Masuk Daftar
My Getplus

Ammana Gappa Mengatur Pelayaran

Pelaut Sulawesi Selatan punya hukum pelayaran sendiri. Dibuat oleh seorang kepala komunitas pada abad ke-17.

Oleh: Petrik Matanasi | 06 Des 2023
Para bocah yang ditugaskan menyambut rombongan Muhibah Jalur Rempah 2023 di Festival Budaya Maritim Selayar 2023. Selayar dan juga wilayah lain di Sulsel terkenal akan budaya maritimnya, hingga memiliki aturan pelayaran sendiri, Undang-undang Amanna Gappa. (Petrik/Historia)

Daerah Wajo termasuk daerah hunian etnis Bugis yang –dikenal sebagai bangsa pelaut– memiliki pesisir. Seperti Kerajaan Bone, Kerajaan Wajo termasuk kerajaan di Sulawesi Selatan yang menanamkan pengaruhnya hingga ke luar Sulawesi. Pengaruh Wajo salah satunya ada di Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur.

“Di Kota Pasir, yang terletak di tepi Sungai Kendilo, sekitar 45 mil dari pantai, terdapat pula permukiman orang Bugis. Thomas Forrest, yang mengunjungi kota ini pada 1772, mengatakan, Kota Pasir merupakan ‘tempat perdagangan besar’ dengan sekitar 300 rumah; kebanyakan didiami oleh pedagang Bugis dan penduduk Kesultanan Melayu,” tulis Edward L. Poelinggomang dalam Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim.

Sebagai etnis Bugis, Wajo tentu memiliki pelaut-pelaut handal. Dengan perahu layar mereka berniaga ke berbagai bandar-bandar di Nusantara, termasuk Maluku sebagai pusat rempah.

Advertising
Advertising

Namun setelah Perjanjian Bongaya (1667) antara Kerajaan Gowa-Tallo, Ternate, dan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Belanda, orang-orang Sulawesi Selatan dilarang melakukan perdagangan rempah-rempah dengan orang Maluku. Hanya Belanda saja yang boleh berdagang rempah dengan orang Maluku meskipun penyelundupan dari dan ke Maluku oleh orang-orang Sulawesi Selatan tetap ada.

“Keadaan ini mengarahkan Makassar dan sekutu Bugis mereka Wajo mengalihkan perdagangan ke bagian barat Nusantara dan pantai Asia Tenggara daratan, terutama Tanah Melayu,” tulis Christian Pelras dalam Manusia Bugis.

Seiring dengannya, migrasi orang Sulawesi Selatan ke arah barat meningkat. Emas, sagu, lilin dan budak menjadi komoditas dalam perdagangan ke arah barat tersebut. Titik pemberangkatan perdagangan dan pelayaran orang-orang Sulawesi Selatan tersebut tak hanya dari Makassar saja, tapi juga dari daerah Kalimantan Timur—seperti Pasir dan Berau– yang banyak orang Bugis dan Makassarnya, lalu Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah dan lain-lain. Berkembangnya pelayaran hingga jauh ke arah barat Sulawesi kemudian ikut pula melahirkan peraturan pelayaran orang-orang Bugis.

“Amanna Gappa adalah Matoa orang Wajo di Makassar. Pada tahun 1676 ia memanggil beberapa Matoa Wajo di tempat lain berkumpul di Makassar untuk menyusun undang-undang pelayaran yang sangat dibutuhkan waktu itu, sehubungan dengan meningkatnya aktivitas laut dan pelayaran kerajaan Maritim Makassar,” catat Nasaruddin Koro dalam Ayam Jantan Tanah Daeng.

Amanna Gappa, menurut Pelras, adalah kepala komunitas Wajo di Makassar antara 1697-1723.

Undang-undang pelayaran Amanna Gappa mencakup bermacam hal terkait pelayaran, mulai teknis hingga non-teknis. Terdapat 21 pasal dalam undang-undang tersebut.

“Hukum ini mengatur cara berlayar, berdagang, dan memimpin di laut,” ujar Abdul Rahman Hamid, peneliti sejarah maritim dan pengajar di UIN Raden Inten, dalam seminar pada 30 November 2023 yang dihelat dalam rangka Muhibah Jalur Rempah dan Festival Budaya Maritim di Selayar.

Undang-undang Amanna Gappa juga membahas daftar ongkos sewa kapal antara daerah-daerah pemberangkatan ke daerah tujuan. Misalnya, ongkos sewa perahu dari Makassar ke Selayar di masa itu adalah 2,5 rial. Lalu, aturan soal modal pelayaran. Modal pelayaran menurut Amana Gappa tidak boleh disalahgunakan untuk berjudi, madat, melacur, kawin atau untuk kepentingan pribadi lainnya.

Selain soal ongkos, ada juga aturan pembagian tugas nahkoda, juru mudi, dan lain-lain. Syarat-syarat untuk menjadi nahkoda yang memimpin pelayaran juga dibahas. Seorang nakhoda, kata Amanna Gappa, harus memiliki senjata, rajin, teliti, pandai berlayar, mampu mengawasi dan membela kelasinya, menerima nasihat, serta jujur, dan sabar.

Soal kelasi juga diatur dalam undang-undang tersebut. Ada dua kategori kelasi di dalam kapal: kelasi tetap dan kelasi bebas.

“Kelasi tidak boleh meninggalkan perahu selama pelayaran dan barulah boleh meninggalkan perahu mana kala sudah sampai tujuan,” catat Nasaruddin Koro dalam Ayam Jantan Tanah Daeng.

TAG

sejarah maritim sejarah bahari jalur rempah

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Pengunduran Diri Bung Hatta Akibat Bantuan untuk Penduduk Papua Dikorupsi Dulu Hoegeng Jadi Menteri Iuran Negara Arsip Merekam Anak Yatim Zaman Kolonial Beda Cara Polisi Dulu dan Sekarang dalam Berpolitik Partai Murba Seperti Tan Malaka Yok Koeswoyo Bicara Sukarno Partai Murba dari Masa ke Masa Djohan Sjahroezah Bergerak di Bawah Tanah Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu