MASYARAKAT dunia mesti bersabar. Pesta olahraga musim panas terakbar, Olimpiade Tokyo 2020, terpaksa ditunda ke tahun depan akibat pandemi virus SARS-Cov-2 (virus corona). Otomatis parade obor olimpiade yang sarat sejarah pun mengalami penundaan.
Api olimpiadenya sejatinya sudah disulut pada 12 Maret 2020 dari situs kuno Heraion atau Kuil Dewi Hera di Olympia, Yunani. Api yang diwadahi dalam obor cantik bermotif bunga sakura hasil desain Tokujin Yoshioka itu diserahkan kepada petembak putri Yunani Anna Korakaki. Korakaki juga tercatat menjadi wanita pertama pembawa obor olimpiade dalam sejarah.
Merunut jadwal awal, mestinya obor olimpiade dibawa keliling ke 24 kota di Yunani dari 12 sampai 19 Maret 2020. Sayangnya pandemi corona membuat parade obor olimpiade dari Olympia itu hanya dibawa melewati kota Amaliada, Pyrgos, Kyparissia, dan Kalamata. Parade pun dilakoni tanpa penonton di sepanjang perjalanannya.
Pada 19 Maret 2020, obor olimpiade itu diterbangkan ke Jepang dan tiba di Pangkalan Udara Matsushima keesokan harinya. Menilik jadwal awalnya, obor Olimpiade itu akan dibawa keliling seantero Jepang dalam kurun 26 Maret-9 Juli. Namun penundaan olimpiade mengubah jadwal rute pawai obor yang hingga kini belum ditentukan lagi waktunya.
Benang Merah Penyambung Olimpiade Kuno
Api abadi olimpiade sudah eksis sejak adanya Olimpiade kuno dalam titimangsa 776 SM-393 M yang digelar rutin tiap empat tahun di Arena Palaestra, Olympia. Mengutip Jan Parandowski dalam The Olympic Discus: A Story of Ancient Greece, api olimpiade disulut sebelum dimulainya olimpiade dengan menggunakan sinar matahari yang dipercaya berasal dari Dewa Apollo.
Sinarnya yang dipantulkan dengan sebuah kaca cekung, lantas akan memunculkan api hingga kemudian api itu diletakkan di sebuah wadah di altar suci Dewi Hestia di Pyrtaneum yang juga menjadi tempat jamuan pesta para atlet. “Hanya para Vestal Virgins (biarawati perawan) yang boleh melakukan ritual penyalaan apinya dengan dipimpin seorang kepala biarawati pemuja Dewi Hestia,” ungkap Parandowski.
Baca juga: Cerita Olimpiade Tokyo yang terpaksa ditunda
Dari zaman ke zaman, ritual itu punah dan tak pernah lagi digagas. Termasuk ketika Athena menggelar olimpiade musim panas modern pertama pada 1896, maupun olimpiade musim dingin pertama di Charmonix, Prancis pada 1924. Ritual penyalaan api olimpiade baru digagas arsitek Olympic Stadium, Amsterdam, Jan Wils. Ia pula yang membangun Menara Marathon untuk tempat api olimpiade dinyalakan untuk Olimpiade Amsterdam 1928.
Walau sekadar simbolis karena belum sepenuhnya direka-ulang dari penyulutan obor di zaman olimpiade kuno, penyalaan api olimpiade di Menara Marathon itu jadi benang merah penyambung olimpiade kuno-modern. Ide untuk “merekonstruksi” ritual penyalaan api olimpiade yang kemudian menggulirkan pawai obor baru terjadi jelang Olimpiade Berlin 1936, yang banyak disebut sejarawan Barat sebagai “Olimpiadenya Nazi” atau “Olimpiadenya (Adolf) Hitler”.
Pawai Obor untuk Hitler
Adalah Sekjen Komite Panitia Pelaksana Olimpiade Berlin 1936 (GOOC) Carl Diem yang jadi pemrakarsa pawai obor olimpiade itu. Diungkap Anton Rippon dalam Hitler’s Olympics: The Story of the 1936 Nazi Games, gagasan Diem itu terilhami dari sejumlah pawai obor di berbagai ajang di Jerman maupun di negara lain, seperti parade dan pawai obor para mahasiswa Deustche Hochschule für Leibesübungen (Universitas Pendidikan Olahraga) pada 1922 atau pawai obor di Bulgaria dengan rute Preslaw menuju Sofia yang disaksikan Diem ketika tengah berkunjung ke negeri itu.
“Pada dua hari pertama Hitler naik ke tampuk kekuasaan sebagai Reichkanzler (kanselir), 30 Januari 1933, sudah ada pawai obor juga. Digelar malam hari oleh para anggota SA (Sturmabteilung/sayap paramiliter Partai Nazi) di sepanjang Jalan Wilhelmstrasse,” kata Alif Rafik Khan, penulis 1000+ Fakta Nazi Jerman, kepada Historia.
Baca juga: Etalase Nazi di Olimpiade
Dari pengalaman-pengalaman itulah pada Desember 1933, atau dua tahun setelah Berlin diputuskan jadi tuan rumah Olimpiade 1936, Diem mengusulkan ide pawai obor ke IOC dan langsung dikabulkan. Tentu ide itu juga dipresentasikannya kepada Der Führer Adolf Hitler.
“Pawai obor itu seolah menegaskan ambisi Hitler dengan memanfaatkan ilustrasi silsilah kemurnian ras, di mana hal itu menjadi simbol posisi yang menjembatani budaya Nazi Jerman dengan Yunani Kuno. Carl Diem sang pemrakarsanya mengklaim bahwa api Olimpiade merupakan simbol kemurnian kuno dan penggambaran awal Jerman yang modern,” tulis David Clay Large dalam Nazi Games: The Olympics of 1936.
Pada Juni 1935, Direktur olahraga GOOC Werner Klingeberger mensurvei rute dari Olympia ke Berlin sepanjang 3.075 kilometer. Dalam rencana awalnya, ia mencanangkan obor olimpiade bakal dibawa 3.422 pelari. Sementara obornya yang berbentuk sederhana seperti pedang, didesain seniman Walter E. Lemcke yang kemudian dibuat perusahaan manufaktur Krupp.
Pada hari-H, 20 Juli 1936, penyalaan api olimpiade di Olympia dilakukan oleh 11 gadis sebagai simbol biarawati Kuil Dewi Hestia. Sebagaimana di zaman kuno, apinya dinyalakan dengan sinar matahari yang dipantulkan lewat cermin cekung buatan Zeiss. Apinya kemudian diserahkan Menteri Pendidikan dan Olahraga Yunani Georga Konpulos kepada perwakilan Jerman Herr Pistorr.
“Wahai api yang dinyalakan di situs kuno yang suci, mulailah perjalananmu dan sampaikanlah salam kepada para generasi muda di seluruh dunia, untuk berkumpul di negeri kami. Sampaikan pula salam untuk Der Führer dan seluruh rakyat Jerman,” seru Pistorr kala menerima api olimpiadenya, dikutip Rippon.
Baca juga: Konsekuensi persahabatan atlet “Nazi” di Olimpiade
Api di obor olimpiade itu lantas dibawa Konstantin Kondylis, pelari pertama dari keseluruhan 335 pelari yang membawa obor itu ke kota-kota di Yunani, sampai diserahterimakan ke Raja Yunani Geórgios II di Stadion Panathenian, Athena. Dari Yunani, pawai obor berlanjut ke Sofia (Bulgaria), Beograd (Yugoslavia, kini Serbia), Budapest (Hungaria), Praha (Cekoslovakia), dan Wien (Austria) sebelum masuk ke wilayah Jerman via Dresden sampai di tujuan akhir, Olympiastadion di Berlin pada 1 Agustus 1936.
Adalah Fritz Schilgen, atlet atletik Jerman, sebagai pembawa obor olimpiade terakhir dan menyulut apinya dari obor ke kaldron di Olympiastadion. Momen fase terakhir ini direkam dengan jelas oleh Leni Riefenstahl yang membuat film propaganda Nazi tentang olimpiade itu dengan tajuk Olympia.
Warisan “Olimpiadenya Hitler” itu lantas menjadi tradisi yang terus dilakoni sebelum pembukaan olimpiade hingga hari ini. Ironisnya, simbol kemurnian itu justru menyebabkan dua olimpiade selanjutnya, , yakni Olimpiade Tokyo 1940 dan Olimpiade London 1944, batal digelar gegara Hitler memulai Perang Dunia II.
Baca juga: Asa yang kandas di Olimpiade Negeri Sakura