BERBEDA dari pelatih Fransisco Maturana dan gelandang Gabriel Jaime Gomez yang amat gelisah, bek Andres Escobar Saldarriaga tetap tenang menjelang laga kedua Kolombia di Piala Dunia 1994 Amerika Serikat (AS). Pemain kelahiran Medellin, 13 Maret 1967, itu tak ingin tekanan publik negerinya merusak konsentrasi untuk bermain sebaik mungkin.
Kedewasaan sikap Escobar, anak emas klub Atletico Nacional (Medellin), membuat dirinya kerap menjadi teladan di dalam maupun luar lapangan. Publik menjulukinya “El Caballero del Futbol” atau “Pria Sejati dalam Sepakbola”.
Laga Petaka
Para pemain Kolombia punya tekanan lebih berat saat memasuki Stadion Rose Bowl, Pasadena, California pada 22 Juni1994. Selain lawan yang akan dihadapi adalah tuan rumah, mereka harus memenangkan pertandingan itu jika tak ingin terdepak dari perhelatan. Sebab, di laga perdana melawan Rumania mereka kalah 1-3.
Keinginan untuk terus berada dalam turnamen itulah yang membuat para pemain Kolombia bersemangat. Selain memiliki catatan baik selama kualifikasi, mereka semangat karena lawan yang bakal dihadapi secara kualitas masih kalah baik. “Saya sudah siap main bagus,” kata Faustino Asprilla, penyerang Kolombia andalan klub Parma, dalam dokumenter besutan jurnalis Richard Sanders, Escobar’s Own Goal.
Namun, petaka menghampiri Kolombia di menit ke-35. Escobar salah mengantisipasi umpan silang pemain sayap AS John Harkes. Upayanya menghalau bola justru mengarahkan bola ke gawang sendiri yang dijaga kiper Oscar Cordoba. Kolombia akhirnya kalah 1-2. Meski menang 2-0 atas Swiss di pertandingan berikutnya, Kolombia gagal melaju ke babak kedua.
Kegagalan Kolombia dinilai ganjil. Terutama, karena sebelumnya di babak kualifikasi Kolombia tampil trengginas. Publik negeri itu, utamanya media-media dalam negeri, melayangkan beragam kritik pedas yang lantas memicu banyak ancaman penculikan dan pembunuhan terhadap entrenador (pelatih) Francisco Maturana dan pemain Gabriel Jaime Gomez.
“(Suratkabar) La Pensa mendeskripsikan kelompok pengancam itu sebagai ‘Skuad Kematian Bayangan’. Mereka mengancam Maturana dan Gomez lewat telepon. Polisi kemudian mengawal kediaman Maturana dan Gomez selama beberapa saat,” tulis Koran New York Times, 24 Juni 1994.
Sementara, Escobar sekembalinya ke kota asalnya di Medellin, terakhir kali terlihat di dekat sebuah klub malam El Indio oleh sejumlah saksi mata pada dini hari 2 Juli 1994. Escobar yang berada di dalam mobilnya, disebutkan didekati dan kemudian terlibat percekcokan dengan tiga orang tak dikenal. Seketika, meletuslah 12 kali tembakan.
“Disebutkan seorang saksi, salah satu penembaknya sebelumnya mengatakan, ‘Terima kasih untuk gol bunuh dirinya’. Kemudian mereka melepas tembakan 12 kali dan meneriakkan ‘gol’ saat menembak Escobar. Trio pelaku kemudian kabur dengan dua mobil,” ungkap suratkabar LA Times, 3 Juli 1994.
Escobar meninggal di tempat dengan keadaan tubuh yang berdarah-darah di dalam mobil. Kepolisian Medellin menduga kuat bahwa pembunuhan Escobar ada kaitannya dengan perjudian dalam sepakbola. Entah diduga bahwa Escobar dan kawan-kawannya disuap untuk kalah dari AS dan Rumania, atau karena memang para penjudi dari kelompok Kartel Medellin tak terima mereka kalah banyak akibat kekalahan Kolombia dari AS gara-gara gol bunuh diri Escobar.
“Dalam penjelasan yang paling dipercaya, Kartel Narkoba Medellin bertaruh uang yang sangat besar dan kalah dalam taruhan itu karena Kolombia gagal maju dari fase grup. Kartel itu mengambinghitamkan Escobar,” sebut Nicolae Sfetcu dalam buku Game Preview.
Tidak hanya publik Kolombia yang geger. John Harkes, pemain AS yang secara tidak langsung menyebabkan gol bunuh diri Escobar, turut terpukul kala mendengar kabar duka itu. “Saya seperti mati rasa mendengar berita itu. Di Kolombia dia pemain yang dihormati, dikenal sebagai pria sejati. Kami olahragawan dan semestinya tidak begini kejadiannya,” kenang Harkes dalam kolom yang ditulisnya di situs theplayerstribune.com, 3 Juni 2016.
“Jelas saya merasakan kesedihan. Keprihatinan saya untuk keluarganya. Hari itu anda tak bisa fokus. Di hotel malam itu, Anda berusaha untuk terus fokus pada pertandingan, namun tidak bisa. Anda berusaha menemukan jawabannya dan tetap tidak bisa,” ujarnya.
Pun begitu dengan pihak FIFA, yang diwakili Sekjen Sepp Blatter. “Ini hari paling menyedihkan dalam sepakbola menurut saya, baik dalam Piala Dunia maupun dalam kompetisi apapun,” ucap Blatter, dikutip koran Orlando Sentinel, 3 Juli 1994.
Tidak butuh waktu lama buat kepolisian menangkap pelakunya. Seorang tersangka, Humberto Castro Munoz dalam interogasi polisi, tak membantah bahwa dia membunuh Escobar. Castro dikenal sebagai sopir seorang gembong kartel Santiago Gallon Henao yang diduga, kehilangan banyak uang akibat kalah taruhan.
Namun Castro dan kedua tersangka penembak Escobar lainnya, Hernan Dario Velez Correa dan Luz Mila Correa, menyanggah bahwa pembunuhan itu sudah direncanakan dan ada hubungannya dengan kartel narkoba. Castro sebagai tersangka utama, dijatuhi hukuman 43 tahun penjara. Akan tetapi karena kelakuan baik, pada 2015 ketiganya bebas bersyarat.
Kenangan akan Escobar tetap abadi di setiap jiwa rakyat Kolombia. Sekitar 120 ribu orang mendatangi pemakamannya. Setiap tahun di hari kematiannya, publik Kolombia mengenangnya dengan membawa serta foto-fotonya ke berbagai pertandingan. Memorinya juga diabadikan dalam sebuah patung yang disingkap pada 2 Juli 2002 di kota kelahirannya yang dibuat seniman Alejandro Hernandez.
Dalam sebuah kesempatan pada Piala Dunia 2014 di Brasil, FIFA mengundang para kerabat Escobar untuk mengenangnya dalam laga pembuka Brasil vs Kroasia di Rio de Janeiro, 2 Juli 2014 yang kebetulan juga menghadirkan gol bunuh diri bek Brasil, Marcelo Vieira.
“Piala Dunia yang dibuka dengan gol bunuh diri menghadirkan kenangan sedih itu kembali. Namun hal seperti ini acap terjadi kapapun. Kami senang bisa ada di sini dan punya kesempatan berbagi kebahagiaan tentang apa makna sepakbola bersama semua orang yang ada di sini,” cetus Maria Ester Escobar, kakak perempuan Escobar, dilansir situs resmi FIFA, 2 Juli 2014.