PERKARA rasial dan imigran menghebohkan publik Jerman pekan lalu. Gara-garanya, pemain timnas Jerman berdarah Turki, Mesut Özil, merasa mengalami rasisme dan diskriminasi hingga mencuit di akun Twitter-nya. Perlakuan itu membuatnya memilih pensiun dari Die Mannschaft.
Rasisme dan imigran, dua hal sensitif di Jerman, sejatinya tak hanya jadi persoalan para imigran asal Turki, melainkan juga yang berasal dari sub-sahara alias Afrika berkulit hitam. Pada 2016, rekan setim Özil, Jérôme Boateng, juga jadi obyek rasisme. Alexander Gauland, politikus dari partai Alternative für Deutschland (AfD), partai sayap kanan anti-pengungsi dan imigran, menghinanya. “Orang-orang asli Jerman takkan mau tinggal bertetangga dengan Boateng,” cetusnya kepada Suratkabar Frankfurter Allgemeine Zeitung, 5 Juni 2016.
Sontak Gauland banjir kecaman. Kebanyakan mengutuknya karena Gauland tak tahu terimakasih atas jasa Boateng yang turut mengantar timnas Jerman menjuarai Euro U-21 2009 dan Piala Dunia 2014. Boateng merupakan bek kelahiran Berlin Barat 3 September 1988 dari orangtua campuran Jerman-Ghana, Martina dan Prince Boateng.
Muasal Imigran Kulit Hitam di Jerman
Ramainya orang kulit hitam atau Afrodeutsche di Jerman tak lepas dari aktivitas kolonialisme Jerman di Afrika Barat pada abad XIX. Namun, sejatinya orang Afro sudah lebih dulu menginjakkan kaki ke tanah Jerman dibanding kolonialisme itu. Adalah Anton Wilhelm Amo yang menjadi orang Afro pertama di Jerman, dua abad sebelum kolonialisme Jerman di Afrika.
Menurut Mike Loutzenhiser dalam The Role of the Indigenous African Psyche in the Evolution of Human Consciousness, Amo yang berasal dari Nzema (kini bagian dari Ghana) merupakan anak yatim dari seorang budak West-Indische Compagnie. Dia dirawat bangsawan Jerman, Duke of August Wilhelm dan Ludwig Rudolf von Wolfenbüttle, pada 1707.
Setelah dikristenkan, Amo disekolahkan di Wolfenbüttel Ritter-Akademie dan kemudian Universitas Helmstedt sebelum melanjutkan ke Universitas Halle (kini Martin Luther University of Halle-Wittenberg). Kegigihannya di bidang pendidikan membawanya menjadi salah satu filsuf ternama Jerman yang dihormati hingga kini.
Sementara, di abad XIX lewat Konferensi Berlin-Congo 1884, di mana para kolonialis Eropa membagi-bagi wilayah di Afrika, Jerman kebagian area Afrika Barat. Sejak itu Jerman mulai mengangkut budak Afro ke negerinya untuk dipekerjakan pada sejumlah sektor ekonomi. Banyak dari mereka lalu direkrut menjadi tentara kolonial semacam KNIL di Hindia Belanda.
Banyaknya komunitas Afro di Jerman berpengaruh pada kehidupan sosial, termasuk urusan beranak-pinak. Pemerintah Jerman pun menyatakan perkawinan campuran Afro-Jerman dianggap ilegal. Anak-anak dari hasil pernikahan campur akan dicabut kewarganegaraannya.
Mayoritas orang Afro di Jerman hidup dalam kabut derita dan terhina. Sebagian dari mereka bahkan dijadikan obyek tontonan kebun binatang manusia. Sejarawan Anne Dreesbach mengungkapkan kepada Deutsche Welle, 3 Oktober 2017, hingga 1930-an terdapat sekira 400 kebun binatang yang mempertontonkan manusia-manusia unik, termasuk orang-orang Afro di Jerman.
“Yang menggagasnya adalah Carl Hagenbeck sejak 1874, di mana dia mengisi kebun binatangnya tak hanya dengan sejumlah hewan, namun juga manusia. Itu jadi hiburan tersendiri bagi publik sebelum hadirnya televisi dan foto berwarna,” ujar Dreesbach.
Kebun binatang manusia di Jerman baru dilarang pasca-Perang Dunia I, utamanya setelah Adolf Hitler berkuasa. Orang-orang Afro di “sirkus” rasisme itu lantas kebanyakan berakhir sebagai buruh kasar di pabrik-pabrik Jerman.
Di era Nazi, orang-orang Afro nyaris sama buruknya dengan orang-orang Gipsi, dianggap sebagai ras rendahan. Undang-Undang (UU) Ras Arya juga melarang mereka “bercampur” dengan kulit putih. Namun uniknya, ratusan orang kulit hitam juga pernah berseragam serdadu Nazi di Perang Dunia II, tergabung di Legion Freies Arabien.
Kehidupan etnis Afro baru membaik pasca-Perang Dunia II. Perkawinan campuran kembali marak seiring banyaknya serdadu berkulit hitam Sekutu di Jerman. Tak sedikit dari mereka yang menikahi perempuan Jerman hingga melahirkan anak-anak campuran.
Hingga kini, menurut data Bundeszentrale für Politische Bildung, 17 September 2016, terdapat sekitar 192 ribu etnis Afro berkewarganegaraan Jerman. Mayoritas berdiam di ibukota Berlin (70 ribu) dan imigran terbanyak berasal dari Nigeria (50.440).
Sebagaimana peranakan Turki, para peranakan Afro juga turut meramaikan kehidupan politik dan tentunya olahraga di Jerman. Di politik, John Ehret menjadi walikota berkulit hitam pertama di Jerman kala terpilih menjadi kepala pemerintahan Kota Mauer pada 2012.
Afro Pertama di Timnas
Dalam sepakbola, Gerald Asamoah menjadi pemain kulit hitam pertama di timnas Jerman. Pemain kelahiran Mampong, Ghana pada 3 Oktober 1978 itu memilih kewarganegaraan Jerman setelah ikut keluarganya pindah ke Jerman tahun 1990. Dia meniti karier di klub Hannover 96 hingga kemudian menjalani debutnya di timnas pada 2001 dan pensiun pada 2006.
Eksisnya Asamoah di timnas Jerman sempat menghebohkan jagat bola Jerman yang hingga 1990-an masih sangat kuat ke-Arya-annya. Dia dianggap membuka pintu bagi pemain kulit hitam lain yang pernah atau masih berada di tim saat ini, seperti Boateng, Antonio Rüdiger, Benjamin Henrichs, Leroy Sané, Serge Gnabry, hingga Dennis Aogo.
Asamoah boleh jadi pemain kelahiran Afrika pertama di timnas Jerman. Tapi kalau menyebut pemain Afro kelahiran Jerman di tim Der Panzer, Erwin Kostedde dan William ‘Jimmy’ Hartwig yang merintis, lebih dulu dari era Asamoah. Keduanya sama-sama lahir dari ayah serdadu kulit hitam Amerika dan ibu seorang kulit putih Jerman.
Kostedde yang lahir di Münster, 21 Mei 1946, merupakan pemain Afro pertama di timnas Jerman (Barat) meski hanya tiga kali berseragam Jerman Barat. Dia memulai kariernya di SC Preussen Münster pada 1965. Sementara, Hartwig yang meniti kariernya di Kickers Offenbach, hanya dua kali memperkuat Jerman Barat pada 1979.
Sebagai pemain keturunan Afro pertama di Jerman, Hartwig dan terutama Kostedde jelas jadi korban rasisme pertama di lapangan. “Meski pada 1970-an ada dua pemain non-kulit putih di timnas, seperti Jimmy Hartwig atau Korstedde, mereka terus-menerus mendapat hinaan dan sorakan rasis di stadion-stadion Jerman tanpa perhatian dari media maupun pejabat (DFB, red.),” ungkap laporan UNESCO tahun 2015 yang dirangkum dalam Color? What Color?: Report on the Fight Against Discrimination and Racism in Football.
Di masa-masa 1970-an hingga 1980-an itu, tak banyak yang membela mereka mengingat xenophobia atau fobia terhadap imigran masih sangat kental di Jerman Timur maupun Jerman Barat. “Baru pada 1981 setelah adanya tekanan masyarakat, DFB menyetujui resolusi pertama mereka terhadap xenophobia.”
“Sakit hati sebenarnya ketika mendengar cerita-cerita di televisi tentang pemain berkulit hitam pertama di timnas. Mungkin karena Asamoah benar-benar berkulit hitam (murni orangtua Afro, bukan campuran). Mereka telah melupakan Kostedde dan saya. Kostedde pria yang baik, namun dia diperlakukan seperti ini, di mana jasa-jasanya dilupakan begitu saja,” kata Hartwig, dikutip Independent, 29 Agustus 2001.
Baca juga:
Özil dan Perkara Peranakan Muslim Turki
Lima Atlet Muslim Turki Pengabdi Jerman
Rasis Tak Kunjung Habis
Pesepakbola Kulit Hitam Profesional Pertama di Dunia