Beberapa hari belakangan beredar foto spanduk penolakan merumat jenazah yang mendukung penista agama semasa hidupnya. Spanduk tersebut terpasang di beberapa masjid dan agaknya merujuk kepada kontestasi Pilkada DKI Jakarta putaran kedua yang bakal berlangsung pada April mendatang. Sebelumnya beredar pula surat imbauan larangan merumat jenazah pendukung penista agama yang kemudian dinyatakan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Sjaifuddin sebagai kabar bohong (hoax).
Ihwal jenazah yang tak dirumat karena urusan politik bukan kabar baru di negeri ini. Persoalan itu terungkap ketika Presiden Sukarno berpidato di hadapan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Istana Bogor, 18 Desember 1965. Dalam kesempatan itu pula Bung Karno mengecam keras pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah setelah peristiwa G30S terjadi di Jakarta.
“Banyak kejadian-kejadian yang sebenarnya datang dari apa? Dari tidak mengetahui ajaran Islam,” ujar Sukarno di hadapan HMI, termasuk beberapa pemuka agama seperti Kiai Aminuddin Aziz dan Kiai Muhammad Iljas.
“Misalnya ya, misalnya di Jawa Timur. Demikian dilaporkan oleh gubernur Jawa Timur, oleh Panglima Jawa Timur, dan juga dari pengetahuan info-info kami sendiri, di Jawa Timur dan Jawa Tengah itu banyak sekali Pemuda Rakyat atau anggota PKI atau orang yang hanya bersimpati kepada PKI dibunuh, disembelih atau ditikam atau dipentungi, dikepruki sampai pecah kepalanya,” kata Presiden Sukarno.
Bukan hanya laporan resmi yang disampaikan para pejabat daerah kepada Presiden Sukarno, Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa angkatan 1966 pun menyaksikan kekejian itu ketika dia berkunjung ke Purwodadi dan Bali. Di dua tempat itu dia mencatat banyak penyembelihan massal terjadi.
“Tentang nasib tahanan 65, saya juga sedang dihantui oleh problem lain. Yaitu sejumlah akibat dari pembunuhan massal di Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta Bali terdahulu. Jumlah yang dibunuh atas nama Pancasila kira-kira 300 ribu,” kata dia seperti juga dikutip oleh Robert Cribb dalam The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966.
Hal lain yang membuat Presiden Sukarno geram saat menerima informasi bahwa mayat-mayat korban pembunuhan yang dibiarkan tergeletak karena ada ancaman kepada siapapun yang hendak merumatnya. “Jenazah ini kalau ada orang yang mau ngerumat, ngerumat itu bahasa Jawa Timur. Apa itu ngerumat, mengurus, ngerumat jenazah ini, awas, engkau pun akan kami bunuh,” ujarnya mengecam.
“Orang yang berbuat begini, membunuh kemudian mayatnya diklelerkan (digeletakkan, red), sebetulnya menentang fardu kifayah Islam,” kata Sukarno. Memang Sukarno mengakui bahwa tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk merumat jenazah mereka yang non muslim. Namun, Sukarno mengimbau agar rakyat Indonesia mengedepankan solidaritas kemanusiaan.
“Saya tidak telaah lagi orang yang dibunuh ini orang yang tidak beragama atau beragama dan saya tidak telaah lagi orang yang dibunuh ini munafik atau tidak. Orang yang tidak beragama Islam kalau mati tidak boleh dikubur di kuburan Islam itu memang benar. Itu saya tahu... Nah tapi sekarang ini, kalau tidak boleh dikubur di kuburan Islam, itu tidak berarti bahwa Islam memerintahkan atau melarang manusia ngerumat jenazah. Kalau ada jenazah sampai ada dimakan anjing karena diklelerkan di bawah pohon, engkau, aku, ikut bertanggungjawab!” kata Presiden Sukarno tegas.
Kini, 52 tahun setelah pidato Sukarno berlalu, ancaman tak menyalatkan jenazah kembali terjadi.