Sudiro (1911–1992) suka main catur sejak duduk di sekolah dasar HIS Netral (Neutrale Hollands Inlandsche School). Dia belajar pada L.G. Eggink, kepala sekolah yang suka catur dan menjabat hopdaktur (ketua dewan redaksi) majalah catur NISB (Nederlands Indische Schaak Bond). NISB merupakan perkumpulan catur Hindia Belanda yang didirikan pada 1915 di Yogyakarta.
Sudiro kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru Tinggi (Hogere Kweekschool) di Magelang. Dia meneruskan kegemarannya bermain catur. Bahkan, dia mengaku ikut melawan Max Euwe dalam pertandingan simultan pada 22 September 1930. Juara catur Belanda itu melawan 42 pemain.
“Penulis dan seorang teman sekelas bernama Ratib beruntung sekali malam itu, karena penulis dapat mengalahkan sang juara, dan Ratib mencapai remis,” kata Sudiro dalam Pelangi Kehidupan.
Baca juga: Tur Catur Max Euwe ke Indonesia
Menurut penelusuran Dutch Docu Channel di pangkalan data surat kabar Belanda (Delpher), surat kabar De Locomotief yang melaporkan pertandingan simultan itu menyebut bahwa kekalahan Max Euwe karena sangat kelelahan setelah perjalanan yang jauh.
Dalam perjalanan hidupnya, Sudiro tidak berkarier sebagai pemain catur. Dia memilih terjun ke pergerakan, menjadi guru dan kepala sekolah. Setelah kemerdekaan, dia bekerja di pemerintahan sebagai residen Surakarta.
Pembentukan Percasi
Pada suatu hari, Saptogiri, pembantu pribadi Sudiro, meminta izin menggunakan pendopo kantor Karesidenan (bekas Kepatihan) untuk mengadakan pertandingan catur antara Percaso (Persatuan Catur Solo) dan Percam (Persatuan Catur Mataram).
“Sebagai seorang penggemar permainan catur, dan yakin bahwa permainan ini baik sebagai cabang olahraga maupun sebagai cabang kesenian, pasti sangat penting artinya bagi pembangunan bangsa Indonesia, penulis segera mengizinkannya,” kata Sudiro.
Ketika pertandingan berlangsung, Ketua Percam dr. Suwito Mangkusuwondo, mengusulkan untuk membentuk sebuah organisasi sebagai wadah bagi olahraga catur. Gagasan tersebut mendapat sambutan hangat.
Baca juga: Pangeran Diponegoro Suka Main Catur
Beberapa waktu kemudian, kira-kira pertengahan tahun 1948, bertempat di rumah dr. Kwik Tjie Tik di Jalan Purwosari (sekarang Jalan Slamet Riyadi) 147, berdirilah Percasi (Persatuan Catur Seluruh Indonesia).
Menurut pbpercasi.com, karena situasi saat itu belum pasti dan masih dalam masa peralihan, maka baru pada 17 Agustus 1950 ditetapkan sebagai tanggal resmi berdirinya Percasi dengan memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta berkedudukan di Yogyakarta. Terpilih sebagai ketua umum Percasi pertama adalah dr. Suwito Mangkusuwondo.
Pada 1955, kedudukan pengurus Percasi dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Selanjutnya Percasi mulai berkiprah di percaturan internasional dengan menjadi anggota Federasi Catur Internasional atau Federation Internationale Des Echecs (FIDE) pada 1960.
Catur Wanita
Percasi menggelar kejuaraan nasional (kejurnas) catur pertama kali pada 1953 di Solo. Sejak itu, kejurnas catur digelar setiap tahun, terakhir tahun 2019. Sedangkan kejurnas catur wanita baru pertama kali digelar pada September 1978 di Yogyakarta.
“Penulis yang kebetulan turut membidani lahirnya Percasi pada tahun 1948 –tepatnya 30 tahun yang lalu– telah mendapat undangan untuk menghadiri upacara pembukaan perlombaan kejuaraan itu,” kata Sudiro, mantan wali kota (kini gubernur) Jakarta Raya (1953–1960).
“…untuk pertama kalinya diadakan kejuaraan catur wanita. Menurut berita terakhir, pertandingan diikuti oleh 15 orang,” kata Sudiro yang kemudian menjadi penasihat Percasi.
Baca juga: Sepakbola Wanita Indonesia Merentang Masa
Merujuk pada pangkalan data catur Indonesia, indonesiabase.com, kejurnas catur wanita ini diselenggarakan bersamaan dengan tahap kualifikasi kejurnas ke-18 dan kejurnas junior ke-3. Kejurnas catur wanita diikuti 16 pemain dari tiga provinsi: tujuh pemain dari Yogyakarta, lima pemain dari DKI Jakarta, dan empat pemain dari Jawa Tengah.
Hasilnya cukup mengejutkan. Hanik Maria dari Jawa Tengah keluar sebagai juara nasional catur wanita pertama. Dia mengungguli pemain-pemain terbaik Indonesia, seperti Imasniti (Jakarta), Mun’yati (Jawa Tengah), dan Nanik Wijaya (Yogyakarta).
Bintang Indonesia masa depan, Darmayanti Tamin (Jakarta), yang masih berusia belasan tahun mendapat pelajaran berharga dengan menempati posisi ke-11. Kariernya mencapai puncak pada dekade 1980-an dengan menjadi juara pada kerjunas catur wanita tahun 1980 dan 1982. Dia bersama Nanik Wijaya dan Mun’yati menjadi bagian dari tim Indonesia untuk Olimpiade Catur 1982–1986.
Baca juga: Jalan Panjang Piala Dunia Wanita
Kejurnas catur wanita terus digelar hampir setiap tahun, terakhir tahun 2019. Kejurnas catur wanita ke-21 tahun 2006 melahirkan juara Irene Kharisme Sukandar yang baru berusia 14 tahun. Dia menjadi juara nasional catur wanita berturut-turut (2006, 2007, 2009, dan 2010).
Bahkan, Irene menjadi pecatur wanita Indonesia pertama yang mendapatkan gelar Women Grandmaster (WGM) pada 2009. Pecatur wanita kedua dan termuda yang menjadi WGM adalah Medina Warda Aulia tahun 2013. Dan hari ini, Senin (22/03) WGM Irene mengalahkan Dewa Kipas Dadang Subur 3-0 dalam pertandingan yang digelar oleh Master Deddy Corbuzier.