Masuk Daftar
My Getplus

Roma Harga Mati bagi Francesco Totti

“Raja Roma” Totti membuktikan loyalitas tanpa batasnya pada AS Roma.

Oleh: Randy Wirayudha | 07 Jun 2021
L'Ottavo Re di Roma, Francesco Totti yang tak bisa membendung emosi kala berpisah dengan puluhan ribu Romanisti pada Mei 2017 (asroma.com)

DI hadapan ribuan fans yang memenuhi Stadion Olimpico pada 28 Mei 2017, Francesco Totti tenggelam dalam isak tangis. Legenda hidup AS Roma berjuluk “L’Ottavo Re di Roma” (Raja Roma Kedelapan) itu bersiap menjalani laga Serie A musim 2016/2017 kontra Genoa.

Laga itu amat menentukan karena Giallorossi (julukan Roma) butuh tiga angka terakhir demi bisa lolos ke Liga Champions musim 2017/2018. Totti diberi kesempatan bermain lebih lama oleh allenatore (pelatih) Luciano Spalletti di 36 menit terakhir menggantikan Mohamed Salah.

Namun bukan kesempatan main atau pentingnya laga buat Roma itu yang membuat Totti menangis haru. Laga ke-786 Totti itu merupakan laga terakhirnya berseragam AS Roma yang sudah dibelanya selama 28 tahun.

Advertising
Advertising

Olimpico yang penuh sesak oleh Romanisti (fans AS Roma) pun bergemuruh usai wasit meniup peluit panjang. Roma menang 3-2. Totti lalu ikut rekan-rekannya kembali ke lorong stadion.

Momen yang terekam dalam sebuah footage itu disisipkan sutradara Luca Ribuoli di pengujung filmnya, Speravo de Morì Prima, biopik drama miniseri yang dirilis dan ditayangkan Sky Atlantic pada 19 Maret-2 April 2021. Momen itulah momen perpisahan Totti dengan Roma.

Baca juga: Senjakala "Raja Roma" dalam One Captain

Kolase momen terakhir Francesco Totti berseragam AS Roma (asroma.com)

Bocah 150 Juta Lira

Jalan-jalan sempit di lingkungan padat masyarakat pekerja Via Vetulonia di selatan situs kuno Colosseum di Roma jadi saksi bisu kelahiran seorang “Raja Roma ke-8” pada 27 September 1976. Totti merupakan anak kedua pasangan suami-istri Lorenzo dan Fiorella Totti. Lorenzo merupakan juru tulis sebuah bank dan Fiorella ibu rumah tangga. Kedua orangtua Totti itu fans sejati Roma, mengikuti kakek Totti Gianluca Totti.

Sejak Totti berusia 11 bulan, Lorenzo sudah mengenalkannya pada si kulit bundar saat sedang bersantai di sebuah pantai di Torvaianica. Ketika berusia empat tahun, Totti didorong ayahnya untuk bermain bola dengan anak-anak yang dua kali usianya saat kembali liburan ke pantai di Torvaianica.

Saat sudah bersekolah, Totti menyelingi waktu luangnya dengan memainkan bola sendiri di sekitar rumahnya di Porta Metronia.

“Bakat? Tembok, berawal dari tembok sejak masa kanak-kanak di dekat rumah dan di halaman sekolah, di mana saya belajar kontrol bola. Kontrol bola adalah kunci dari permainan sepakbola,” kenang Totti dalam otobiografinya, Un Capitano.

Baca juga: Frank Lampard Legenda Bermental Baja

Francesco Totti kala berusia 11 bulan bersama ayahnya, Lorenzo Totti (Instagram @francescototti)

Ia mulai menseriusinya sepakbola di usia enam tahun dengan mengasah dasar-dasar di klub amatir Fortitudo Luditor. Setahun kemudian, Totti pertamakali dikenalkan pada AS Roma oleh Lorenzo dengan diajak ke Olimpico untuk merasakan atmosfer sepakbola sebenarnya.

“Kami jarang menonton pertandingan di televisi karena bahkan di Roma, pertandingan tak selalu disiarkan di era 1980-an. Tetapi ketika saya berumur tujuh tahun, ayah saya selalu membeli tiket. Saya bisa mengenang perasaan itu. Warna kebesaran, nyanyian, dan bom asap yang mengepul. Sungguh masa kecil yang menyenangkan bisa berada di stadion bersama para fans lain Roma,” imbuhnya.

Baca juga: Kuil Sepakbola "Kota Abadi" Roma

Dari ayahnya Totti bisa ke stadion setiap akhir pekan, sementara dari ibunya Totti diantar berlatih di Fortitudo, kemudian Smit Trastevere, dan Lodigiani setiap pulang sekolah.

“Faktor penentu ada pada keluarganya. Enzo dan Fiorella selalu hadir walau tak menonjolkan diri. Mereka menularkan kerendahan hati dan keseriusan (Totti) dalam berlatih. Di usia 10 tahun Francesco bocah kecil yang cepat. Anda bisa tahu bahwa dia punya bakat alami. Tantangannya bukan pada mengasah skill-nya, melainkan membimbingnya ke arah yang tepat. Dia punya DNA sepakbola dalam dirinya. Kadang dia bermain ceroboh tapi tiba-tiba dia bisa mencetak gol,” kata Emidio Neroni, pelatih Totti di Lodigiani, kepada Four Four Two, 3 Mei 2017.

Francesco Totti di tim Lodigiani pada 1988 (Wikipedia)

Di Lodigiani, bakatnya mulai diendus banyak pemandu bakat. Selain AS Roma, para pemandu bakat dari SS Lazio, Juventus, dan AC Milan pun kepincut padanya.

Lodigiani sendiri menjanjikan Totti akan dimasukkan ke Lazio. Akan tetapi Fiorella tidak rela. Ia mengontak Gildo Giannini, staf pelatih tim Primavera Roma sekaligus ayah striker Roma Giuseppe Giannini, agar bernegosiasi dengan Lodigiani supaya Totti tak dibawa ke Lazio, tapi ke AS Roma.

“Ibunya yang minta Roma mengambil putranya. Saya tak perlu berpikir ulang karena kami sudah tahu tentang dia dan pada akhirnya, saya yang meyakinkan Lodigiani untuk menjualnya kepada kami,” kata Giannini.

Baca juga: Ketika Timnas Primavera Puasa di Italia

Berbeda dari Juventus dan Lazio yang lempar handuk, AC Milan lewat Manajer umumnya, Ariedo Braida, mendatangi kediaman orangtua Totti di musim panas 1988.

“Kami menyambutnya di ruang keluarga. Ibu dan ayah saya duduk di hadapannya. Riccardo di sebelahnya. Dan saya hanya duduk di sudut ruangan ibarat yang terjadi di situ tidak ada hubungannya dengan saya. Tentu saya sadar tidak punya hak bersuara di usia 12 tahun,” kenang Totti.

Transformasi Francesco Totti di tim yunior AS Roma (asromaultras.org/Instagram @francescototti)

Di hadapan Enzo dan Fiorella, Braida bermonolog dengan tutur kata halus dan sopan. Totti masih ingat Braida berulangkali membetulkan dasinya untuk menenangkan diri saat memaparkan investasi dan rencana besar AC Milan di bawah Presiden Silvio Berlusconi yang bakal melakukan regenerasi dengan para pemain muda berbakat seperti Totti.

Totti dijanjikan akan dibiayai sekolahnya dan tinggal di asrama pemain di Milanello. Enzo dan Fiorella juga akan selalu diberi cek jika ingin ke Milan demi bisa melihat putranya.

“Setelah pidato itu, Braida mengambil jersey Milan dengan ukuran saya dari tas yang dibawanya. Saya melihat ibu yang masih terdiam dan menunggu izin darinya untuk menerimanya. Tetapi pada akhirnya saya berinisiatif berdiri dari kursi dan mengambilnya sendiri,” lanjutnya.

Baca juga: Merobohkan Memori San Siro

Sebelum pamit, Braida berpesan bahwa mereka tak perlu buru-buru mengambil keputusan. Milan bersedia menunggu satu atau dua tahun jika Totti masih ingin bermain di Lodigiani. Jika waktunya tiba, Braida berharap bisa mengambil nomor antrian pertama untuk mendapatkan tanda tangan Totti dengan tawaran kontrak fantastis.

“Sebelum pergi ia menyebutkan angka yang membuat kami speechless: seratus lima puluh juta (lira). Itu nilai yang siap ia berikan kepada saya dan Lodigiani. Saat kami berpisah dan saya menjabat tangannya, dia meminta saya untuk melihat ke atas karena sedari tadi mata saya tertunduk ke lantai dan mengatakan: ‘Suatu hari tatapanmu akan mendominasi San Siro. Tegakkan kepalamu, nak!’” tambah Totti.

Namun, tawaran kontrak senilai 150 juta lira itu tak menggoyahkan keluarga Totti. Kota abadi tak pernah ditinggalkan Totti. AS Roma tetap jadi destinasi Totti melebarkan sayapnya. Dia bergabung ke tim yunior Roma pada 1989 dan promosi ke tim senior tiga tahun berselang.

“Saat Anda masih seorang bocah di Roma, hanya ada dua kemungkinan: entah Anda merah atau biru. AS Roma atau Lazio. Tetapi di keluarga kami hanya ada satu kemungkinan di dalam darah dan jiwa kami. Hanya ada Roma,” ujar Totti.

Di Balik Lima Julukan

Sedikitnya lima julukan diterima Totti dari publik maupun media sepanjang kariernya: “Er Pupone (Bayi Besar), “Er Bimbo de Oro (Anak Emas), “Il Capitano (Sang Kapten), “Il Gladiatore (Sang Gladiator), dan “L’Ottavo Re di Roma (Raja Roma Kedelapan). Lima julukan itu punya makna tersendiri seiring banyak aral melintang di dalam maupun di luar lapangan.

Julukan “Er Pupone berawal dari bakat Totti sebagai playmaker di tim yunior Roma saat masih berusia 15 tahun. Bakat itu menggelitik Vito Scala, staf pelatih, untuk melakukan “pencurian umur” agar bisa memasukkan Totti ke tim U-17 Roma. Walau usianya dua tahun lebih muda dari rekan-rekannya, postur besar Totti –yang disebabkan gemar makan makanan berkalori dan bergula tinggi yang dipadu program diet dan latihan fisik– cukup meyakinkan. Hasil “pencurian umur” itu berbuah manis scudetto 1991. Dalam laga penentuan juara, Totti memborong gol untuk kemenangan 2-0 Roma atas AC Milan.

“Dia mengindari setiap tekel keras, tak peduli seberapa sering tim lawan coba menghentikannya. Ingat, lawannya adalah tim yang pernah mencoba merekrutnya lebih dari sekali. Saya memainkannya baik sebagai gelandang sentral dan penyerang, dan dia menciptakan semua golnya untuk menang 2-0. Dia pemain terbaik yang pernah saya latih. Dia tak butuh latihan teknik – itu hanya jadi kesia-siaan belaka,” terang Ezio Sella, pelatih kepala Roma U-17 saat itu.

Baca juga: Sejarah Panjang Nerazzurri dalam Inter 110

Francesco Totti pada 1996 masih mengenakan nomor punggung 17 (asroma.com)

Setahun berselang, pelatih Timnas Italia U-20 Luciano Spinosi meniru cara Scala dengan memasukkan nama Totti ke skuadnya walau umurnya masih 16 tahun.

“Tiada yang bisa meniru caranya menendang bola. Saya sering melihat pesepakbola muda tapi dia istimewa. Dia bisa membawa serta semangat segenap tim bersamanya. Saya sekadar membiarkanya bermain. Tak pernah saya melihat pemain 16 tahun seperti ini. Dia membuat pekerjaan saya jadi lebih mudah,” kata Spinosi.

Baca juga: AS Roma Menggebrak Eropa

Setelah disarankan bek senior Siniša Mihajlović, pelatih tim senior Roma Vujadin Boškov mengambil Totti dari tim yunior. Totti pun mengecap debutnya pada 28 Maret 1993 kala menggantikan Ruggiero Rizzitelli dalam laga tandang kontra Brescia.

“Sudah beberapa lama saya memerhatikan bocah itu dan bilang kepada Boškov untuk membawa dan membiarkan bocah itu bermain bersama kami. Saya katakan bahwa dia akan menambah kekuatan tim. Boškov membawanya ke Brescia dan 10 menit jelang akhir laga, saya tegaskan agar pelatih membiarkannya main hingga jadilah Totti melakukan debutnya,” ungkap Mihajlović di otobiografinya, The Game of Life.

Francesco Totti (bawah, ketiga dari kiri) bersama tim AS Roma yang memenangkan Torneo Città di Roma 1997 (asroma.com)

Sejak saat itu Totti tak pernah lagi kembali ke tim yunior. Setelah Carlo Mazzone menggantikan Boškov, Totti mulai sering jadi starter sebagai second striker. Perlahan, ia mendapat julukan “Er Bimbo de Oro karena Mazzone dan Presiden klub Franco Sensi blak-blakan menganakemaskannya.

Mulanya internal tim tak pernah iri pada Totti. Tetapi semua berubah pada musim panas 1996 ketika Mazzone digantikan Carlos Bianchi. Pelatih asal Argentina itu merombak banyak hal hingga menimbulkan tensi di tubuh tim. Giannini, idola Totti yang nomor punggung 10-nya sejak lama diinginkannya, memilih hengkang. Totti pun nyaris mengikuti jejak Giannini. Kala itu Tottenham Hotspur berminat menampungnya dan Genoa mengajukan tawaran status pinjaman.

“Bianchi tidak mampu mengatasi para pemain kelahiran asli Roma dan utamanya saya karena saya masih muda. Percayakah Anda bahwa dalam sesi latihan bermain dia pernah mengadu antara dua tim pemain asal Roma dan non-Roma? Isi kepala saya sudah ingin pergi ke Genoa tapi jika saya pergi, saya tahu takkan pernah bisa kembali,” ujar Totti.

Baca juga: Mengenang La Grande Inter

Publik Roma berhasil meyakinkan Totti bertahan. Publik juga mulai menjulukinya sebagai Il Gladiatore, sebagaimana para petarung kuno di Colosseum yang senantiasa setia pada Roma.

Imbasnya, ketegangan antara Bianchi dan Totti meningkat. Presiden Sensi akhirnya turun tangan. Kala Bianchi “menantang” Sensi untuk memilih dirinya atau Totti, Sensi tak berpikir dua kali untuk memilih anak emasnya.

Selain mendapatkan nomor punggung 10, Francesco Totti didapuk jadi kapten termuda Serie A pada 1998 (asroma.com)

Di masa kepelatihan Zdeněk Zeman, yang menggantikan Bianchi, pada musim 1997/1998, Totti mendapatkan nomor punggung 10. Dia kemudian dipercaya menjadi kapten tim di usia 22 tahun. Saat itulah Totti mulai dijuluki “Il Capitano lantaran menjadi kapten termuda dalam sejarah Serie A.

“Sebenarnya bukan saya seorang yang memilihnya menjadi kapten; tim yang memilih dia setelah pengambilan suara. Bek tengah kami asal Brasil, Aldair, mulanya punya suara terbanyak tapi dia menolak tanggung jawab itu. Pada momen itu, para pemain menyepakati Francesco sebagai pemimpin. Suaranya memang bukan yang paling lantang di ruang ganti tetapi dia pemimpin sempurna buat Roma di lapangan,” aku Zeman kepada La Gazzetta dello Sport edisi 19 Juli 1997.

Baca juga: Brutalnya Sejarah Roma dalam Romulus

Julukan terakhir Totti, “L’Ottavo Re di Roma, disandangnya karena dianggap sebagai penerus tujuh raja Romawi kuno: Romulus, Numa Pompilius, Tullus Hostilius, Ancus Marcius, Lucius Tarquinius Priscus, Servius Tullius, dan Lucius Tarquinius Superbus. Julukan itu menjadi klimaks dalam kariernya yang memukau dengan skill elegan. Totti memukau seantero Eropa pada Euro 2000 dan juga mengantar Roma meraih Scudetto pada 2000/2001 setelah 18 tahun puasa gelar liga.

Skill Totti tidak terbatas. Ia mampu melakukan apa saja dengan bola: dari tendangan bebas yang keras maupun tendangan bebas tipuan. Musim 2001 jadi musim terbaik sang raja Roma setelah tampil luar biasa di Euro 2000 walau perangainya terkadang labil. Suatu kali bisa sedingin air tapi terkadang kepalanya gampang panas. Ia juga arogan tapi tak kenal takut menghadapi situasi apapun, termasuk saat timnya berada di bawah tekanan,” tulis John Foot dalam Winning at All Costs: A Scandalous History of Italian Soccer.

Sepakan penalti kondang Totti di Euro 2000 (asroma.com)

Tetapi raja tetaplah manusia dengan segala kekurangannya. Menjelang usia 30 tahun, Totti mulai sering menampakkan temperamennya. Ia mulai acap mengejek fans Lazio dalam setiap Derby della Capitale. Emosinya yang gampang diprovokasi juga menyebabkannya disanksi kartu merah.

Publik Italia pernah dibuatnya jengkel. Ulahnya meludahi bek Denmark Christian Poulsen di laga penyisihan Grup C membuat Italia gagal menang sehingga tak lolos ke babak berikutnya. Totti pun dijadikan kambing hitam kegagalan Italia lolos.

Baca juga: Di Balik Derby della Madonnina

Di musim 2004 pula Totti bertengkar dengan pelatihnya, Fabio Capello. Totti dianggap Capello makin arogan dan mulai malas-malasan latihan. Namun, Totti bertahan dan Capello akhirnya angkat kaki. Kendati ada “iming-iming” Real Madrid yang mencoba mengambil kesempatan dalam kesempitan itu dibantu media-media Italia dan Spanyol, Totti menolak tawaran raksasa Spanyol itu.

“Terserah orang lain mau berpikir apa. Saya lahir sebagai orang Roma dan akan mati sebagai orang Roma. Saya takkan pernah meninggalkan tim atau kota saya. Saya takkan pernah memberikan orang lain kepuasan itu,” Totti menegaskan.

Luciano Spalletti (kanan) yang jadi sahabat pada 2006 tapi jadi musuh kesumat 10 tahun kemudian (asroma.com)

Luciano Spalletti yang datang menggantikan Capello tak ingin melakoni kesalahan yang sama. Dia mengembalikan Totti jadi poros permainan tim. Hasilnya, Roma menbuat rekor Serie A dengan memenangkan 11 laga berturut-turut.

“Memberinya bola seperti mempercayakan uang ke bank. Francesco sangat penting di ruang ganti dan bagi segenap kota ini. Dia layak atas semua gelar yang diraihnya dan segala pujian terhadapnya. Totti adalah pemain terbaik di dunia,” kata Spalletti menyanjung.

Baca juga: Santo Iker di Bawah Mistar

Walau sudah memasuki usia 30 tahun dan mulai sering diterpa cedera, Totti nyaris tak pernah absen mencetak gol penting. Bahkan dari total 250 golnya buat Roma, hampir separuhnya ia torehkan saat sudah berkepala tiga.

Setelah membantu Italia memenangkan Piala Dunia 2006, di Serie A musim 2006/2007 Totti masih sanggup mencetak 32 gol dan 15 assists. Gol indahnya lewat tendangan voli kaki kiri ke gawang Sampdoria di Stadion Luigi Ferraris bahkan membuat 30 ribu fans tuan rumah bangkit dari kursi untuk melakoni standing ovation.

Euforia Francesco Totti (kanan) pada perayaan Scudetto musim 2000/2001 (asroma.com)

Satu dekade berselang dari momen di kandang Sampdoria itu, puluhan ribu Romanisti yang berdesakan di setiap sudut Olimpico melakukan hal sama. Mereka melakukan standing ovation sambil menangis usai Totti memainkan pertandingan terakhirnya, 28 Mei 2017.

Totti menumpahkan semua cintanya pada publik Roma hari itu. Totti sadar takkan mungkin bisa meraih Scudetto musim 2000/2001, Coppa Italia 2006/2007 dan 2007/2008, Supercoppa Italiana 2001 dan 2007, serta Piala Dunia 2006 tanpa dukungan fans.

Baca juga: Para Bintang yang Disanjung Standing Ovation

Pikiran itu hanya satu dari sekian memori yang berseliweran di kepalanya saat duduk termenung di ujung lorong stadion sebelum kembali ke lapangan. Momen itu terekam kamera fotografer resmi klub, Fabio Rossi.

“Saya memerhatikan ekspresinya dengan cermat lewat lensa kamera. Saya tak bisa berhenti menangis. Itu momen spontan: semua tensi yang telah menumpuk seolah butuh dilepaskan, jadi saya menangis sesengukan. Dia menoleh pada saya dan bilang: ‘Hei, jangan sekarang Fabie, ini belum selesai. Sudah cukup (menangisnya)!’” kenang Fabio di laman klub, 18 April 2018.

Kolase momen perpisahan Francesco Totti yang disambut haru seisi Stadio Olimpico (asroma.com)

Rossi kemudian mengikuti beberapa langkah di belakang Totti yang keluar lagi ke lapangan dan disambut “rakyatnya” dengan nyanyian dan tangisan. Totti masih berusaha menahan emosi saat merentangkan tangan menyambut salam yang dibuat rekan-rekan setimnya. Emosinya baru lepas seiring membacakan beberapa lembar pidato perpisahan dengan ditemani istrinya, Ilary Blasi, dan ketiga anaknya, Christian, Chanel, dan Isabel.

“Saya melepas seragam untuk terakhir kali dan melipatnya dengan baik; meski saya belum siap dan mungkin takkan pernah siap. Maaf jika saya jarang bicara beberapa bulan terakhir ini karena mematikan lampu takkan pernah mudah. Saya datang sebagai bocah dan saya pergi sebagai orang dewasa. Saya bangga dan bahagia memberikan 28 tahun penuh cinta. Saya mencintai Anda,” kata Totti dalam pidato perpisahannya itu.

Baca juga: Addio Paolo Rossi!

TAG

roma italia sepakbola

ARTIKEL TERKAIT

Rossoblù Jawara dari Masa Lalu Lima Jersey Sepakbola Kontroversial Philippe Troussier si Dukun Putih Momentum Bayer Leverkusen Dua Kaki Andreas Brehme Petualangan Tim Kanguru Piala Asia Tanpa Israel Sisi Lain Der Kaiser Franz Beckenbauer Ingar-Bingar Boxing Day Sinterklas Terjun hingga Tumbang di Stadion