Cerita itu terbuhul dalam buku Soekarno: Biografi 1901—1950 karya Lambert Giebels, penulis sejarah asal Belanda. Alkisah, pada 19 Desember 1948, para serdadu Belanda mulai merangsek Yogyakarta. Terjadilah tembak menembak antara mereka dengan para tentara Indonesia di dalam kota. Sementara pesawat-pesawat tempur Belanda tak henti-hentinya menghujani ibu kota Republik Indonesia itu dengan peluru.
Di tengah kekacauan itu, tetiba seorang bule mendekati para penyerbu. Dalam mimik marah, dia melancarkan protes keras kepada Letnan J.A. Bakker seorang perwira Belanda dari Tijger Brigade. Alih-alih ditanggapi, Bakker menghardik lelaki muda itu untuk tutup mulut dan “menjadi anak yang manis” saja.
“Anak muda Amerika yang tak tahu sopan santun itu bernama George Caheyn,” ungkap Bakker dalam sebuah surat panjang kepada keluarganya.
Baca juga: Kisah Menegangkan Kala Yogyakarta Diserang Belanda
Menurut Lambert, bisa dipastikan orang yang dibahas Bakker itu tak lain adalah Goerge Mc Turnan Kahin, mahasiswa ilmu politik sejarah Universitas Cornell, Amerika Serikat (AS) yang tengah melakukan penelitian di Indonesia. Guna memudahkan akses, Kahin saat itu merangkap pula sebagai seorang jurnalis untuk Overseas News Agency (media massa di AS).
Ketika militer Belanda menginvasi Yogyakarta, lelaki kelahiran Baltimore pada 25 Januari 1918 itu sudah hampir setengah tahun berada di sana. Pemerintah RI menempatkannya di sebuah penginapan kecil berisi tiga tempat tidur yang berada di wilayah Terban Taman.
Kahin masih ingat Indonesia yang dia datangi saat itu merupakan Indonesia yang tidak lagi utuh. Sebagian besar wilayahnya ada dalam kekuasaan Belanda, baik secara politik maupun militer. Sementara bagian lain Indonesia yang juga tak kalah luas ada dalam penguasaan para pejuang republik.
“Kedua-duanya berada di bawah kepemimpinan yang masing-masing mempunyai agenda perubahan yang berbeda,” ungkap Kahin dalam Southeast Asia: A Testament.
Selama di Yogyakarta, Kahin bergaul akrab dengan orang-orang republik dan orang asing yang pro republik seperti John Coast, anggota Partai Sosial Demokrat Inggris yang menjadi wakil Kementerian Luar Negeri Inggris di Indonesia. Sedangkan di kalangan republik, ada dua nama yang kerap dia sebut: Haji Agus Salim dan Suripno, seorang komunis yang baru saja pulang dari Praha, Cekoslovakia. Mereka adalah teman diskusi yang baik buat Kahin.
Baca juga: Haji Agus Salim, Diplomat yang Melarat
*
Pagi baru saja menyeruak di kota Yogyakarta. Para pedagang mulai menjajakan dagangannya di Pasar Beringharjo, ketika suara pesawat tempur mengguntur di atas langit Yogyakarta. Tak ada kepanikan. Pihak TNI beberapa hari sebelumnya memang sudah mengumumkan bahwa mereka akan mengadakan latihan yang juga melibatkan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
“Orang-orang malah merasa kagum dan bangga dengan pesawat tempur yang dikira milik AURI itu,” kenang Sukotjo Tjokroatmodjo, salah seorang mantan anggota pasukan pengawal Presiden Sukarno.
Sementara itu di kawasan Terban Taman, Kahin masih berada di dalam penginapan ketika dia mendengar suara gemuruh pesawat tempur. Sebagai mantan sersan di Angkatan Laut Amerika Serikat, nalurinya mengatakan bahwa akan ada sesuatu hal yang buruk dilakukan Belanda pagi itu.
Benar saja. Belum dia memutuskan untuk keluar, tetiba serentetan tembakan dari senjata otomatis menghantam bagian depan penginapan. Barulah orang-orang mulai sadar bahwa militer Belanda sedang melakukan serangan. Menyadari semua itu, Kahin sendiri diam-diam merasa geram. Mengapa Belanda melakukan itu semua, sementara mereka tengah terikat dalam kesepakatan damai dengan pihak RI? Demikian pikir Kahin.
Baca juga: Berjudi di Atas Renville
Bisa jadi karena rasa geram itu pula yang menyebabkan Kahin tak kuat menahan rasa marah. Dia kemudian langsung “menyerbu” sepasukan militer Belanda pimpinan Letnan Bakker dan Kapten A.V. Vosveld saat mereka tengah bergerak menuju rumah Haji Agus Salim yang terletak persis di sebelah penginapan Kahin.
Saat melakukan protes itulah, Kahin dihadapi oleh Bakker. Mereka lantas terlibat dalam perdebatan yang agak panas seperti dikisahkan oleh Lambert Giebels. Alih-alih mengindahkan protes Kahin, tentara Belanda malah menangkap lelaki Amerika itu bersamaan dengan penangkapan Haji Agus Salim.
“Bisa jadi mereka juga menangkap saya karena tulisan-tulisan saya sebelumnya yang banyak mengecam tindakan Belanda di Indonesia,”ungkap Kahin dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim.
Baca juga: Pertempuran Dua Jurnalis Perang
Namun jika para tawanan penting republik dilarikan dan ditahan di Istana Presiden dekat Stasiun Tugu, maka tidak demikian perlakuan militer Belanda terhadap Kahin. Setelah ditahan di markas Belanda beberapa jam, Kahin kemudian diterbangkan ke Batavia
“Tindakan tersebut sengaja dilakukan oleh penguasa militer Belanda, untuk mencegah orang luar menjadi saksi mata, atas apa yang sedang mereka lakukan di Yogya,” tulis Julius Pour dalam Doorstoot Naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer.
Hampir sebulan kemudian, Kahin kembali ke Yogyakarta. Dia diizinkan kembali oleh Regeerings Voorlchtings Dienst (Dinas Rahasia Tentara Kerajaan) untuk melakukan peliputan di sana.