Masuk Daftar
My Getplus

CIA dalam Penyanderaan Konsulat Indonesia

Pendukung Republik Maluku Selatan menduduki Konsulat Indonesia di Amsterdam. CIA membantu polisi untuk membebaskan sandera.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 18 Jan 2020
Penyandera di balkon gedung Konsulat Indonesia di Amsterdam, 18 Desember 1975. (Wikimedia Commons/Arsip Nasional Belanda).

Para pendukung gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) beberapa kali melakukan aksi di Belanda. Aksi pertama pada 31 Agustus 1970, mereka menyerang Wisma Indonesia, kediaman Duta Besar Indonesia, di Wassenaar. Hari itu bertepatan dengan kedatangan istri Mr. Dr. C.R.S. Soumokil, proklamator dan presiden pertama RMS, di Belanda. Dalam kontak senjata, seorang polisi Belanda, Hans Molenaar, mati. Duta Besar Letjen TNI (Purn.) Taswin Natadiningrat berhasil meloloskan diri.

"Dia tiba di Kasteel Oud Wassenaar. Di sana dia mengungkapkan jati dirinya dan minta supaya Menlu Joseph Luns ditelepon untuk mengabarkan nasib yang menimpa Dubes RI. Luns datang, demikian juga PM Piet de Jong," tulis wartawan senior, Rosihan Anwar, dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, Volume 1.  

Lima tahun kemudian, pada 2 Desember 1975, tujuh pemuda RMS membajak kereta api di Wijster, dekat Assen, kota yang dekat dengan kawasan permukiman komunitas Maluku terbesar di Belanda. Pembajakan yang berlangsung 12 hari itu mengakibatkan tiga orang sandera mati. Para pembajak dijatuhi hukuman 14 tahun. Anggota pembajak yang paling fanatik, Eli Hahury, bunuh diri di penjara pada 1978.

Advertising
Advertising

Dua tahun kemudian, 23 Mei 1977, sembilan pemuda RMS kembali membajak kereta di Desa De Punt, Drenthe. Pembajakan selama 19 hari itu mengakibatkan delapan orang mati: dua sandera dan enam pembajak. Tiga pembajak selamat kemudian dihukum enam sampai sembilan tahun penjara.

Baca juga: Pembajakan 19 Hari

Bahkan, pada musim semi 1975, para pemuda RMS nekat menculik Ratu Juliana, namun berhasil digagalkan. Sepuluh orang dalam kendaraan yang membawa senjata api ditangkap. Tujuh belas orang diadili dan dijatuhi hukuman penjara hingga enam tahun.

Mereka melakukan semua aksi itu untuk menuntut pemerintah Belanda mengakui Republik Maluku Selatan sebagai negara merdeka dan berusaha membuat pemerintah Indonesia melakukan hal yang sama.

Sandera yang ditutup matanya ditampilkan di balkon lantai tiga gedung Konsulat Indonesia di Amsterdam, Belanda, 5 Desember 1975. (Repro Research Study CIA, International and Transnational Terrorism: Diagnosis and Prognosis).

Peran CIA

Pada 4 Desember 1975, tujuh pemuda RMS menduduki Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Amsterdam, untuk mendukung pembajakan kereta api di Wijster, dua hari sebelumnya.

Menurut Gordon Kerr dan Phil Clarke dalam Hostages: Dramatic Accounts of Real-Life Events, mereka menyandera 41 orang termasuk 16 anak-anak yang sekolah di gedung itu. Ketika mereka memindahkan tawanan ke lantai atas, beberapa pegawai konsulat berhasil melarikan diri menggunakan tali. Namun, seorang tidak beruntung. Dalam upaya menghindari penangkapan, dia melompat dari jendela namun terjatuh dari ketinggian 30 kaki. Setelah dilarikan ke rumah sakit, lelaki itu meninggal dunia lima hari kemudian.

Dengan menyandera sekitar 60 orang, mereka menyampaikan tuntutan kepada polisi dan pasukan khusus. Mereka meminta pembebasan beberapa tahanan politik RMS dan berharap dapat memulai pembicaraan resmi antara pemimpin RMS Ir. Manusama dan Presiden Soeharto. Menteri Kehakiman Andreas van Agt bersikeras tidak seorang pun dari penyandera akan diberikan jalan yang aman. Bahkan, meskipun mereka telah membebaskan 12 anak, para negosiator menolak untuk mempertimbangkan tuntutan apa pun sampai semua murid sekolah dibebaskan. Mereka pun membawa sejumlah sandera ke balkon lantai tiga, kemudian mengancam akan mendorong sandera jika tuntutan tidak dipenuhi. Syukurlah, mereka tidak melakukannya.

Dalam upaya pembebasan sandera itu, yang tidak banyak diketahui, ternyata ada keterlibatan CIA (Dinas Intelijen Pusat Amerika Serikat).

Baca juga: Agen CIA Merampok Bank Indonesia

Ronald Kessler dalam Inside the CIA mengungkapkan bahwa jauh sebelum mendirikan pusat kontraterorisme pada 1986, CIA telah terlibat dalam memerangi masalah tersebut.

"Misalnya, tujuh teroris [Republik] Maluku Selatan, mempersenjatai diri dengan bahan peledak, karaben, pistol, dan pisau, mengambil alih Konsulat Indonesia di Amsterdam pada 4 Desember 1975," tulis Ronald Kessler. "Menuntut pemerintah Belanda untuk mengakui Republik Maluku Selatan yang tidak eksis di Indonesia, mereka menyandera 21 anak yang sekolah di gedung itu, bersama 15 orang lainnya."

Mereka berjejer di sebuah ruangan dengan bahan peledak. Mereka mengancam akan meledakkan para sandera. Polisi Amsterdam memutuskan hanya akan menyerbu jika ada sandera yang ditembak.

"Sementara itu, dengan persetujuan pemerintah Belanda, CIA mengirim seorang teknisi yang merangkak melalui pipa saluran pembuangan dan masuk ke ruang bawah tanah kedutaan (maksudnya konsulat, red.). Di sana, dia memasang alat pendengar di dinding agar CIA bisa menguping para teroris," tulis Ronald Kessler.

Beberapa hari kemudian, sebuah senjata meledak di dalam konsulat. Polisi pun bersiap akan menyerbu gedung dengan konsekuensi akan banyak sandera terbunuh. Serangan itu tidak jadi karena alat pendengar mengungkap bahwa ledakan itu berasal dari senjata salah satu penyandera yang tidak sengaja menjatuhkannya.

Polisi kembali menunggu para penyandera. Setelah lima belas hari, pada 19 Desember 1975, mereka akhirnya menyerah. Masing-masing diadili dan dijatuhi hukuman enam tahun penjara.

"Karena CIA tahu apa yang terjadi di dalam kedutaan, tidak ada nyawa yang hilang," tulis Ronald Kessler.

TAG

intelijen cia

ARTIKEL TERKAIT

M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado D.I. Pandjaitan dan Aktivis Mahasiswa Indonesia di Jerman Sukarno, Jones, dan Green Sepak Terjang Spion Melayu Adam Malik Sohibnya Bram Tambunan Operasi Monte Carlo, Misi Intelijen Koes Bersaudara Satu-satunya Perempuan Amerika yang Dieksekusi Hitler Bapaknya Indro Warkop Jenderal Intel Ali Moertopo Disebut Pernah Jadi Agen Belanda Secuil Cerita Jenaka dari Cianjur Semasa Pendudukan Saudara Tua