Tak banyak orang tahu, sejak remaja Soe Hok Gie sempat tak pernah akur dengan Soe Hok Djin, sang kakak yang kemudian merubah namanya menjadi Arief Budiman. Menurut Arief, situasi itu terjadi cukup lama: hampir 10 tahun. Gegaranya hanya soal-soal sepele saja.
“Terkait soal-soal remaja-lah, misalnya saya kesal Hok Gie kadang malas mengurus piaran-piarannya yang sebenarnya itu adalah kewajibannya,” ungkap Arief kepada Rudy Badil (sahabat Soe Hok Gie) pada suatu hari.
Namun seiring waktu, permusuhan itu mulai mencair ketika mereka berdua sama-sama kuliah di UI. Bahkan tiga tahun menjelang kematian Gie pada 16 Desember 1969 di Puncak Mahameru, bisa dikatakan hubungan Gie dan Arief terbilang sangat akrab.
“Gue rasa karena mereka memiliki visi yang sama dalam soal-soal prinsip politik seperti perlunya melengserkan Presiden Sukarno pada awal 1966,” ujar Rudy.
Baca juga: Jalan Seorang Arief Budiman
Keakraban itu diperlihatkan dengan seringnya Gie berdiskusi secara khusus bersama Arief. Bahkan ketika Arief pindah rumah dari Kebon Jeruk (kediaman orangtua Gie dan Arief) karena menikah dengan Sitti Leila Chairani pada 1968, tradisi tersebut tetap berlanjut.
Dalam surat-surat pribadi dan catatan hariannya (kemudian dibukukan menjadi Catatan Seorang Demonstran), nama Arief banyak disebut Gie. Sebaliknya, Arief sendiri banyak dicurhati berbagai persoalan oleh sang adik, terutama terkait prinsip-prinsip politik dan masalah cinta.
“Dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orangtuanya tidak setuju…” ungkap Arief seperti dikisahkan dalam obituarinya untuk sang adik yang dimuat dalam Catatan Seorang Demonstran.
Hok Gie mengeluh kepada Arief jika hubungan cintanya selalu dihalangi oleh orangtua sang gadis. Dengan ayah pacarnya yang seorang pengusaha sukses, Gie memang telah beberapa kali bicara dan mendapat simpati atas keberanian-keberaniannya melakukan kritik kepada sesuatu yang tidak benar.
“Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti menolak. Terlalu besar resikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya, tanpa mau terlibat dengan diri saya…” ungkap Gie kepada Arief.
Baca juga: Soe Hok Gie dan Para Penyusup di UI
Arief mafhum, Gie sebenarnya sudah siap menghadapi risiko-risiko sebagai seorang pengeritik paling keras untuk pemerintah Orde Baru. Tak ada yang ditakutkannya lagi, termasuk ketika dia diancam akan dibunuh oleh seseorang yang mengirimkan surat kaleng ke rumahnya.
“Cina yang tak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja!” maki orang yang mengirimkan pesan misterius itu.
Kepada Arief, Gie juga pernah mencurahkan tentang kekecewannya kepada kawan-kawannya para pemimpin mahasiswa yang mau saja menjadi anggota parlemen lalu berebutan mendapatkan kredit mobil Holden. Baginya, mereka tak lebih hanya “para tukang catut” perjuangan gerakan mahasiswa.
“Bergabunglah dengan partai politik kalau mau berpolitik, jangan mencatut nama mahasiswa,” kata Gie dalam suatu artikel berjudul “Setelah Tiga Tahun” yang termaktub dalam kumpulan tulisannya berjudul Zaman Peralihan.
Kegeraman Gie, tidak hanya terlontar dalam tulisan. Kurang lebih sebulan sebelum kematiannya, dia masih sempat merencanakan untuk ngerjain para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) terutama wakil-wakil dari kalangan mahasiswa.
“Saya usulkan kepada Jopie untuk memberikan kain sarung dan kebaya buat Ketua DPRGR sebagai ucapan selamat atas “kepengecutannya”. Lalu ide ini beralih…hanya kepada wakil-wakil mahasiswa yang ada di sana,” ungkap Gie seperti yang dia tulis dalam catatan hariannya tertanggal 26 November 1969.
Baca juga: Soe Hok Gie dan Tentara
Pada akhirnya, Gie dan kawan-kawannya mengirim seperangkat alat kosmetik dan cermin untuk wakil-wakil mahasiswa itu. Pemberian itu diiringi pesan agar “para wakil mahasiswa yang tak kenal menyerah dan tak mengenal kompromi” bisa tampil lebih cantik lagi di muka penguasa.
“Paket ini diantar pada 12 Desember 1969,” ungkap John Maxwell dalam Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Beberapa waktu sebelumnya, selain kepada Arief, Gie juga pernah menumpahkan kekecewaannya itu pada suatu puisi panjang. Stanley Adi Prasetyo menuliskan “puisi kekecewaan” itu dalam buku Soe Hok Gie…Sekali Lagi (disunting oleh Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti dan Nessy Luntungan R.):
Kepada Pejuang-Pejuang Lama
Biarlah mereka yang ingin mendapatkan mobil, mendapatkannya.
Biarlah mereka yang ingin mendapatkan rumah, mengambilnya.
Dan datanglah kau manusia-manusia
Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu.
Dan kita, para pejuang lama.
Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai
Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut)
(Kau tentunya masih ingat suara-suara di belakang…”mereka gila”)
Hai, kawan-kawan pejuang lama.
Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita
Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita
Dan tinggalkanlah kenang-kenangan dan kejujuran kita.
Mungkin kita ragu sebentar (ya kita yang dahulu membina
kapal tua ini
di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta kepadanya)
Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat
Di sana…
Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru…
Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini
Biarlah mereka yang ingin pangkat, menjabatnya
Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatkannya
Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya
Ayo,
Langit masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini.