Masuk Daftar
My Getplus

Lotere untuk PON

Tak ada uang, lotere pun jadi. PON pertama di era Orde Baru bakal urung terlaksana jika tanpa lotere.

Oleh: Aryono | 04 Feb 2014
Acub Zainal, komandan Korem 084/Bhaskara Jaya, yang berhasil menyelenggarakan PON VII di Jawa Timur tahun 1969. Foto: repro buku "Acub Zainal, I Love The Army," karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk.

PERSIAPAN PON VII tahun 1969, ajang olahraga empat tahunan yang pertama di masa Orde Baru, nyaris tak bisa digelar. Maklum, kondisi politik dan ekonomi belum sepenuhnya stabil. Tak heran jika banyak daerah menolak menjadi tuan rumah dengan alasan tak punya dana.

Di Jawa Timur, setelah Gerakan 30 September 1965, Operasi Trisula menghancurkan berbagai unsur Partai Komunis Indonesia. Menurut Pangdam VIII/Brawijaya, M. Jassin, Operasi Trisula dan peng-Orba-an di Jawa Timur berhasil.

“Atas hal ini, Sultan Hamengkubuwono IX, selaku ketua KONI Pusat, menunjuk Jawa Timur sebagai tuan rumah PON pertama di era Orde Baru,” kata Jasin dalam memoarnya, M. Jassin, Saya Tak Pernah Meminta Ampun Kepada Soeharto

Advertising
Advertising

Namun, seperti daerah lainnya, Jawa Timur lagi berbenah. Kas daerah tak mencukupi untuk mendanai kegiatan sekelas PON. Para elite Jawa Timur, seperti Gubernur Mohammad Noer, Pangdam VIII/Brawijaya M. Jassin, Walikota Surabaya R. Soekotjo, dan komandan Korem 084/Bhaskara Jaya Acub Zainal berdiskusi bagaimana memenuhi permintaan pemerintah pusat.

Di tengah kebingungan, Acub Zainal bersedia mencarikan dana. Caranya, dengan menyelenggarakan lotere dalam bentuk Lotto (lotere totalisator). Cara kontroversial ini pernah diterapkan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin untuk membangun daerahnya. Meski heran dengan langkah Acub, semua yang hadir menyetujui.

“Saya tegaskan PON VII ini merupakan titik tolak untuk membangkitkan kembali nationalbewustzijn –kesadaran nasional– yang sudah berkurang sejak PON V yang lalu,” kata Acub dalam biografinya, Acub Zainal, I Love The Army karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk. Acub kemudian diangkat sebagai ketua I eksekutif panitia besar PON VII.

Pemerintah kota Surabaya lalu mengeluarkan Lotto PON. Selain menggalang dana, lotere ini dimaksudkan untuk menertibkan perjudian gelap yang marak.

Dalam tempo delapan bulan, Acub sanggup membangun stadion Tambaksari, yang kemudian ganti nama jadi Stadion Gelora 10 November. Selain membangun fasilitas olahraga, dana lotere dipakai untuk memperlebar Jalan Raya Darmo menjadi jalan protokol dengan menghilangkan jalan trem kota.

Penolakan pun muncul dari masyarakat. Di Surabaya, Acub menemui undangan dari ulama dan pemuda yang tak setuju dengan lotere. Acub bergeming dan menjelaskan bahwa hanya dengan lotere dapat terkumpul dana besar untuk menggelar PON.

Lotere PON ala Acub juga menuai kritik dari pemerintah pusat. Menteri Sosial AM Tambunan mengeluarkan instruksi untuk menutup Lotto PON. Acub bahkan diundang ke Jakarta untuk memberikan penjelasan. Pada akhirnya, Lotto PON tetap berjalan. Dan PON VII pun sukses terselenggara pada 26 Agustus-6 September 1969, yang dibuka Presiden Soeharto. Sayangnya, tak diketahui berapa uang yang terkumpul dari hasil lotere tersebut.

Atas prestasinya menyelenggarakan PON VII dengan dana dari lotere, Acub Zainal dipromosikan menggantikan Sarwo Edhie Wibowo sebagai Panglima Daerah Militer Irian Barat.

Pada 1970-an, cara pemerintah kota Surabaya ditiru pemerintah pusat, melalui Kementerian Sosial, dengan menjual undian olahraga berhadiah dengan nama Nalo (Nasional Lotere).

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Serdadu Ambon Gelisah di Bandung Permina di Tangan Ibnu Sutowo Sudirman dan Bola Selintas Hubungan Iran dan Israel M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Tradisi Sungkeman