Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada enam tokoh pada Kamis, 8 November 2018. Salah satu tokoh tersebut bernama Kasman Singodimedjo. Pemerintah menilai Kasman telah berjasa dan berkorban demi kepentingan bangsa dan negara.
Kasman lahir di Purworejo, Jawa Tengah, pada 25 Februari 1904. Dia anak pertama dari tujuh bersaudara. Tiga meninggal sejak kecil, empat mampu bertahan hidup hingga dewasa. Ayahnya berlatar belakang pegawai negeri dan sempat berdinas di Bali serta Lampung Tengah, lalu memutuskan hidup sebagai modin desa (petugas agama). Ibu Kasman seorang perempuan desa biasa dan buta huruf latin.
Kasman pernah memperoleh pendidikan dasar di sekolah Kristen swasta di Batavia bersama seorang adik perempuannya. Adiknya lebih dulu masuk ke sana dan berada di tingkat ketiga, sedangkan Kasman masih berada di tingkat pertama. Kasman mengikuti ujian khusus untuk berada di tingkat yang sama dengan adiknya. Dia melewati ujian itu, tetapi tetap merasa malu.
“Oleh karena itu setelah saya pikirkan secara mendalam, saya mengambil keputusan untuk pindah ke Purworejo,” kata Kasman dalam Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun. Setelah itu, dia bersekolah di Kutoarjo dan Magelang. Dia menumpang tinggal pada satu keluarga. Sebagai gantinya, dia mengerjakan beberapa hal untuk keluarga tersebut. Dari mencuci pakaian, membersihkan peralatan makan, sampai mengepel lantai.
Aktif di Organisasi Pemuda
Kasman kembali ke Batavia pada 1924. Dia melanjutkan sekolah di STOVIA, tapi tidak sampai selesai. Pada masa inilah dia mulai terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dia menjadi pengurus Jong Islamieten Bond (JIB), organisasi pemuda berasas Islam yang menyandarkan referensi gagasannya pada Haji Agus Salim.
Baca juga: Asal usul nama Haji Agus Salim
Kasman turut mengambil peran dalam penerbitan media cetak organisasinya, Het Licht. Het Licht edisi Desember 1925 memuat beberapa tujuan pendirian JIB. Antara lain mempererat hubungan golongan terpelajar dengan rakyat; menumbuhkan rasa kebersamaan antara golongan intelektual dari berbagai suku bangsa; dan menumbuhkan rasa simpati terhadap agama Islam dan toleransi pada pemeluk agama lain. JIB turut serta dalam Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda 1928.
Seusai berkhidmat di JIB, Kasman melanjutkan Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Kali ini dia berhasil menyelesaikan sekolahnya dan menggondol gelar Meester in de Rechten (Mr.). Dia juga mulai bergerak bersama Muhammadiyah pada 1935. Dia pernah memperoleh pengajaran langsung dari pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan pada 1920-an.
Baca juga: Kisah persahabatan Haji Rasul dengan KH Ahmad Dahlan
Sosok Kasman mulai menyita perhatian khalayak pada 1940. Kasman sempat berucap “Untuk Indonesia Merdeka!” dalam sebuah rapat Muhammadiyah di Bogor, Jawa Barat.
Ucapan Kasman terdengar oleh polisi rahasia Belanda (Politiek Inlichtingen Dienst/PID). Dia diciduk dan didakwa bersalah. Hukumannya empat bulan penjara. Namanya muncul di sejumlah media cetak seperti Pemandangan, Pandji Islam, Adil, dan Berita NU.
“Nama Kasman tiba-tiba muncul menjadi buah pembicaraan di kalangan kaum pergerakan baik yang berasas nasionalisme maupun Islam,” kata Saifuddin Zuhri, mantan Sekjen Nahdlatul Ulama, dalam Hidup Itu Berjuang. Tapi namanya kemudian hilang beberapa lama hingga masa pendudukan Jepang. Namanya mengemuka lagi ketika dia diangkat oleh Jepang sebagai daidanco atau komandan batalion pasukan Pembela Tanah Air (PETA), jabatan tertinggi untuk orang Indonesia di PETA.
Baca juga: Cerita dari museum PETA
Kasman sebenarnya tak berkenan masuk PETA. Hatinya menolak segala macam bentuk penjajahan. Dia berupaya merekayasa kondisi fisiknya supaya tidak lulus tes kesehatan.
“Selama beberapa hari saya mengurangi tidur, sehingga badan saya tampak lesu, muka pucat dan mata menjadi kemerah-merahan. Saya juga berusaha agar air kencing saya menjadi kuning,” kenang Kasman. Tapi hasil pemeriksaan kesehatan menyatakan Kasman sehat dan layak menjadi daidanco Jakarta.
Masuk PETA ternyata memperluas jaringan dan pengetahuan Kasman. Dia makin tahu watak asli Jepang dan penderitaan rakyat akibat pendudukan Jepang.
Ketika pemimpin militer Jepang di Indonesia meminta seluruh anggota PETA untuk menyerahkan senjatanya, Kasman menolak perintah tersebut. Dia mengajak daidanco lainnya melakukan hal serupa dalam pertemuan para daidanco di Bandung. Sebagian daidanco mengiyakan ajakannya, lainnya menolak. Hal ini terjadi ketika Jepang berada di ujung kekalahan, pada 16 Agustus 1945.
Sehari setelah pertemuan para daidanco, Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kasman masih di Bandung. Malam hari pukul 19.30, dia bergerak menuju Jakarta. “Kasman Singodimedjo dipanggil oleh Proklamator Bung Karno itu, diangkat menjadi anggota tambahan dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia,” ungkap tim penulis buku Hidup itu Berjuang.
Peran di PPKI
Di PPKI, Kasman berperan meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo, ketua umum Muhammadiyah sekaligus anggota PPKI, untuk melepas tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang mewajibkan pemeluk Islam menjalankan syariat Islam. Tujuh kata itu diajukan oleh kelompok Islam dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Kasman melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh KH. Wahid Hasyim dan Bung Hatta terhadap Ki Bagus. Dia berbicara dengan Ki Bagus dalam bahasa Jawa halus dan memintanya mengalah sementara selama enam bulan.
Kasman meyakinkan Ki Bagus bahwa kelompok Islam akan memperoleh kembali tujuh kata itu melalui sidang parlemen (Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR) enam bulan mendatang, seperti apa yang diamanatkan oleh UUD 1945. Ki Bagus pun luluh dan bersedia menghapus tujuh kata itu.
Baca juga: Ki Bagus Hadikusumo dalam Toedjoeh Kata
Setelah rapat-rapat PPKI berakhir, Kasman sempat merangkap ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), lembaga parlemen sementara.
Kasman melepas jabatan Ketua BKR pada 5 Oktober 1945 ketika BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kasman pun tak terlalu lama memegang jabatan ketua KNIP. Sutan Sjahrir menggantikannya pada 16 Oktober 1945 ketika sistem pemerintahan Indonesia berubah dari presidensil ke parlementer.
Kasman menempati posisi baru sebagai Jaksa Agung. Dia meletakkan dasar-dasar administrasi dan personalia untuk lembaga Kejaksaan Agung.
Menghormati Sukarno
Memasuki dekade 1950-an, Kasman bergabung dan aktif dalam Partai Masyumi. Dia menjadi anggota Konstituante wakil Masyumi. Melalui sidang-sidang Konstituante bersama anggota Masyumi lainnya, dia berupaya memasukkan semangat Piagam Jakarta sebagai jiwa UUD yang baru dan menggolkan Islam sebagai dasar negara. Masa-masa ini mencatatkan pula konflik Masyumi dan Presiden Sukarno.
Kasman dan Masyumi gagal mengembalikan gagasan Piagam Jakarta. Konstituante juga tidak pernah mencapai kesepakatan tentang dasar negara.
Nasib nahas menimpa Masyumi pada akhir dekade 1950-an. Anggotanya terlibat dalam PRRI/Permesta sehingga memperuncing konflik mereka dengan Sukarno. Masyumi menjadi partai terlarang pada awal 1960-an dan Kasman kemudian ditangkap pada November 1963 atas tuduhan upaya membunuh Presiden.
Mohammad Roem dalam Bunga Rampai Dari Sedjarah 3 menyebut tuduhan itu tak pernah terbukti. Tapi Kasman tetap dipenjara hingga 1966, ketika kekuasaaan Sukarno melemah.
Baca juga: Empat Sekawan dalam upaya pembunuhan Sukarno
Bebas dari penjara tak membuat Kasman dendam pada Sukarno. Sekeras apapun pertentangannya dengan Sukarno pada 1950-an, Kasman tetap menghargai Sukarno sebagai pemimpin besar dan sesama manusia. Dia turut mengantar kepergian Sukarno ke peristirahatan terakhirnya di Blitar pada Juni 1970. Demikian kesaksian almarhum A.M. Fatwa, mantan sekretaris pribadi Kasman, dalam Hidup itu Berjuang.
Kasman wafat di Jakarta pada 25 Oktober 1982 dalam usia 78 tahun. Roem bilang Kasman ibarat buku terbuka. Masih bisa dibaca dan dipelajari oleh siapapun.