Masuk Daftar
My Getplus

Siapa Liang Tjiu Sia?

Sumbangsihnya di dunia bulutangkis sebagai pemain terhenti akibat aturan diskriminatif. Berhasil membuktikan baktinya pada Indonesia dengan membesut pemain berprestasi tertinggi.

Oleh: Randy Wirayudha | 28 Sep 2019
Liang Tjiu Sia, pelatih yang mencetak Susi Susanti saat memetik emas Olimpiade Barcelona 1992 dan Kejuaraan Dunia 1993 (Ilustrasi: Betaria Sarulina/Historia).

AKTRIS cantik Jenny Zhang Wiradinata mengaku tahu betul siapa Susi Susanti. Namun sebagaimana publik kebanyakan, dia tak tahu siapa orang di balik kesuksesan Susi. “Saya tahu Susi Susanti tapi enggak tahu pelatihnya siapa,” kata Jenny kepada Historia saat konferensi pers peluncuran trailer filmnya di XXI Metropole, Cikini, Rabu (18/9/2019).

Jenny mengakui baru mengenal nama Liang Tjiu Sia (kadang dieja Liang Chiu Hsia/Liang Qiuxia), pelatih yang sukses mengantarkan Susi merebut medali emas badminton putri di Olimpiade 1992, saat menerima tawaran untuk memerankan sang pelatih di film biopik Susi Susanti: Love All. “Jujur enggak banyak info yang saya dapat tentang dia di media-media,” sambungnya.

Dari keterlibatannya dalm film inilah ia bisa mendalami karakternya dan sedikit-banyak jadi paham keresahan sang pelatih terkait kebijakan diskriminatif era Orde Baru. “Dengan menerima peran ini saya juga bisa ketemu dan dapat cerita langsung. Menjadi suatu kebanggaan buat saya berperan menjadi sosok pelatihnya Susi Susanti,” ujarnya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Pelatih Bertangan Besi Pembesut Susi Susanti

Sementara dari penuturan Alan Budikusuma, suami Susi, sosok Cik Sia tak kalah keras dan tegas dari pelatihnya, Tong Sinfu yang didatangkan dari Cina di masa Try Sutrisno menjabat Ketum PBSI. “Mereka berdua kan ditarik Pak Try setelah melihat latihan di Cina. Menurutnya lebih cocok untuk persiapan olimpiade karena dibutuhkan pelatih yang keras dan enggak bisa ditawar-tawar ketegasannya,”.

Alan Budikusuma turut berkisah tentang kerasnya gaya melatih Liang Tjiiu Sia (Dok. Historia)

Keras dan tegasnya gaya melatih Liang juga masih teringat betul di kepala Yuni Kartika, eks pebulutangkis tunggal putri Indonesia seangkatan Susi. “Dia sempat pindah ke Cina dan kembali melatih saya di PB Djarum dan kemudian Pelatnas. Termasuk yang menggembleng saya, Susi, Yuliani (Santosa) dan Mia Audina di tim Uber Cup 1994. Wah waktu dilatih sama dia, ampun deh, sadis, hahaha…,” cetus Yuni.

Baca juga: Dari Arena ke Layar Kaca

Namun di balik itu Sia sempat kesulitan mendapatkan pengakuan sebagai warga negara Indonesia (WNI) sejak jadi pelatih pada 1980-an. Padahal dia lahir di Cirebon, Jawa Barat. Adiknya, Liang Tjun Sen (Tjun Tjun) pun salah satu legenda ganda putra seangkatan Christian Hadinata.

Berkiprah di Negeri Leluhur

Lahir di Cirebon pada 9 September 1950, Liang Tjiu Sia memilih meninggalkan tanah kelahirannya demi kembali ke tanah leluhurnya selepas lulus SMP. Usianya baru 15 tahun saat hengkang. Sementara, sang adik, Tjun Tjun, pemain ganda putra legendaris Indonesia, memilih bertahan di Tanah Air.

Mengutip peneliti studi politik Asia dari Flinders University Colin Brown dalam artikelnya di Jurnal Indonesia, “Playing the Game: Ethnicity and Politics in Indonesian Badminton”, salah satu faktor utama hengkangnya banyak pelatih dan pemain Tionghoa kala itu, termasuk Tjiu Sia, adalah kondisi dalam negeri yang tengah tak menentu di masa transisi Orde Lama ke Orde Baru.

Kondisi tak menentu itu disebabkan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959 tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah. Walhasil, ratusan ribu penduduk beretnis Tionghoa, termasuk para pemain dan pelatih bulutangkis, memilih kembali ke Cina lantaran mereka belum memegang surat kewarganegaraan.

“Termasuk Tang Xianhu (Tong Sinfu), Chen Yu Niang (Tan Giok Nio), dan Hou Jiachang (Houw Ka-Tjong), di mana mereka malah sukses mengembangkan bulutangkis di Cina. Mereka yang kemudian mengembangkan bulutangkis hingga berkontribusi pada kesuksesan bulutangkis Cina hingga sekarang,” ungkap Brown.

Geger 1965 (Gerakan 30 September) kian membuat suram nasib etnis Tionghoa. Liang pilih merelokasi diri ke Cina ditemani sejumlah saudaranya, kecuali Tjun Tjun.

Baca juga: Sepuluh Keluarga di Arena Bulutangkis (Bagian I)

Di Negeri Tirai Bambu, Sia menggoreskan tinta emas dalam kariernya sebagai pemain. Bersama Zheng Huiming, Sia memetik medali emas ganda putri Asian Games 1974. Di tunggal putri, ia juara di Kejuaraan Asia 1976, Turnamen Invitasi Bulutangkis Asia 1976 dan 1977, dan memetik satu emas di Asian Games 1978.

“Namun semua itu tidak tercatat dengan resmi karena Cina belum masuk IBF (International Badminton Federation, kini Badminton World Federation/BWF). Setelah Cina masuk IBF pada 1981, prestasinya sudah menurun,” kata Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia.

Selepas pensiun dari pemain, ia pindah ke Hong Kong dan menetap di sana. Ia lalu menjadi warga negara Hong Kong setelah dinikahi pebalet Hong Kong Zhang Dayong.

Pada 1982, ia menemani tim bulutangkis Hongkong melawat ke Indonesia. Lawatan itu membuatnya homesick dan ingin pulang ke Indonesia. Orangtua dan adiknya, Tjun Tjun, pun merayunya untuk pulang ke Indonesia. Sementara, mengutip Tempo edisi 23 Juni 1984, bujukan untuk memulangkan Liang juga sudah diupayakan Menpora Abdul Gafur sejak 1983. Utamanya setelah melihat keterpurukan tim Uber Cup 1984. “Baik pandangan maupun idenya merupakan angin segar bagi dunia,” kata Menteri Abdul Gafur.

Kembali ke Indonesia

Pada 1985, Sia benar-benar kembali ke Indonesia. Berkat upaya bersama antara Departemen Negara Pemuda dan Olahraga, Departemen Tenaga Kerja, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat, dan PBSI, Sia akhirnya berkenan melatih sektor putri bulutangkis dalam negeri.

Namun, Sia masih berstatus warna negara Hong Kong kendati sudah jadi pelatih kepala tunggal putri Pelatnas PBSI. Untuk keperluan itu, ia sekadar diberi dokumen perizinan kerja pada 1986. Setahun berselang, ia diberi status warga negara tapi dokumen Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI)-nya baru keluar pada 1989.

Liang Tjiu Sia kini sekadar cari kesibukan dengan mengajar privat di Kedoya (Fernando Randy/Historia).

Kendati sebagai kepala pelatih tunggal putri Sia membesut banyak pemain, namanya lebih dikenal sebagai pengasuh Susi. “Waktu itu sebetulnya ada sekitar 13 pemain. Tapi memang Susi yang paling ulet, paling enggak mau kalah. Enggak malas. Ngotot mainnya,” kata Sia kepada Historia di kesempatan berbeda.

Sia bertahan di pelatnas sampai tahun 2000. Dia kemudian kembali mengajar privat di Hong Kong. “Tapi lama-lama enggak betah. Lalu pada 2003 balik ke sini, ditawari melatih di (klub) Mutiara Bandung sampai tiga tahun. Cina sebenarnya sempat minta balik setelah saya enggak di PBSI. Tapi saya enggak mau,” lanjutnya.

Baru pada 2013 ia comeback melatih tunggal putri Pelatnas PBSI hanya dengan kontrak setahun. Setelah itu hingga sekarang, ia sekadar buka kelas bulutangkis privat di Kedoya, Jakarta Barat. “Ya sekadar cari kesibukan aja. Kalau enggak ada kerjaan, bingung juga saya. Kalau 10 tahun lagi masih kuat, ya tetap masih mau melatih,” kata Sia.

Baca juga: Cinta Kasih Susi Susanti untuk Negeri

Di sela-sela kesibukan melatih itulah ia terlibat melatih Laura Basuki, Jenny Zhang, dan sejumlah pemeran lain untuk keperluan film Susi Susanti: Love All. Dari hanya kontrak tiga bulan, Sia justru melatih Laura hingga enam bulanan.

“Produsernya yang minta saya latih Laura. Dari dia belum bisa apa-apa sampai bisa main. Nge-lihat gayanya aja susah mukulnya dia, hahaha… Kalau Jenny Zhang lumayan, mungkin dia senang olahraga ya. Semoga film itu disenangi orang ya, meledak lah,” tandasnya.

TAG

film susi susanti bulutangkis

ARTIKEL TERKAIT

Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Jenderal Orba Rasa Korea Sisi Lain dan Anomali Alexander Napoleon yang Sarat Dramatisasi Harta Berdarah Indian Osage dalam Killers of the Flower Moon Sebelum Ferry Juara Dunia Bulutangkis Alkisah Bing Slamet Tiga Negara Berbagi Sejarah lewat Dokumenter Kunjungan Nehru