RIBUAN masyarakat Yogyakarta turun ke jalan menyaksikan sidang paripurna DPRD Yogyakarta yang membahas RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta pada Senin, 13 Desember 2010. Lazimnya demonstrasi, selain diisi oleh orasi, juga disemarakkan oleh kalimat bernada protes politik pada spanduk.
Di antara kerumunan massa, beberapa orang mengenakan surjan dan blangkon tampak membentangkan spanduk sepanjang lima meter. Pada spanduk yang dibuat oleh Gerakan Rakyat Mataram (Geram) tertulis, “SBY: Sumber Bencana Yogya.” Akronim bernada isinuatif itu bukan yang pertama. Sebelumnya, dalam acara peringatan Sumpah Pemuda ke-77, 28 Oktober 2005, sekira 300-an massa yang tergabung dalam Komite Bersama Rakyat Jogja Menolak Lenga (minyak) Larang (mahal) (Koramell) menggelar aksi demo menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Dalam aksi tersebut mereka memelesetkan SBY jadi “Sengsara Banget Yo dan Soyo Bubrah Yo (semakin berantakan ya),” tulis Detiknews.com, 28 Oktober 2005.
Menurut Profesor Studi Pembangunan dan Politik Asia di Graduate Institute of Development Studies (IUED) Jenewa, Swiss, Jean-Luc Maurer masyarakat Indonesia berbakat dalam membuat akronim. Caranya dengan menempatkan beberapa suku kata yang diambil dari kata-kata yang telah dipisah-pisahkan ke dalam bagian-bagian yang diurutkan secara berdampingan.
“Dari sisi ilmu bahasa, unsur utama penjelasan berasal dari kenyataan bahwa karena struktur dan kosakata bahasa Indonesia masih sedang dibentuk, maka bahasa ini sangat luwes dan khususnya cocok bagi inovasi dan kreativitas,” tulis Maurer, “Bermain dengan Kata-kata? Lelucon dan Permainan Kata-kata sebagai Protes Politik di Indonesia,” termuat dalam Orde Zonder Order.
Kebiasaan ini, lanjut Maurer, telah tersebar luas pada masa Sukarno, yang menghujani pidato-pidatonya dengan akronim. Misalnya akronim Orde Lama yang paling terkenal: Nasakom (NASionalis Agama KOMunis), aliansi di masa Demokrasi Terpimpin pada akhir tahun 1950-an antara kekuatan-kekuatan nasionalis, keagamaan, dan komunis; RESOPIM (REvolusi SOsialisme Indonesia PIMpinan nasional), pidato presiden pada Hari Kemerdekaan tahun 1961; NEFOS (New Emerging FOrceS) untuk OLDEFOS (OLd DEclining FOrceS), perjuangan anti-imperialisme tahun 1960-an; TAVIP (TAhun Vivere Pericoloso atau Tahun untuk Hidup Penuh Tantangan), pidato presiden pada Hari Kemerdekaan tahun 1964; dan BERDIKARI (BERdiri DI atas Kaki sendiRI), slogan ekonomi tahun 1965.
“Orde Baru meneruskan penggunakan muslihat kultural ini untuk menjelaskan sejelas-jelasnya prioritas-prioritasnya, untuk membuat rakyat terkesan, dan memenuhi maksud-maksud politik serta ekonominya sendiri,” tulis Maurer.
Dengan keamanan politik dan pembangunan ekonomi sebagai pilar ideologi Orde Baru, tidaklah mengherankan jika sebagian besar akronim yang digunakan secara luas antara tahun 1965 sampai 1998 berkaitan dengan kedua hal ini. Akronim Orde Baru yang secara politis paling penting antara lain: GESTAPU (GErakan September Tiga PUluh), peristiwa berdarah 30 September 1965 yang sengaja dimiripkan dengan Gestapo, polisi rahasia Nazi yang terkenal kejam; KOPKAMTIB (KOmando Pemulihan KeAManan dan KeterTIBan), badan menakutkan yang dibentuk Maret 1966 untuk menumpas segala bentuk ancaman bagi kekuasaan Orde Baru; GOLKAR (GOlongan KARya), partai politik pemerintah yang dibentuk pada 20 Oktober 1964; dan REPELITA (REncana PEmbangunan LIma TAhun), program pembangunan pemerintah yang dimulai tahun 1969. Yang paling pedas tentu saja UUD (Ujung-Ujungnya Duit).
Pembuatan akronim meluas di masyarakat. Banyak di antara akronim tidak memiliki makna politis dan hanya berkaitan dengan keadaan kehidupan sehari-hari atau mengandung konotasi seksual dan lelucon lain, seperti merek rokok ARDATH dipanjangkan Aku Rela Ditiduri Asal Tidak Hamil; DJARUM, Demi Jenderal Aku Rela Mati; Lavender merk sebuah minyak rambut pun jadi Laki-laki V(P)enuh Derita
Sementara akronim paling cerdas dan tertua yang dibuat rezim Orde Baru adalah SUPERSEMAR yaitu SUrat PERintah SEbelas MARet. Para mahasiswa kritis yang muak dengan rezim Orde Baru memelesetkan SUPERSEMAR jadi SUdah PERsis SEperti MARcos. “Versi lain yang lebih sederhana dari akronim itu adalah SUharto PERsis SEperti MARcos,” kata Adam Schwartz seperti dikutip Maurer.
Berbagai macam akronim dan nama tokoh menjadi ajang pisau bedah humor. Soeharto sendiri tak lepas dari akronim. Dia diartikan SUdah HARus TObat. Slogan politik sehubungan dengan Soeharto yang paling populer selama tahun-tahun terakhir rezimnya berkaitan dengan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), sejenis lotere yang disponsori pemerintah yang diadakan tahun 1993. Pada suatu demonstrasi di depan gedung DPR/MPR untuk memprotes lotere ini, aktivis Nuku Sulaiman membagi-bagikan stiker bertuliskan Soeharto Dalang Segala Bencana. SDSB yang juga ditujukan kepada Sudomo, mantan Kepala Keamanan dan Menteri Tenaga Kerja, diartikan Soeharto Datang Sudomo Beres atau Sudomo Datang Segala Beres. Walhasil Nuku pun diseret ke pengadilan dan sempat mendekam di Penjara Cipinang sampai Soeharto mundur.
Kebiasaan menyingkat kalimat pun ada pada tentara. Sejumlah kata pun disingkat seenaknya, semisal AMD, ABRI Masuk Desa. Sebuah akronim dalam akronim yang tak sesuai dengan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar, berlawanan dengan anjuran penguasa saat itu. KOPASSUS pun tak luput dari kotak-katik kata sindiran dengan menyulapnya jadi Kopi Pake Susu.
Akronim-akronim tersebut tumbuh subur di masa Orde Baru karena rezim represif ini membatasi hak untuk memiliki pandangan berbeda atau kebebasan berekspresi. Maurer menyebutnya “ejekan bawah tanah”. Cara ini terbilang kreatif untuk mengungkapkan ketidakpuasan sosial dan protes politik.
Menurut Harsutejo, penulis buku Kamus Kejahatan Orba, ramainya humor bawah tanah merupakan bentuk perlawanan yang tak bisa dibendung dan merambah ke seluruh lapisan masyarakat. Tiap orang bisa menjadi penggagas dan penyebar humor. “Tentu saja Soeharto tak dapat dipaksa turun hanya dengan humor.”