Masuk Daftar
My Getplus

Cincang Masa Perang

Kosakata Hindia Belanda, getjintjangd, lahir karena banyak orang Belanda yang dicincang.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 27 Jul 2011

PERANG selalu menista kemanusiaan. Atas nama dendam, kemenangan, dan bertahan hidup; orang yang terlibat dalam perang melakukan pembunuhan, pembantaian, bahkan pencincangan –untuk menyebut kanibalisme. Cerita ini selalu ada dalam setiap perang, di mana pun.

Selama revolusi, badan-badan perjuangan di Jakarta bukan hanya menentang pendudukan Sekutu (Inggris dan Belanda), tapi juga mencegah pulihnya kehidupan sipil Belanda. Caranya dengan melakukan serangkaian teror. Segala cara ditempuh untuk menakut-nakuti orang Belanda. Ada yang membuat coretan-coretan di dinding dengan nada mengancam. Ada juga yang sengaja berperilaku aneh di dekat tempat orang-orang Belanda untuk memberi kesan mereka sudah “ditandai” atau berarti ajal mereka sudah dekat.

Menurut sejarawan School of Oriental and African Studes, Univesity of London, Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949, orang Belanda yang sedang berjalan-jalan disergap, dicekik, dipotong-potong mayatnya, lalu dibuang ke kanal-kanal. Molenvliet, kanal panjang –di antara Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada– yang mengalir ke selatan dari kota tua, adalah tempat favorit untuk melakukan penyergapan semacam ini. Demikian juga jalan utama dari Senen ke Jatinegara. Rumah-rumah keluarga Belanda dikepung pada malam hari dan penghuni di dalamnya dibunuh.

Advertising
Advertising

“Kosakata Hindia Belanda yang sudah berwarna-warni bertambah lagi dengan kata getjintjangd (in stukjes gehakt atau dicincang-Red), yang artinya dicincang menjadi serpihan-serpihan kecil,” tulis Cribb.

Peperangan jenis ini cocok untuk Jakarta. Kecuali wilayah Menteng, sebuah daerah yang relatif baru dan makmur di selatan Koningsplein (sekarang kawasan Lapangan Monas atau Medan Merdeka), tak ada wilayah permukiman yang aman bagi orang-orang Belanda sekalipun dikelilingi penjaga dan kawat berduri. Kampung-kampung yang terletak persis di belakang rumah-rumah orang Belanda dan pintu belakang kantor-kantor yang dulu menyediakan buruh untuk menjamin aktivitas di Batavia berjalan, justru menyediakan pembunuh. Para penyerang melakukan perang gerilya kota dan dengan cepat menghilang sebelum bantuan datang. Aksi ini tidak terlalu bernilai strategis namun dampak psikologisnya cukup besar.

Keadaan serupa terjadi di Bandung. Menurut R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali!, “rumah-rumah keluarga Belanda dikepung di waktu malam, dan para penghuninya dibantai dan tubuhnya dilempar di kali. Dalam kamus orang-orang Belanda dengan cepat terdapat kata getjintjangd, yang artinya dicincang.”

Orang Belanda yang berani masuk kampung harus berhadapan dengan kemarahan dan kebencian penduduk. Penduduk akan berteriak: “Siaaap!” dan kemudian diteruskan dengan teriakan-teriakan yang sama oleh penduduk lain. Mendengar teriakan itu, seluruh penduduk kampung secara serentak berlari ke luar rumah. “Jika orang itu berhasil ditangkap, kadang-kadang secara beramai-ramai diarak keliling kampung untuk kemudian ‘diselesaikan’ (maksudnya, dibunuh). Tidak peduli laki-laki atau perempuan, dewasa atau kanak-kanak, di mana saja ditemukan, mereka menjadi sasaran buruan para pemuda yang beringasan,” tulis Saleh, peserta Akademi Militer di Tangerang pada 18 November 1945.

Di Slawi, selatan Tegal, seperti dilaporkan Soeloeh Rakyat tanggal 5 September 1947, mengutip kantor berita Aneta, polisi-sipil memberitahukan ada 17 orang Belanda dewasa dan lima anak-anak menjadi “korban zaman bersiap” pada 11 Oktober lalu. “Mereka dikumpulkan di suatu tempat, kemudian diperintah membungkukkan diri di depan bendera merah-putih serta berpekik ‘merdeka’, dan setelah selesai ‘upacara’ itu, mereka dibunuh dengan martil dan bambu runcing. Kanak-kanak dilempar tinggi dan kemudian ditangkap dengan bambu runcing. Korban-korban itu belum semuanya mati, akan tetapi dilemparkan saja ke lobang kuburan yang sudah disediakan.”

“Tidak hanya orang Belanda, orang Indonesia yang dicurigai atau dituduh mempunyai hubungan dengan Belanda, juga tidak akan diberi ampun dan dihabisi juga,” tulis Saleh, dengan pangkat Letnan Dua dan jabatan Komandan Peleton Divisi Siliwangi, dia ikut dalam Perang Kemerdekaan 1946-1949.

“Demikianlah suasana revolusi waktu itu. Arus balik terjadi. Penduduk meluapkan kebenciannya kepada setiap hal yang berbau Belanda. Banyak di antara mantan tawanan dan interniran ini shock dengan apa yang terjadi di luar kamp, dan kemudian balik lagi ke kamp, mencari selamat dan perlindungan tentara Jepang. Sementara tentara Jepang juga tidak dapat berbuat banyak.”

Dalam situasi chaos semacam itu, sebagian orang Jepang ikut ambil bagian dalam aksi itu. Pramoedya Ananta Toer dkk. dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid II (1946), menulis bahwa Dinas Penerangan Tentara Belanda mengeluarkan komunike yang berisi uraian tentang orang-orang Jepang di Jawa. Dari 8 April sampai 12 Agustus 1946 telah dibinasakan, dilukakan, atau ditawan 61 perwira dan serdadu Jepang selagi mereka turut ambil bagian dalam aksi-aksi orang-orang Indonesia. Karena itu, tentara Jepang juga memendam dendam pada Belanda, seperti diketahui pada mayat perwira Jepang Tsumura kedapatan sebuah buku catatan. Sebelum ditembak mati, dia membuat catatan: “Besok sejumlah tentara Inggris akan bergerak di bilangan Bandung Utara, akan tetapi kita akan bikin corned beef (daging cincang) dari mereka,” tulis Pram.

Getjintjangd juga terkait dengan tradisi jimat. Kepercayaan terhadap hal-hal supranatural, demi menyerap kekuatan musuh, melekat di setiap lapisan anggota badan perjuangan Republik. “Ada rumor mengenai perdagangan organ tubuh. Berdasarkan laporan Belanda, pemuda-pemudi Cina banyak diculik di Jakarta, dengan cara dibius menggunakan kloroform ketika mereka sedang naik becak. Para korban ini dijual dengan harga antara 500 sampai 1.000 gulden kepada para haji. Kemudian jantung mereka dibagikan kepada para lasykar muda pengikut haji-haji tersebut untuk dimakan demi menambah kekuatan. Sisa dagingnya kemudian dijual di pasar Atom di Harmoni, pusat perdagangan barang-barang gelap di Jakarta,” tulis Cribb.

Akibat aksi getjintjangd, rakyat Indonesia menjadi sasaran balasan pasukan Sekutu. Batalyon X, yang kemudian dilebur ke dalam Depot Speciale Troepen (Depot Prajurit Khusus) pimpinan Raymond “Turk” Westerling, membantai sekitar 40 ribu rakyat Sulawesi Selatan. Aktivitas Batalyon X seringkali terkesan main-main tapi brutal. Anggota batalyon mengendarai truk berkeliling kota seraya menyanyikan lagu-lagu Belanda dan melepaskan tembakan liar. Mereka dengan sukaria memukuli atau membunuh setiap rakyat Indonesia yang menunjukkan atribut Republik Indonesia di tempat-tempat umum.

“Banyak cerita orang Indonesia yang dipaksa menelan lencana bendera Republik yang mereka sematkan di dada. Kalau lencana itu dari kain, mereka hanya sedikit menderita dan sekadar dipermalukan. Namun, jika lencana bendera kecil itu terbuat dari kaleng, maka akan menyebabkan kerusakan saluaran pencernaan,” tulis Cribb.

Korban-korban lain dibawa untuk diinterogasi dan tak pernah kelihatan lagi. Tentara Belanda-Inggris membuat suasana kian mencekam dengan berbagai kasus perampokan dan pembakaran. Tujuannya: menentang kebebasan kaum nasionalis di jalanan dengan melakukan teror. Teror dibalas teror.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Ibu dan Kakek Jenifer Jill Tur di Kawasan Menteng Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pieter Sambo Om Ferdy Sambo