YOGA Sugomo bersama Ali Moertopo berhasil menggalang dukungan untuk menjadikan Soeharto panglima Teritorium IV Diponegoro. Sejak itu, Yoga dan Ali menjadi pendukung utama Soeharto sehingga dikenal trio Soeharto-Yoga Sugomo-Ali Moertopo.
Hubungan mereka lebih dari atasan-bawahan, melainkan sudah seperti saudara (sedulur sinorowedi). Yoga dan Ali pun selalu ngeman dan pasang badan demi Soeharto. Ngeman merupakan perasaan simpati terhadap orang lain, tidak rela orang itu mengalami musibah, menderita atau tersakiti. Orang yang ngeman akan berusaha menjaga dan mencegah hal itu terjadi.
Dalam rangka ngeman itu, Yoga dan Ali merasa khawatir dengan masa jabatan Soeharto yang akan mencapai 16 tahun pada 1983. Mereka menilai terlalu lama menjabat dapat menimbulkan perasaan jenuh atau sikap keakuan yang berlebihan.
Yoga dan Ali pun mencoba mengingatkan Soeharto dengan “cara Jawa” yaitu “memangkunya” sebagai tokoh senior dan bapak bangsa.
Baca juga: Cerita Yoga tentang Pertemuan Soeharto dan Dewi Sukarno
“Cara Jawa memangku Pak Harto itu adalah dengan menggulirkan pemberian gelar Bapak Pembangunan sebagai puncak prestasi, pengabdian dan sekaligus penghargaan rakyat. Tentu saja ini adalah operasi yang sangat-sangat rahasia dan peka karena menyangkut masalah perasaan yang berkelindan dengan kekuasaan,” ungkap B. Wiwoho dan Banjar Chaeruddin dalam edisi revisi biografi resmi Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, yang terbit tahun ini. Buku ini terbit pertama kali pada 1990. Soeharto melarang cetakan ketiganya terbit.
Soeharto malah senang dengan gelar itu dan kembali menjadi presiden periode 1983-1988. Cara Jawa gagal, Yoga memberanikan diri menyampaikan maksudnya secara terbuka kepada Soeharto.
Dalam pertemuan rutin mingguan pada Mei 1985, Yoga menyampaikan pandangannya bahwa Soeharto akan berusia 67 tahun pada Pemilu 1988 dan sudah menjadi kepala negara selama 22 tahun, dikhawatirkan sampai pada tahap jenuh dan lelah.
Menurut Yoga, periode kepemimpinan 1983-1988 merupakan puncak kepemimpinan Soeharto. Setelah itu dikhawatirkan akan melemah.
Baca juga: Yoga Sugomo, Kepala Intelijen Kehilangan Dokumen
Yoga juga menyinggung bisnis keluarga dan anak-anak Soeharto yang terus membesar bisa menimbulkan kecemburuan sosial dan sasaran tembak.
Terakhir, menurut Yoga, sumber dan jaringan serta rekrutmen Soeharto secara alamiah semakin menyempit disebabkan kesenjangan generasi.
“Berdasarkan analisis tersebut, Yoga menyarankan agar Pak Harto dengan jiwa besar, legowo lengser keprabon dan tidak maju lagi dalam masa jabatan berikutnya pada 1988. Pak Harto dimohon mempersiapkan kader peralihan generasi ‘45. Siapa pun kader yang ditunjuk, Yoga akan mengamankan dan mendukungnya,” tulis Wiwoho dan Banjar.
Baca juga: Ternyata Soeharto Pernah Menolak Jadi Pejabat Presiden
Soeharto tidak menanggapi saran Yoga itu. Mensesneg Soedharmono dan Panglima ABRI Jenderal TNI Benny Moerdani menolaknya. Terjadilah perdebatan yang menegangkan. Sementara Soeharto lebih banyak diam dan tidak mengambil sikap. Ibu Tien Soeharto yang diam-diam mengamati kemudian melintas di ruang pertemuan seraya memberi isyarat cenderung mendukung usul Yoga.
Peristiwa pertemuan malam itu menyakitkan hati Yoga. Dia memutuskan tidak akan menghadap Soeharto jika tak dipanggil. Pertemuan rutin setiap Jumat malam sejak 1974 itu berakhir. Padahal, pertemuan itu digunakan presiden dan pembantu terdekatnya untuk mengevaluasi keadaan. Mereka mengolah informasi-informasi penting serta membuat perkiraan keadaan ke depan berikut langkah-langkah mengantisipasinya.
“Yoga kesal dan prihatin atas sikap Pak Harto dan dua sejawatnya tadi,” tulis Wiwoho dan Banjar. Yoga berusaha menenangkan diri dengan memperpanjang kunjungannya ke Jepang menyertai delegasi Persatuan Alumni Mahasiswa Indonesia di Jepang pertengahan Juni 1985.
Baca juga: Soeharto: Mau Ganti Presiden? Jangan Ngotot
Semenjak itu, hubungan Yoga dengan Soeharto dan Benny menjadi dingin. Meskipun demikian, Soeharto tetap mempercayai dan mempertahankannya sampai dia sendiri mengundurkan diri sebagai kepala Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) pada Juni 1989. Dia pensiun sebagai jenderal bintang empat.
“Sejak itu berakhirlah kerja sama sedulur sinorowedi. Di hari-hari terakhir masa jabatannya, dia menyelami hakikat dirinya sebagai wayang yang dikendalikan Sang Dalang Yang Maha Agung,” tulis Wiwoho dan Banjar.
Sementara itu, Soeharto tak terhentikan. Dia terus menjadi presiden selama 32 tahun hingga gerakan Reformasi melengserkannya.