SEBAGAIMANA menjalani bahtera rumah tangga yang harmonis, prestasi manis bakal terus berbuah bagi seorang atlet ganda campuran di arena bulutangkis jika punya pasangan yang “nge-klik”. Jika pasangan sejiwanya sudah tak lagi di sisi, berapakalipun mencoba kawin, ujungnya cerai tiada arti seperti yang dialami Tontowi Ahmad.
Sepanjang kariernya sejak 2010, pebulutangkis yang akrab disapa Owi itu begitu harmonis berpasangan dengan Liliyana Natsir (Butet) di berbagai ajang dan hasilnya pun manis. Raihan emas Olimpiade Rio de Janeiro 2016 jadi capaian tertinggi pasangan itu.
Akan tetapi, semua itu berubah sejak Butet memutuskan pensiun pada Januari 2019. Prestasi Owi langsung menurun drastis hingga akhirnya memutuskan pensiun dari Pelatnas PBSI dan sebagai atlet profesional per 18 Mei 2020. Owi berlasan tak dihargai PBSI lantaran sejak Desember 2019 berstatus atlet magang.
Mengklarifikasi Owi, Kepala bidang Pembindaan dan Prestasi PBSI Susy Susanti menyatakan di laman resmi PBSI, 19 Mei 2020, status itu lantaran Owi belum punya pasangan tetap.
Baca juga: Olimpiade Tokyo Punya Cerita
Sejak “cerai” dari Butet, Owi sempat dipasangkan dengan beberapa pemain putri lain seperti Winny Oktavina Kandow hingga Apriyani Rahayu. Bersama Winny sepanjang 2019, Owi gagal memenuhi ekspektasi lolos kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020. Sementara Apriyani yang dijajal berpasangan dengan Owi pada awal 2020, akhirnya diputuskan PBSI untuk difokuskan pada sektor ganda putri bersama Greysia Polii karena keduanya sudah lolos kualifikasi olimpiade.
Banyak pihak menyesalkan keputusan Owi. Salah satunya legenda ganda putra dan ganda campuran Christian Hadinata. Menurutnya, pengalaman Owi masih sangat dibutuhkan untuk jadi pengayom dan penjembatan tongkat estafet demi menyambung era kejayaan ganda campuran kepada para juniornya. Seperti duet Praveen Jordan/Melati Daeva Oktaviani, misalnya. Meski sempat bikin kejutan dengan menjuarai All England pada Maret 2020 lalu, keduanya belum semapan Owi/Butet karena masih mencari performa terbaik.
Mundurnya Owi dikhawatirkan mengakibatkan terjadi kekosongan prestasi berkelanjutan di ganda campuran, nomor yang sejak 1970-an disebut sebagai sektor “buangan” namun berhasil dipatahkan Christian.
Pasangan-Pasangan Christian Hadinata
Meski Indonesia berlimpah prestasi dari ganda campuran, problem klasik “kawin-cerai” karena mengundurkan diri atau pensiun acap memengaruhi kontinuitasnya. Namun, hal itu tak berlaku buat Christian Hadinata. Meskipun pada 1970-an acap dibongkar-pasang oleh pelatihnya, ia nyaris tak pernah kering gelar.
Di masa itu, secara tak tertulis semua pemain pelatnas diwajibkan untuk bisa main rangkap sektor. Pemain-pemain tunggal seperti Rudy Hartono atau Liem Swie King pun tak jarang turun di nomor tunggal putra dan ganda putra dalam satu ajang. Sementara pemain spesialis ganda putra seperti Tjun Tjun dan Christian sering merangkap ganda campuran.
“Para senior saya di pelatnas juga biasanya yang tunggal putra selalu merangkap jadi ganda. Walau saat itu tidak ada secara spesifik pemain yang khusus berlatih di sektor itu, baik ganda putra maupun ganda campuran. Saya juga awalnya merangkap tunggal dan ganda. Akhirnya saya memilih di ganda putra dan campuran, sebenarnya strategi juga karena waktu itu di tunggal putra persaingannya hebat,” terang Christian kepada Historia.
Baca juga: Ganda Campuran, dari Pemain Sisaan Jadi Andalan
Di Pelatnas PBSI untuk ganda campuran, sejak 1971 Christian pernah dipasangkan dengan lima pemain putri: Retno Koestijah, Utami Dewi, Regina Masli, Imelda Wigoena, dan Ivana Lie. Lazimnya, pasangan-pasangan itu dipilih tim pelatih dengan melihat catatan performa si pemain putri sebelumnya, baik yang dari tunggal putri maupun ganda putri.
“Pertamakali tampil di sektor itu (ganda campuran) di Kejuaraan Asia 1971. Selain ganda putra saya pasangan sama Ade Chandra, di ganda campuran saya berpasangan dengan Mbak Retno Koestijah dengan prestasi yang cukup baik, sehingga bisa kembali mewakili Indonesia di All England 1972,” kata Christian.
Mengutip Rahasia Ketangguhan Mental Juara Christian Hadinata karya Dr. Monty P. Satiadarma, di Kejuaran Asia itu Christian/Retno sukses membawa pulang gelar juara, meski di All England mereka gagal. Christian hanya mendapat juara di ganda putra bersama Ade Chandra. Setelah itu, di ganda campuran Christian dipasangkan dengan Utami Dewi. Keduanya tampil di ajang demonstrasi cabang bulutangkis di Olimpiade Munich 1972 dan pulang dengan mengalungi medali perunggu.
Setelah Utami Dewi menjadi warga negara Amerika Serikat, Christian “dikawinkan” dengan Regina Masli. Pasangan Christian/Regina sukses mendulang prestasi.
“Di Asian Games 1974, saya berpasangan dengan Christian Hadinata. Kala itu, lawan paling kuat buat kita adalah wakil-wakil dari China. Yang terkuat itu Tang Xianhu/Chen Yuniang waktu ketemu di semifinal. Kita berdua senang sekali bisa menang straight set dari mereka waktu itu,” kata Regina kepada Historia, mengingat momen itu setelah kemudian mereka menyabet emas usai mengalahkan pasangan Indonesia lain, Tjun Tjun/Sri Wiyanti.
Baca juga: Utami Dewi, Srikandi Bulutangkis Putri
Setelah bersama Regina, Christian dipasangkan dengan Imelda. Selain menjuarai ajang-ajang turnamen terbuka, Christian/Imelda berjaya memenangkan All England 1979, Kejuaraan Dunia 1980, serta emas di SEA Games 1979 dan 1985.
Terakhir berduet dengan Ivana Lie, Christian merebut emas Asian Games 1982 dan menjuarai Badminton World Cup 1985. Rangkaian prestasi tersebut menjadikan Christian spesialis ganda campuran, di luar ganda putra.
Mengenai dua nomor berbeda yang ditekuninya sekaligus itu, Christian berkomentar. “Kalau di ganda putra kita lihat ada keseimbangan ya, dua-duanya ada tugas masing-masing untuk main di belakang dan di depan. Kalau ganda campuran lebih banyak meng-cover atau mem-back up putrinya. Karena biasanya yang diincar itu putrinya. Jadi bagaimana supaya saya memukul shuttlecock sedemikian rupa supaya pukulan lawan kalaupun mengarah ke partner saya, tidak jadi hal yang sulit. Partner putri saya yang lebih menguras konsentrasi. Apalagi di ganda putra, saya lebih sering main di depan. Di ganda campuran saya harus lebih banyak di belakang. Itu yang membedakan,” imbuhnya.
Baca juga: Gelar Juara Dunia Christian Hadinata yang Tak Disangka
Dalam latihan pun Christian mesti memahami karakter pemain yang dipasangkan dengannya agar bisa menyesuaikan dengan taktik permainan. Dengan Retno Koestijah, misalnya, Christian harus paham bahwa partner srikandi Minarni Soedarjanto di ganda putri itu punya kelebihan bermain di depan tapi punya kelemahan ketika harus bermain di belakang.
“Kalau dengan Regina agak unik. Dia bagus di depan maupun belakang. Smash dia cukup keras. Jadi kita tidak terpaku seperti ganda campuran pada umumnya, kita bisa rotasi. Sementara kalau Imelda, dia seperti Mbak Kus, spesialis di depan dan netting Imelda itu bagus,” tambahnya.
“Dengan Ivana juga unik karena dia aslinya pemain tunggal putri, bukan ganda. Jadi kalau dia di belakang, saya tidak khawatir karena dia pemain tunggal pasti kuat di belakang. Drop shot-nya bagus, smash-nya ke pinggir bagus, jadi saya enggak khawatir walau saya di depan. Itulah keunikan partner-partner saya.”
Baca juga: Christian Hadinata Ingin Seperti Franz Beckenbauer