Abuya Dimyathi, ulama berpengaruh di Banten sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Cidahu, mengkritik intimidasi Golongan Karya (Golkar) kepada masyarakat Pandeglang menjelang Pemilu 1977. Dia juga menyampaikan kepada masyarakat bahwa Golkar bukanlah pemerintah. Golkar sama seperti Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia adalah peserta Pemilu 1977.
Abuya Dimyathi pun dianggap pemberontak bahkan dilabeli PKI. Dia ditangkap pada 14 Maret 1977 dan ditahan penjara Pandeglang. Santri dan jawara bersama masyarakat turun ke jalan untuk membebaskan Abuya Dimyathi.
Mendengar rencana pembebasannya, Abuya Dimyathi menulis surat, lalu memanggil seorang sipir untuk menyampaikannya ke salahseorang anaknya, Abuya Murthado. Saat itu, Abuya Murthado masih seorang pemuda berusia 19 tahun. Dia belum memperoleh gelar Abuya dan tak banyak dikenal orang.
Surat itu berisi permintaan Abuya Dimyathi kepada Abuya Murthado agar meneruskan isi surat tersebut kepada Jaro Kamid dan Achmad Waluh, dua tokoh jawara berpengaruh dari Serang, Banten.
“Saya di dalam bui sudah tenang, jangan mengadakan tindakan apapun,” tulis Abuya Dimyathi dalam suratnya.
Baca tulisan sebelumnya: Penangkapan Abuya Dimyathi dalam Pemilu 1977
Mengetahui surat itu, Jaro Kamid dan Achmad Waluh sempat kecewa. Tetapi penghormatan mereka kepada Abuya Dimyathi jauh melebihi rasa kekecewaannya. “Memang para jawara sangat menghormati ulama,” tulis Abuya Murtadho dalam Manaqib Abuya Cidahu dalam Pesona Langkah di Dua Alam. Mereka akhirnya mengurungkan niat membebaskan paksa Abuya Dimyathi.
Begitu pula dengan massa. Mereka semua membubarkan diri, pulang ke rumah masing-masing setelah mendengarkan isi surat Abuya Dimyathi dari dua jawara tersebut. Cidahu berangsur tenang.
Empat bulan masa penahanan berlalu. Selama itu pula keluarga tetap berupaya mengeluarkan Abuya Dimyathi. Mereka meminta bantuan ke K.H. Tubagus Ma’ani Rusydi, ulama berpengaruh asal Menes, Banten. K.H. Tubagus memenuhi permintaan keluarga Abuya Dimyathi. Keduanya memiliki hubungan cukup hangat.
K.H. Tubagus mendatangi penjara, menemui kepala penjara, dan menjenguk Abuya Dimyathi. Kepala penjara mengatakan syarat pembebasan Abuya Dimyathi ialah jaminan berupa uang tebusan. Kemudian K.H. Tubagus meminta perkenan Abuya Dimyathi agar mau dibebaskan olehnya. Tapi Abuya Dimyathi menolak.
Ini penolakan kesekian kali Abuya Dimyathi kepada orang-orang yang ingin membebaskannya. Dia pernah menolak upaya pembebasan dari DPP PPP dan K.H. Idham Chalid, ketika itu menjabat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.
“Pertama, Mamak (ayah saya) ke sana menjenguknya, dia tak mau keluar. ‘Enak saya dipenjara,’ kata Abuya, kepada Mamak,” kata K.H. Hamdi Ma’ani, anak K.H. Tubagus. Penolakan serupa terjadi pada pertemuan kedua mereka. Alasannya, Abuya Dimyathi justru bisa beribadah (wiridan) lebih banyak di dalam penjara ketimbang di luar penjara.
Menurut Abuya Murthado, alasan lain ayahnya menolak pembebasan adalah menjalani ketetapan hukuman enam bulan penjara dari pengadilan. Abuya Dimyathi memandang pengadilan sebagai representasi pemerintah. Guru-gurunya dan kitab-kitab yang dipelajarinya mengamanatkan ketaatan pada pemerintah.
“Saya tidak mau mengkhianati pemerintah. Hal ini kan sudah keputusan Hakim selama 6 bulan… Kenapa baru 4 bulan saya disuruh keluar?” kata Abuya Dimyathi sebagaimana ditulis oleh Abuya Murtadho.
Tapi keluarga Abuya Dimyathi tetap mengharapkan pembebasan. Akhirnya K.H. Tubagus mencari uang tebusan dan menyerahkannya langsung ke penjara. “Langsung Abuya Dimyathi keluar,” kata K.H. Hamdi.
Penahanan Abuya Dimyathi berakhir jenaka. “Sesudah keluar, Mamak ke sana, ke tempat Abuya Dimyathi. Abuya marah, ‘Ini nih, yang ngalongokkeun aing. Aing keur ngenah-ngenah di penjara (Ini nih yang menjenguk saya. Padahal saya lagi enak-enak di penjara)',” kata K.H. Hamdi menirukan cerita ayahnya sembari tertawa.
Baca juga: KH Syam'un, Pahlawan Nasional dari Banten
Peristiwa aneh menimpa orang-orang yang terlibat penangkapan dan pemenjaraan Abuya Dimyathi. Antara lain polisi, hakim, dan jaksa. "Jaksa Negeri Pandeglang menjadi gila... Hakim Pengadilan Negeri Pandeglang menjadi bisu. Anggota Polri yang menjemput Abuya menjadi stres, stresnya itu hampir setiap hari selalu berada di jalan menyetopi dan melempari mobil-mobil yang melintas," tulis Abuya Murtadho.
K.H. Hamdi dan K.H. Ariman Anwar, salahseorang santri Abuya Dimyathi sejak 1975, menguatkan keterangan Abuya Murtadho. "Banyak orang (tahu). Itu menjadi rahasia umum," kata K.H. Hamdi. "Benar itu. Kapolresnya terlibat kasus. Si jaksa sama hakimnya di prapatan, mengatur kayak polantas gitu," tambah K.H. Ariman.
Sekeluarnya Abuya Dimyathi dari penjara, masyarakat menggelarinya dengan Abuya. Semacam Ajengan di Jawa Barat dan Tuan Guru di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Banyak tokoh partai politik dan Golkar mendatanginya, berupaya mengajak terlibat politik praktis. Tapi semuanya ditolak oleh Abuya. Dia tetap memilih mengajar di pondok pesantren dan mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar hingga akhir hayatnya pada 3 Oktober 2003.