KAMAR sederhana itu setengah temboknya berkeramik. Beberapa foto seorang pembalap motor sedang beraksi memenuhi salah satu sisi dinding itu. Sebuah walker, alat bantu jalan mirip jemuran kecil, teronggok di sudut lain.
Kamar itu merupakan kamar sebuah panti jompo Panti Wreda Karitas, Cimahi. Di kamar sederhana itulah Tjetjep Euwyong Heriyana, legenda hidup balap motor Indonesia, menjalani hari tuanya.
Sudah sejak 2016 pembalap berdarah Tionghoa itu menjadi penghuni di sana. Meski masih punya empat anak, Tjetjep hidup sebatang kara. Dia tak ingat lagi kapan terakhir kali keluarganya datang. Hanya dua sahabatnya yang masih punya pertalian darah dengan mantan pembalap Bun Ki Yit, Leo dan Max Bunardi, yang kerap datang menjenguknya.
Tak satupun foto istri atau anak-anak Tjetjep yang menempel di dinding kamarnya. “Ya memang tidak ada (foto keluarga). Tinggal itu saja (foto-foto lawas) yang tersisa. Piala-piala zaman dulu sudah pada hilang entah ke mana. Ya karena sebelumnya kan tinggal sama anak-anak pindah-pindah,” kata Tjetjep, menceritakan koleksi foto pajangan dindingnya yang hanya berisi foto masa keemasannya sebagai pembalap (1954-1974), kepada Historia.
Dengan mata sayu, Tjetjep bercerita bahwa dulu dia memang pernah ditampung berpindah-pindah dari rumah anak yang satu ke rumah anak lainnya. Kadang di Bekasi, Gedebage (Bandung), Lembang, dan Bali. Pada akhirnya Tjetjep memilih untuk menetap di panti jompo.
Warna mukanya berubah cerah ketika topik obrolan berganti dari persoalan keluarga ke pengalamannya semasa menjadi pembalap. Semangatnya berkobar lagi kala menceritakan bagaimana awalnya berkenalan dengan dunia balap.
Tjetjep, yang lahir di Bandung pada 1939, baru mengenal dunia balap ketika remaja, 1950-an. Dia langsung gemar. Kegemaran itu dia seriusi sampai akhirnya menjalani debut balapan resmi perdana pada sebuah ajang road race di Tanjung Perak, Surabaya pada 1954.
“Dari muda mah sudah suka kebut-kebutan di kota. Bapak saya bilang, ‘kalau berani, balapan di lapangan (sirkuit balap) saja.’ Ya saya mulai balapan tahun 1954 di Surabaya, pakai motor (merk) Jawa 350cc buatan Cekoslovakia. Lawannya waktu itu masih banyak orang-orang Belanda. Saya kalah di balapan pertama itu,” tuturnya dengan logat Sunda.
Bukan Tjetjep namanya kalau patah arang. Sejumlah ajang balap terus dia ikuti kemudian. Sayangnya, dia tak ingat lagi menang atau kalahnya. Yang pasti, Tjetjep pernah memenangi Grand Prix (GP) Curug pada 1958 di Lapangan Terbang API (Kini STPI/Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia) Curug. “Tjetjep meraih (juara) pemenang pertama untuk klas senior 500cc yang diadakan di lapangan terbang API yang diselenggarakan oleh Posidja bersama Persatuan Penggemar Sepeda Motor BSA Djakarta,” tulis suratkabar Bintang Timur, 25 Juli 1958.
Pada 1960-an, Tjetjep merambah Asia. "Sebelum zaman Pak Harto (Soeharto,presiden kedua) itu sulit bikin visa untuk balapan di luar negeri. Baru setelah 1966, zamannya Pak Harto, itu dipermudah buat pembalap tampil di luar negeri. Makanya ya kira-kira tahun 1966-lah baru pertama ikut GP di luar Indonesia," kenang Tjetjep.
Dia beberapa kali mencicipi Grand Prix di Singapura, Malaysia, hingga Makau. Prestasi terbaiknya baru dicapainya di GP Makau 1970. Ketika itu, Tjetjep dibawa tim Yamaha dan meraih podium ketiga dengan menunggangi motor Yamaha TR2. Rekan setimnya, Benny Hidayat, memijak podium pertama alias juara dengan motor Yamaha YSI.
Nahas, Tjetjep terpaksa gantung helm pada 1974. Kecelakaan parah di GP Batu Tiga, Kuala Lumpur, Malaysia, memastikan kondisi fisiknya tak lagi bisa melanjutkan karier balap. Sekitar sebulan Tjetjep menjalani perawatan patah tangan dan kaki di sebuah rumahsakit di Malaysia sebelum akhirnya dipindah perawatannya ke tanah air.
“Di awal-awal sih enggak terlihat dia kenapa-kenapa. Tapi kemudian di pertengahan balapan, dia jatuh. Jatuhnya tidak ada insiden dengan pembalap lain, ya jatuh sendiri saja, begitu. Mungkin fisiknya masih kelelahan karena kan dia pas saat itu belum sepenuhnya sembuh dari cedera bahu sehabis jatuh sebelumnya,” ungkap Benny Hidayat kepada Historia.
Kondisi fisik itu masih membekas di hari tuanya. Untuk berjalan, Tjetjep mesti dibantu sebuah walker. “Tapi untuk berdiri sih masih bisa. Sedikit-sedikit belajar jalan lagi pakai ini,” kata Tjetjep sambil menunjuk walker-nya.
Kehidupannya perlahan memburuk selepas tak lagi balapan. Dia sering menganggur. Pekerjaannya hanya serabutan menjadi tukang kayu dan kusen. Selebihnya, dia menjalani hari-harinya dalam keprihatinan tanpa perhatian sedikit pun dari pemerintah hingga harus “ditampung” bergantian di rumah keempat anaknya sebelum menetap di panti jompo.
“Ya yang namanya olahragawan zaman dulu ya. Dari pemerintah ya memang seperti tidak ada perhatian. Tidak seperti atlet-atlet sekarang yang bagus ekonominya. Tjetjep ya sekarang begini saja, sendiri di panti jompo. Kita yang kadang-kadang suka jenguk ke sini,” sahut Max Bunardi.