Masuk Daftar
My Getplus

Bintang Mahaputera untuk D.N. Aidit

D.N. Aidit mendapat Bintang Mahaputera. Setelah peristiwa G30S, penghargaan itu dicabut.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 11 Agt 2020
Presiden Sukarno menyematkan Bintang Mahaputera Kelas III kepada D.N. Aidit, ketua CC PKI, di Istana Merdeka, Jakarta, 13 September 1965. (Koleksi Idayu).

Melalui akun twitter-nya (10/8), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Moh. Mahfud MD mengumumkan bahwa dalam rangka HUT ke-75 Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo akan memberikan bintang tanda jasa kepada beberapa tokoh dalam berbagai bidang. Di antaranya Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang akan mendapat Bintang Mahaputera Nararya.

Beragam tanggapan bermunculan, di antaranya mempertanyakan apa jasa Fahri Hamzah dan Fadli Zon sehingga mendapat penghargaan Bintang Mahaputera. Terlebih, kedua politikus itu kerap melontarkan kritik kepada pemerintah.

Mahfud menjelaskan bahwa pemberian Bintang Mahaputera kepada Fadli Zon dan Fahri Hamzah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Mantan ketua/wakil ketua lembaga negara, mantan menteri dan yang setingkat, mendapat bintang jasa seperti itu jika selesai tugas dalam satu periode jabatan.

Advertising
Advertising

Fahri Hamzah yang kini menjadi pegurus Partai Gelora menjabat Wakil Ketua DPR RI (2014–2019) dari PKS. Fadli Zon juga menjabat Wakil Ketua DPRI RI (2014–2019) dari Partai Gerindra.

Baca juga: Cerita di Balik MD pada Mahfud

"Bahkan (sebelum ada masalah hukum) mantan pejabat seperti Irman Gusman, Suryadharma Ali, Jero Wacik, dll. sudah dianugerahi bintang tersebut. Pemerintah tidak boleh tidak memberikan tanpa alasan hukum. Jika bintang jasa tidak diberikan terhadap orang kritis berarti pemerintah mempolitisasi hak orang secara unfair," kata Mahfud.

Selain Fahri Hamzah dan Fadli Zon, Mahfud menyebut ada banyak yang mendapat Bintang Mahaputera antara lain Hatta Ali, Faruk Mohammad, Suhardi Alius, dll. Ada juga bintang jasa kepada 22 tenaga medis yang gugur karena menangani Covid-19; Bintang Pelopor, Penegak Demokrasi, dll. Bulan November bisa ada gelar Pahlawan Nasional. Semua ada UU-nya.

Baca juga: Pro-Kontra Gelar Pahlawan Nasional

Pemerintah mulai memberikan penghargaan Bintang Mahaputera pada 1959 dengan dikeluarkannya UU Darurat No. 6 Tahun 1959 tentang Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera. Kemudian pada masa Orde Baru diatur lagi dalam UU No. 4 Tahun 1972.

Bintang Mahaputera merupakan bintang sipil tertinggi setelah Bintang Republik Indonesia. Diberikan kepada mereka yang berjasa luar biasa terhadap nusa dan bangsa dalam bidang tertentu di luar bidang militer. Penganugerahannya bertepatan dengan peringatan HUT kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus.

Menurut peraturan, penghargaan ini diberikan atas usulan dari perorangan, organisasi kemasyarakatan, dan instansi pemerintah, serta penunjukan dari presiden atau wakil presiden. Semua usulan dibahas dalam sidang Dewan Tanda Kehormatan Republik Indonesia. Hasilnya menjadi bahan pertimbangan presiden dalam penganugerahan tanda kehormatan.

Baca juga: Sultan Hamid II dan Polemik Gelar Pahlawan Nasional

Bintang Mahaputera terdiri atas lima kelas: Adipurna (Kelas I), Adipradana (Kelas II), Utama (Kelas III), Pratama (Kelas IV), dan Nararya (Kelas V).

Kelas I milik presiden karena presiden adalah pemilik pertama semua jenis bintang Kelas I. Sedangkan Kelas II untuk wakil presiden yang diberikan oleh presiden dalam sidang pleno DPR sesaat setelah wakil presiden mengangkat sumpah.

Sementara itu, Bintang Mahaputera Kelas III sampai V diberikan kepada warga negara bahkan warga negara asing yang berjasa luar biasa pada Indonesia.

D.N. Aidit (kanan) dan Mayjen TNI Wilujo Puspujodo (kiri) bersama Presiden Sukarno setelah penganugerahan Bintang Mahaputera Kelas III di Istana Merdeka, Jakarta, 13 September 1965. (Perpusnas RI).

Pemilik Bintang Mahaputera berhak atas pemakaman dengan biaya negara (Pasal 6). Pemilik bintang Kelas IV dan V dapat diberi uang hadiah tiap bulan selama hidup yang besarnya lebih lanjut ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 7).

Menurut Pasal 5, Bintang Mahaputera bisa dicabut apabila pemiliknya tidak memenuhi lagi syarat umum dalam Pasal 7 ayat 2 UU Darurat No. 4 Tahun 1959 tentang Ketentuan-ketentuan Umum Mengenai Tanda-tanda Kehormatan; yaitu berakhlak dan berbudi pekerti baik, serta tidak pernah dihukum penjara lebih dari satu tahun karena melakukan kejahatan.

Pencabutan Bintang Mahaputera pernah terjadi pada D.N. Aidit, ketua CC PKI.

Aidit menerima Bintang Mahaputera Kelas III dari Presiden Sukarno pada 13 September 1965. Penghargaan itu diberikan karena Aidit adalah pejabat negara yang menjabat Menteri Koordinator dan Wakil Ketua MPRS.

Menurut Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, & Petualang, penghargaan tersebut dilandasi pertimbangan sangat mengejutkan, "...atas kepahlawanan berikut teladan yang telah dia berikan dalam political leadership".

Sementara itu, A.G. Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum, menyebut bahwa dalam upacara kenegaraan penganugerahan, Sukarno menyebut Aidit "pahlawan teladan terutama dalam menjalankan politik Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis, red.) dan yang telah menunjukkan kesetiaan yang mendalam dan jasa-jasa yang luar biasa kepada bangsa dan negara".

Baca juga: Drama Penangkapan D.N. Aidit

Jenderal TNI A.H. Nasution hadir dalam upacara penganugerahan itu. Menurut Julius Pour, Nasution mencatat "selesai upacara, Aidit datang kepada saya sambil menanyakan, manakah dari sederet pita tanda jasa di dada Jenderal, mengenai operasi militer dalam Peristiwa Madiun tahun 1948? Tentu saja langsung saja tunjukkan. Sesudah itu, dia menggandeng saya dan meminta para wartawan mengambil gambar kami."

Tak lama kemudian terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965. PKI disebut dalang peristiwa berdarah itu. Aidit menjadi buronan. Dia ditangkap di Solo pada 22 November 1965 kemudian dieksekusi mati di daerah Boyolali.

Bintang Mahaputera Kelas III dicabut dari Aidit dengan TAP MPRS No. XXX/MPRS/1966. Sementara itu, PKI dilarang dengan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966.

TAG

dn aidit

ARTIKEL TERKAIT

Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971 Melawan Sumber Bermasalah Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda Kibuli Raden Paku