SEHABIS makan siang bersama Duta Besar AS Howard Jones di Cipanas, Sukarno memanggil Mangil Martowidjojo, komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP), dan bertanya: “Anak-anak ada atau tidak?”
Anggota DKP segera menyanyi sambil memukul-mukul apa saja yang penting bersuara dan berirama. Sukarno dan Hartini, Howard Jones dan istrinya, serta anggota staf kedutaan menari lenso. Tanpa alat-alat musik, tari lenso berlangsung meriah.
Baca juga:
Senandung Lenso ala Bung Karno
Setelah acara selesai, alat-alat dapur yang dipukuli semuanya penyok. “Wah, bagaimana ini nanti, Pak. Sebab alat-alat dapur ini saya pinjam dari tetangga sebelah,” kata pelayan dapur.
“Beres, nanti diganti,” kata Mangil dalam memoarnya Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967. Mulai saat itu, setiap ada pengawalan, Mangil selalu membawa kendang agar tak lagi merusak alat dapur.
Mangil menyadari Sukarno senang menari lenso. Maka, dia membentuk sebuah band untuk melayani Bung Karno dalam acara santai, setelah acara resmi. Band ini dipimpin Iskandar Winata, pernah menjabat mayor polisi di bagian urusan kepegawaian Markas Besar Kepolisian. Awalnya, peralatan band buatan dalam negeri. Semua lagu kesukaan Sukarno dipelajari dengan baik. Pada kesempatan mendampingi Sukarno ke luar negeri, secara bertahap, Mangil membeli alat-alat band. Hanya drum yang diberi pengusaha Hasjim Ning.
“Mereka tahu aku memerlukan hiburan, jadi ada satu korps khusus yang bisa menyanyi, menari, dan merangkap pemain musik pada setiap pertemuan,” kata Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.
Menurut Mangil, Sukarno senang dengan band ini karena tak pernah cocok dengan beberapa band yang pernah datang ke Istana. Band ini khusus menghibur Sukarno, kecuali kalau ada anggota pengawal yang memerlukannya untuk acara perkawinan dan lain-lain. Iskandar Winata memberikan nama band ini: ABS, Asal Bapak Senang.
Dalam Sewindu Dekat Bung Karno, Bambang Widjanarko, ajudan presiden, menyebut betapa bosan mereka dan sebagian yang hadir karena dua sampai tiga jam nonstop membawakan satu irama: cha-cha. Beberapa kali mereka coba mengubah irama, yang masih cocok untuk mengiringi Sukarno. Namun Sukarno selalu membentak tak setuju dan memerintahkan kembali ke irama semula. Begitulah, mereka tak pernah lagi berusaha mengubah irama atau suasana berlenso Sukarno. “Sejak itu lahirlah istilah Asal Bapak Senang atau ABS,” kata Bambang.
Suatu ketika, usai pertemuan Sukarno dengan ratusan mahasiswa, acara resmi beralih ke acara ramah-tamah. Sukarno memberi isyarat agar band mulai beraksi.
“Ayo ABS bersiap, kita segera mulai,” kata Bambang.
“Mbang, apa itu ABS?” tanya Sukarno.
“O, itu hanya nama band-nya Pak Mangil, Pak.”
Sukarno tak lagi menanyakan singkatan ABS. Mungkin juga sampai wafatnya Sukarno tak mengetahuinya. Sebaliknya, Sukarno memberi nama band itu Brul Apen. Arti harfiahnya, monyet-monyet yang terus mengerang dan cecowetan tiada henti.
Dalam sebuah lawatan Sukarno ke Roma, ABS ikut serta. Wakil Komandan Tjakrabirawa, Maulwi Saelan masih ingat, di sebuah restoran ABS memukul meja dan apa saja untuk menyajikan musik yang disukai Sukarno. ABS pula yang “menguasai” acara sewaktu orang kaya terpandang menjamu Sukarno. Setelah ramah tamah, minum bersama, dan jamuan makan malam, semua hadirin diajak ke ballroom, di mana sekelompok musisi telah menanti.
Baca juga:
Kisah Seorang Pengawal Sukarno
Maulwi Saelan: Sukarno Tak Terlibat G30S
Maulwi Saelan yang Saya Kenal
Sebagai pembuka terdengar lagu berirama waltz. Pasangan-pasangan mulai berdansa. Sukarno tetap duduk dan berbincang dengan tuan rumah. Bambang yang berada di belakang Sukarno tersenyum dalam hati. “Kali ini Bung Karno kena batunya, terpaksa hanya dapat melihat orang berdansa,” pikir Bambang.
Setelah lagu pertama selesai, Sukarno segera memerintahkan para pengawalnya mengambil-alih alat musik dan memainkan cha-cha. “Maka di ballroom pinggir kota Roma itu segera terdengar permainan dan nyanyian kelompok ABS mengiringi Soekarno dan tamu lain berlenso,” kata Bambang. “Sampai seluruh acara selesai, musisi Italia tadi hanya memainkan irama waltz pertama, dan kami seniman seadanya –Die Brul Apen van BK– mengisi acara santai sampai bubar.”
Mangil menegaskan, ABS betul-betul tidak berbau politik atau mempunyai tujuan lain. “Mulai tahun 1966,” kata Mangil, “kata-kata ABS yang tertulis di surat-surat kabar sudah lain artinya, sudah berbau politik.”