Sumatra Utara, khususnya Kota Medan, banyak melahirkan jago-jago rumput hijau yang bermain di berbagai klub, mulai PSMS Medan yang dulu tampil di kompetisi amatir, Perserikatan, hingga Pardedetex dan Mercu Buana di kompetisi semiprofesional, Galatama (Liga Sepakbola Utama).
Sebut saja Bambang Nurdiansyah dan Djadjang Nurdjaman (Djanur) yang sekarang membesut Persib Bandung di Liga 1 Indonesia. Keduanya pernah merumput di Mercu Buana yang bermarkas di Stadion Teladan, Medan. Djanur berseragam Mercu Buana dengan posisi winger (pemain sayap) selama tiga tahun (1982-1985).
Mercu Buana didirikan oleh Probosutedjo, adik Presiden Soeharto. Klub ini dinamai sesuai perusahaan yang didirikannya, PT Mercu Buana. Mercu Buana bermarkas di Medan karena Probo pernah menjadi guru di sana pada 1950-an dan beristri orang Pematang Siantar. Kelak, Probo juga mendirikan universitas bernama Mercu Buana pada 1985.
Dalam memoarnya, Saya dan Mas Harto, Probo mengaku memiliki obsesi terhadap sepakbola, selain tenis. Dia terdorong membuat klub sepakbola karena melihat tim nasional kerap kedodoran. “Saya tertarik membuat klub sepakbola sendiri, nama Mercu Buana pun kemudian saya niatkan untuk menjadi nama klub,” kata Probosutedjo.
Mercu Buana terbentuk setelah melewati proses yang cukup panjang untuk menyaring pemain-pemain potensial dan mencari pelatih yang unggul. “Saya danai program latihan mereka, termasuk menyediakan asrama, gaji, makanan yang sesuai kebutuhan olahragawan, sampai mendatangkan pelatih dari Inggris,” kata Probosutedjo.
Mercu Buana tampil perdana di Galatama pada musim 1980-1982 setelah melalui turnamen play off seleksi Galatama pada 1980. Di seleksi play off itu, Mercu Buana nyaris tak terkalahkan. Melawan enam tim lainnya, Mercu Buana hanya sekali kalah dari klub Angkasa, 2-1 di laga pamungkas. Di klasemen akhir, Mercu Buana bercokol di posisi tiga di bawah UMS 80 dan Angkasa yang sukses jadi kampiunnya.
Musim demi musim, Mercu Buana mencuat jadi salah satu tim kuat. Bahkan, di musim 1983-1984, Mercu Buana mencapai partai final. Sayangnya, mereka kalah 0-1 dari Yanita Utama yang turut diperkuat Bambang Nurdiansyah, mantan pemain Mercu Buana.
Namun, di musim berikutnya, prestasi Mercu Buana merosot. Di musim 1984-1985, mereka hanya menempati posisi tujuh klasemen dan menjadi kesempatan terakhir berlaga di Galatama.
“Selama beberapa tahun klub ini berjalan cukup baik. Namun, lama-kelamaan saya melihat mulai muncul ketidakdisiplinan. Berbagai laporan kurang baik juga mampir ke telinga saya tentang betapa lemahnya semangat para pemain untuk berlatih. Saya masih mencoba mempertahankan sambil mengevaluasi diri karena saya juga kurang waktu untuk ikut memonitor,” kata Probosutedjo.
Namun, suatu kali dalam sebuah pertandingan di Bogor, Probosutedjo melihat sesuatu yang mencurigakan dalam tim Mercu Buana. Bola dibiarkan masuk, sementara posisi kiper memungkinkan untuk menangkapnya.
Akhirnya, Probosutedjo tak bisa lagi mempertahankan Mercu Buana. Dia kecewa berat karena para pemain Mercu Buana terlibat skandal suap. “Belakangan saya tahu bahwa pemain-pemain di klub saya sudah disuap dan mereka mau menerimanya. Bukan main kecewanya saya. Mercu Buana kemudian saya tutup. Tidak ada pentingnya mengembangkan klub yang sudah dikotori mental suap,” kata Probosutedjo.
Skandal suap yang menimpa Mercu Buana juga dialami Perkesa 78. Bedanya, Perkesa 78 batal dibubarkan dan terus berlaga di Galatama dengan berpindah tempat menjadi Perkesa Sidoarjo lalu Perkesa Mataram. Sedangkan Mercu Buana dibubarkan untuk selamanya.