadaan bahaya. “Secara spontan saya bersedia untuk ikut serta menyelamatkan dari usaha perebutan dan penggulingan kekuasaan terhadap Presiden Sukarno,” tegas anggota militer AD yang tak pernah absen dalam menjalankan tugas di setiap pergolakan di Indonesia sejak jaman kemerdekaan dan sampai orde lama itu.

Baca juga: Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S

Menurut mantan anak buah Soeharto saat pertempuran “Enam Jam Di Yogya” itu, rencana yang disampaikan Lelkol Untung, 7 jenderal akan diamankan untuk dihadapkan kepada Presiden Sukarno.

“Letkol Untung dan Brigjen Suparjo meminta saya menemui Mayjen Soeharto untuk menyampaikan rencana mengamankan Jendral Ahmad Yani cs. Aku datangi Soeharto di RSPAD Gatot Subroto saat dia menunggui anaknya, Tomy Soeharto yang dirawat di sana, kira-kira pukul 22.00 WIB, pada tanggal 30 September. Ia hanya mangut-mangut saja. Tidak menolak rencana kami.” 

“Kenapa Mayjen Soeharto diberitahu. Apa nggak jadi masalah? Apakah Soeharto masuk dalam kubu kelompok Pak Latief?” tanyaku dengan semangat.

“Aku dan Untung itu bekas bawahan Soeharto. Soeharto kecewa kepada Untung masuk Tjakrabirawa, dan kepada saya ketika menjadi Komandan Brigif 1 Jayakarta. Kami berdua masih diminta membantu Soeharto di Kostrad.”

“Hubungan dengan Soeharto tidak hanya sebatas komandan dan bawahannya. Hubungan kami sudah seperti keluarga. Keluarga kami saling mengenal dan sering bersilahturahmi,” ujarnya.

Baca juga: Soeharto Pernah Ditangkap di Madiun

Latief berkisah saat Untung menikah Soeharto datang ke Kebumen turut merayakan acara itu. Padahal, “saat itu jalan ke kota itu jelek dan transportasi juga terbatas. Tapi karena pertemanan yang kental Soeharto melakukan perjalanan jauh.”

“Saat aku mengadakan khitanan anakku, Soeharto dan Ibu Tien menyempatkan datang. Sebaliknya, saat Sigit khitanan keluargaku datang dalam acara tersebut,” ungkapnya.

Bahkan, Pak Latief dalam ceritanya pernah datang menemui Pak Harto dan Ibu Tien untuk menyampaikan niat memberikan rumah yang lebih besar.

“Aku prihatin dengan rumah keluarga Soeharto yang begitu kecil. Aku ingin memberikan rumahku di Jalan Jambu, bekas Kedutaan Besar Inggris, agar ditempati keluarga Soeharto, dan aku sendiri menempati rumahnya yang kecil,” ungkapnya.

Dari penuturan Pak Latief, aku tangkap alasan memberitahu Soeharto karena dianggap Soeharto satu kubu dan mendukung aksi menggagalkan kudeta Dewan Jenderal. Juga karena kedekatan hubungaan dengan Soeharto, yang sudah seperti keluarga sendiri. Mereka berharap bisa mendapat bantuan darinya suatu saat.

Penculikan Para Jenderal

Peristiwa penculikan para jenderal tersebut pernah aku dengar sebelumnya dari penuturan Pak Bungkus di ruang besuk. Dia adalah pasukan Tjakrabirawa, Komandan Peleton C, yang dikomandani Letnan Satu Dul Arief.

Katanya, saat itu ia diperintahkan tangkap hidup atau mati para jenderal yang akan melakukan kudeta. Sedangkan dari cerita Pak Latief ditangkap hidup-hidup untuk diserahkan kepada Presiden Sukarno.

Bungkus mengisahkan, “waktu itu aku ditugaskan memimpin penangkapannya M.T. Haryono. Ada 7 peleton untuk 7 titik operasi. Diberi waktu hanya singkat, sekitar 15-20 menit. Pukul enam pagi sudah harus dibawa ke tempat kami semula."

Baca juga: MT Haryono, Calon Dokter yang Memilih Jadi Tentara

"Ketika sampai di tempat sasaran, pintu saya ketuk sampai dua kali, tapi malah dikunci dari dalam. Saya bingung, masak saya tidak menjalankan tugas. Lalu pintu kami dobrak. Di dalam gelap karena lampu dimatikan. Sekilas ada bayangan putih, lalu saya refleks menembak. Ternyata yang tertembak MT Haryono, "ujar Pak Bungkus dengan wajah tegang.

Kata Pak Bungkus, pasukannya membawa jenazah M.T. Haryono ke tempat semula (daerah Lubang Buaya). Katanya, tiba pukul setengah enam.

"Saya serahkan M.T. Haryono yang sudah meninggal ke Dul Arief," ujarnya lirih.

Menurut cerita Bungkus, para jenderal tidak disiksa.

“Tidak ada, dik, yang disiksa. Yang hidup, dengan sopan dipapah, dibawa ke bibir lubang sumur baru ditembak. Nggak benar ada Gerwani yang menari sambil menyanyi 'Genjer-Genjer'. Nggak ada adegan menyilet dan mencungkil mata para jenderal. Film itu benar-benar keterlaluan," ujarnya kepadaku dengan nada tinggi.

Baca juga: Soeharto Datang, Genjer-Genjer Berkumandang

Kata Pak Bungkus, yang di sana hanya pasukan yang bisa menangkap para jenderal. 60 orang dari Tjakrabirawa dan selebihnya pasukan Brigif I Jaya pimpinan Kolonel Latief.

"Suasananya sunyi, dik. Hanya terdengar suara hembusan angin, suara bayi, suara ayam berkokok. Kami semua terdiam dan mematung. Minum air putih pun rasanya getir," ucap Bungkus, matanya seperti menerawang ke masa lampaunya tersebut.

Sementara itu, Pak Latief menerima laporan dari Letnan Satu Dul Arief kalau para jenderal yang diamankan meninggal. “Aku sendiri bingung kok jadi begini. Sampai keluar keringat dingin. Dul Arief juga begitu,  padahal dia pemimpin operasi di lapangan,” kata Latief.

Latief sempat memprotes hal tersebut kepada Untung. Tapi protesnya ditanggapi dengan jawaban bahwa dia akan bertanggungjawab atas apa yang terjadi.

Baca juga: Rekaman Sidang Letkol Untung di Mahmilub

“Dalam Mahkamah Militer Tinggi, Syam (Syam Kamaruzaman anggota Biro Khusus PKI) mengakui bahwa dia yang memerintahkan penembakan jenderal yang masih selamat. Aku sendiri malah nggak tau ada yang masih hidup, lalu ditembak mati. Jadi, meninggalnya Jenderal Ahmad Yani cs diluar jangkauan dan kemampuan saya saat itu,” ungkap Latief bernada membela diri.

“Supaya semua gerakan dihentikan, dan semua pasukan stand by di tempat, semua persoalan akan diselesaikan oleh pemerintah/presiden, hindari pertumpahan darah,” ujar Pak Latief membeberkan sikap Presiden Sukarno. 

Perintah Presiden Sukarno didapat setelah Brigjen Soepardjo berhasil menemui Panglima Besar dan Pemimpin Tertinggi Revolusi di bandara Halim Perdanakusumah.

Baca juga: Meringkus Soepardjo, Sang Jenderal Buronan

Kata Pak Latief, Brigjen Soepardjo berhasil menemui Presiden Sukarno dan melaporkan gerakan mengamankan para anggota Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta. Presiden Sukarno justru meminta agar gerakan itu dihentikan.

“Perintah Sukarno itu kami jalankan dengan menarik semua pasukan yang dikerahkan. Tembak-menembak yang terjadi juga bukan kami yang memulainya. Kami hanya mempertahankan diri,” kata Latief.

“Jadi ngawur kalau ada tuduhan makar kepada Presiden Sukarno. Logikanya aneh, justru kami ingin melindungi Presiden Sukarno. Lewat Brigjen Soepardjo, justru kami ingin melaporkan gerakan kami. Tidak ada pasukan dikerahkan menahan Presiden Sukarno dan meringkusnya. Kan aneh tuduhan makar?” ucapnya dengan nada marah.

Petrus Hariyanto, Tapol peristiwa Kudatuli (27 Juli 1996) bersama Tapol lain era Soeharto di LP Cipinang. (Dok. Petrus Hariyanto/Historia.id).

Tetap Bertahan

Malam semakin memuncak, suasana menjadi sepi sunyi. Kesunyian itu membuat aku mampu mendengar bunyi sirine palang pintu kereta. Bunyinya yang khas itu hampir setiap malam larut menemaniku. 

Aku masih terjaga, tenggelam dalam lamunanku memikirkan perkataan mantan Komandan Brigadir Infantri 1 Jayasakti Kodam V Jaya itu.

Kalau Soeharto tahu rencana mengamankan Jenderal Ahmad Yani cs, kenapa diam saja? Harusnya lapor kepada atasannya di Angkatan Darat tersebut. Atau mencegah agar hal tersebut tidak terjadi.

“Keterangan Soeharto di media mencla-mencle (berubah-ubah). Ketika memberi keterangan dalam wawancara dengan seorang penulis bernama Brackman (Arnold Brackman, sekitar tahun 1968), Soeharto mengatakan kedatanganku ingin mengecek  dirinya sedang mendampingi Tomy dirawat di RSPAD Gatot Subroto,” kata Latief. “Sementara dengan koran Der Spigel (Jerman Barat), Tahun 1970, Soeharto mengatakan kalau aku akan membunuh dirinya. Gagal, karena rumah sakit penuh orang.” 

“Mana yang benar? Jawaban kedua saling bertentangan. Soeharto ingin menutupi kejadian yang sesungguhnya. Mana mungkin aku membunuh dia. Diriku sangat hormat kepada dirinya. Dan aku menyakini kalau Soeharto adalah jenderal yang loyal terhadap Sukarno,” ungkapnya.

Baca juga: Soeharto Seteru Pranoto Reksosamodra

Menurut Latief  setelah kejadian penangkapan para jenderal, Soeharto tidak pernah menghadap Presiden Sukarno, padahal menurutnya dia tahu Presiden memilih Mayjen Pranoto Reksosamodra menggantikan Jenderal Ahmad Yani.

“Bahkan ia mencegah Mayjen Pranoto Rekso dan Mayjen Umar Wirahadikusuma (Pangdam V Jaya) menghadap Presiden Sukarno. Jelas-jelas dia sudah melakukan tindakan sendiri dan melawan Presiden Sukarno sebagai Panglima Tertinggi. Bahkan lebih lanjut, menekan Presiden agar membuat Supersemar. Sejak itu, melakukan tindakan secara luas, melebihi mandat dari Supersemar,” ungkap Latief.

“Semua kebijakan yang diambil Soeharto intinya mempreteli kekuasaan Presiden Sukarno. Dan semua masyarakat tahu akhirnya MPRS memecat Sukarno dan mengangkat Soeharto menjadi Presiden. Bahkan menahan Presiden Sukarno. Faktanya jelas, dia melakukan kudeta kepada kekuasaan Presiden Sukarno,” katanya bernada tinggi.

Baca juga: Supersemar dan Tafsir Soeharto

Di sinilah pentingnya arti kesaksian Pak Latief dalam peristiwa G30S. Tegas-tegas dia menuduh Soeharto-lah yang menggulingkan Sukarno. Mayjen Soeharto memainkan politik Marchiaveli. Dia biarkan semua Jenderal yang berkuasa di AD dihabisi oleh gerakan tersebut. Akhirnya, jenderal senior yang tersisa hanya dirinya dan A.H. Nasution (lolos dari penculikan).

Sejak tanggal 2 Oktober Pangkostrad langsung menghadapi pasukan Untung dan Latief. “Aku dan Untung dipecat olehnya. Dia bukan komandan saya, nggak bisa dia memecat saya,” ujar Pak Latief marah.

Bahkan tanggal 11 Oktober Pak Latief ditangkap. Dari ceritanya, penangkapan begitu brutal. “Kaki kanan saya dibayonet, tempurung kaki saya dipecahkan oleh tembakan senjata api. Dengan darah mengucur saya dibawa ke RSPAD dan dioperasi. Bangun-bangun sudah seluruh tubuhku digips semen, hanya kepala yang bisa digerakkan,” kenangnya pilu.

Baca juga: Sarwo Edhie Wibowo Kecewa Kepada Soeharto

Sebuah penderitaan yang tak ada ujung pangkal, sehabis operasi langsung  diperiksa. Bahkan Pak Latief ditahan diruang isolasi dengan kondisi penjara yang lembab dan kotor. Suatu hari ketika gips dibuka muncul belatung dan nanah disertai bau busuk, membuat sipir yang bertugas muntah. Soal makanan jangan ditanya, tak layak dimakan. Pak Latef sendiri menjadi saksi begitu kejamnya pemerintah memperlakukan para tahanan. Akhirnya, banyak yang terkena H.O (Hongeroedeem, busung lapar), tubuh mereka kurus-kering lalu banyak yang mati.

“Agar aku punya asupan gizi, aku berburu tikus setiap hari. Itulah asupan proteinku. Kalau tidak, sudah tumbang diriku,” ujarnya kini sambil melucu.

Siksaan yang luar biasa membuat beberapa tahanan tak kuat lalu bunuh diri. Pak Latief sendiri diisolasi selama 10 tahun. Aku membayangkan sebuah penderitaan yang luar biasa. Dalam tahanan tidak boleh keluar, hanya ada dalam sel selama 10 tahun, dengan digips semen seluruh tubuhnya kecuali kepala hampir dua tahun.

Toh, dia tetap bertahan, dan akhirnya dimajukan ke Mahkamah Militer Tinggi, 13 tahun kemudian. Bukannya dia surut dan menyerah menghadapi Mahmilti, justru di pengadilan itu dia melawan dan membongkar peristiwa G30S.

Baca juga: Soeharto Dianggap Tidak Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sayangnya, kekuasaan Soehato sudah sedemikian kukuh. Kesaksian Pak Latief dianggap angin lalu. Beda kejadiannya, kalau dia diadili setelah peristiwa itu. Dan kini perwira menengah AD yang pernah ikut Pertempuran 10 November dan terlibat menumpas hampir semua pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah itu tetap tegar.

“Aku ingin melihat Soeharto jatuh. Aku ingin bebas dan membuat buku tentang pledoiku dan biografiku. Aku ingin hidup dan melihat kejatuhannya dan kematiannya,” ujarnya mengakhiri pembicaraan hari itu.

Cita-cita pemilik nama Gus Dul waktu kecil inipun tercapai. Soeharto jatuh dari pemerintahannya. Pak Latief bersama 3 Napol G30S lainnya dibebaskan Habibie. Buku pledoinya juga terbit, dan menjadi dokumen penting tentang peristiwa G30S. Sayangnya, beliau menghembuskan nafas terakhir terlebih dahulu sebelum Soeharto.

TAG

g30s

ARTIKEL TERKAIT

Melawan Sumber Bermasalah Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Hubungan Jarak Jauh Pierre Tendean Kopral Hargijono Tak Sengaja Menembak Ade Waktu Junta Suardi Diperiksa Mukidjan Bukan Tjakra Boengkoes, Tjakra Terakhir di Cipinang Setelah Rohayan Menembak Soeprapto Kolonel Junus Jamosir Digunjing Setelah G30S Junus Samosir, D.I. Panjaitan, dan G30S