SEDARI kebetulan, malah jadi keterusan. Muthia Datau sejak kecil tak pernah menyangka dirinya bakal jadi tenar gara-gara sepakbola. “Dari sepakbola, semua orang mengenal saya. Orang (publik) kalau kenalnya, ya Muthia yang kiper itu ya?,” cetus Muthia saat berbincang dengan Historia di sela-sela syuting FTV-nya di Pondok Kacang Barat, Tangerang Selatan.
Padahal, Muthia merintis karier lewat dunia hiburan di akhir 1970-an. Berawal dari foto model majalah, Muthia lalu menjuarai ajang Abang-None Jakarta Barat 1978, jadi Ratu Jakarta Fair, membintangi sejumlah iklan, dan terjun ke dunia layar lebar.
“Ya kebetulan cocok ketika ada yang menawari main film, ya sudah (mulai membintangi film). Dulu pertamakali main film layar lebar, judulnya Sepasang Merpati (1979). Terus lanjut ada Malu-Malu Kucing, Sirkuit Kemelut. Banyak kok, sekitar enam film,” lanjutnya.
Perempuan kelahiran Lampung, 12 Agustus 1959 dari pasangan Yan Datau dan Siti Nurhayati itu mengaku tak banyak kesulitan mengatur jadwalnya di dunia hiburan dan sepakbola. Di era 1980-an, kompetisi di sepakbola putri jadwalnya tak seketat kompetisi putra.
“Itu (terjun ke dunia film) saya masih bermain, lho. Ya on-off, on-off gitu. Kita itu kan kompetisi enggak selalu ada. Jadi kadang hanya Pertiwi Cup, Kartini Cup atau Galanita (Liga Sepakbola Wanita) yang habis dalam setahun sekali. Selama itu enggak ada, apa salahnya (nyambi main film)?,” kata Muthia.
Bintang di Bawah Mistar Gawang
Muthia berkisah, sejak pra-remaja dirinya yang tomboy hobi mengejar dan menendang bola bersama teman-teman pria di jalan dekat rumahnya di Grogol, Jakarta Barat. “Ketika umur 14 tahun (1973), ada pelatih kiper yang tinggalnya satu jalan sama rumah saya. Dia sering lihat saya main bola dengan laki-laki. Ya karena waktu itu di lingkungan rumah saya hanya saya anak cewek,” kata Muthia. Ibnu Saipur, pelatih kiper tim sepakbola Buana Putri itu lalu kepincut. “Suatu ketika, dia panggil saya. Ditawari, mau main bola, enggak? Tapi khusus perempuan semua,” lanjutnya.
Muthia yang tertarik lalu ikut Saipur ke kamp latihan tim Buana Putri di Lapangan ABC, Senayan. “Dua tahun saya latihan dan setelah itu masuk tim inti Buana Putri. Keluarga sih enggak keberatan ya, asal positif. Ini kan olahraga. Mereka support. Kenapa posisi saya pilih kiper? Ya karena memang saya dari awal dilatihnya sama Pak Saipur itu. Kebetulan dia juga melihat saya cocok jadi kiper,” kata Muthia.
Muthia pun jadi benteng terakhir andalan klub. Kebintangannya terus bersinar hingga akhirnya jadi satu dari sedikit faktor penentu kejayaan Buana Putri. Kegapeannya tak hanya terjadi di turnamen macam Kartini Cup, namun juga di Galanita yang baru digulirkan PSSI pada 1980.
Muthia turut mengantarkan Buana Putri juara Galanita pada 1982. Kompas 1 November 1982 melaporkan, Buana Putri menyisihkan delapan peserta lainnya. Di partai final yang dimainkan di Stadion Kuningan (kini Stadion Soemantri Brodjonegoro), Muthia sukses mengawal gawangnya sama sekali tak kebobolan. Buana Putri menang 4-0 atas Putri Pagilaran asal Batang, Jawa Tengah.
Di level internasional, Muthia sudah jadi andalan timnas putri Indonesia sejak 1977. Di tahun itu pula kenangan termanis sepanjang karier Muthia terjadi. “Yang benar-benar diingat itu, ketika saya ikut tampil di Taiwan, di Asian Women’s Football itu. Perasaannya, bangga betul dipilih jadi penjaga gawang utama,” kata Muthia mengingat.
Di turnamen yang dihelat pada 2-11 Agustus 1977 di Taiwan itu, Indonesia berada di Grup A selama babak penyisihan. Meski kalah 0-5 dari tuan rumah, Indonesia bangkit di laga kedua menghadapi Jepang. “Bayangin, ketika itu Jepang kalah sama kita 1-0. Beberapa tahun kemudian, dia (timnas wanita Jepang) jadi juara dunia (Piala Dunia Wanita 2011),” tambah sosok yang mengidolakan legenda kiper Jerman Sepp Maier dan Yudo Hadianto tersebut.
Namun, langkah Indonesia terhenti di semifinal lantaran keok 1-2 dari Thailand. Di pertandingan perebutan juara ketiga pun Indonesia menyerah dua gol tanpa balas dari Singapura.
Toh, posisi keempat di Taiwan tetap membanggakan bagi publik sepakbola tanah air. Bersama runner up ASEAN Women’s Championship 1982, prestasi di Taiwan itu hingga kini masih jadi pencapaian tertinggi timnas putri Indonesia.
Muthia sendiri pensiun dari timnas pada 1980. Beberapa tahun kemudian, dia total gantung sarung tangan setelah menikah dan punya anak. Setelah tak lagi main film, Muthia banting setir jadi karyawan bank.