TRIBUN Stadion Stamford Bridge lengang. Tiada keriuhan fans seperti biasa ketika Chelsea menjamu lawan-lawannya. Hanya beberapa wartawan foto dan staf klub yang terlihat pada Sabtu, 6 Juli 2019, itu.
Begitulah suasana kemunculan kembali Fran Frank Lampard ke markas klub yang pernah dibelanya selama 13 tahun itu. Lampard kembali muncul ke publik untuk diperkenalkan sebagai pelatih anyar Chelsea FC dengan durasi kontrak tiga tahun ke depan. Dia menggantikan Maurizio Sarri yang di depak di akhir musim lalu.
Sepanjang kariernya sebagai pemain (2001-2014), Lampard menjadi anak emas kesayangan fans dan tim, mengungguli pemain senior lain semisal John Terry. Lampard juga jadi orang Inggris pertama yang menukangi The Blues, julukan Chelsea, sejak dua dekade silam.
Tapi, apakah penunjukannya tepat? Fans Chelsea sendiri terbelah. Sebagian sangat suportif, lainnya pesimis bahwa penunjukannya hanya akan jadi “euforia” sementara sebagaimana comeback Ole Gunnar Solskjær ke Manchester United dari pemain menjadi pelatih, musim lalu. Biar waktu yang menjawab nanti.
“Pemilihan Lampard menurut saya pilihan menarik. Sebagai pelatih dia masih muda. Memiliki history yang kental dengan Chelsea. Tapi Lampard harus lebih kerja keras untuk Chelsea, khususnya pada pemain karena tim ini berbeda situasinya. Tugasnya lebih sulit untuk menemukan pola permainan yang kini tanpa (eks-bintang yang dibeli Real Madrid, Eden) Hazard,” tutur Irfan Sudrajat, Wakil Pemred TopSkor, kepada Historia.
Baca juga: Setan Merah Berharap Tuah
Pengalaman Lampard sebagai pelatih profesional memang masih minim. Portfolionya baru terisi pengalaman melatih klub Derby County, yang tidak diselesaikan penuh dari kontraknya selama tiga tahun. Ia gagal membawa The Rams promosi dari kasta Champions League ke Premier League.
“Saya masih ragu musim depan Chelsea bisa sukses. Untuk bisa ke posisi empat lagi pun mungkin butuh perjuangan keras. Manajemen Chelsea harus mendukung penuh. Setidaknya baru bisa dilihat dari dua musim ke depan. Bagi Lampard, ini peluang bagus dan soal tekanan, saya nilai dia sudah bisa mengatasinya dari pengalaman di Derby. Kiranya perlu dua musim juga untuk Lampard membangun Chelsea dengan situasi ini,” sambung Irfan.
Tekanan bukan hal asing bagi Lampard. Kariernya yang berujung pada gelar “anak emas” dirintisnya sejak 1995 dengan modal kegigihan melewati tekanan demi tekanan.
Mental yang Ditempa Sejak Belia
Frank James Lampard dilahirkan di Romford, kota kecil di timur laut London, pada 20 Juni 1978 dari pasangan Frank Richard George Lampard dan Patricia Harris. Sejak bayi, ia sudah dikenalkan dengan bola oleh ayahnya yang juga eks pesepakbola West Ham United dan timnas Inggris seangkatan Bobby Moore.
Lampard kecil tak pernah merasakan hidup susah sebagaimana pesepakbola legendaris lain. Hidupnya berkecukupan secara materi lantaran sang ayah sukses berbisnis properti usai pensiun dari sepakbola.
Kendati amat menyukai sepakbola, olahraga itu bukan pilihan pertama Lampard ketika memutuskan merintis karier. Lampard lebih dulu menjajal kriket. Jurnalis senior Inggris Douglas Thompson dalam Frank Lampard: The Biography mengungkap, saat Lampard sekolah di Brentwood School, banyak guru dan pelatihnya membicarakan potensinya jadi atlet kriket profesional. Lampard diprediksi mungkin bisa jadi pemain nasional Inggris.
Pada akhirnya, Lampard lebih memilih sepakbola karena “paksaan” ayahnya. Baginya sepakbola bukan lagi opsi, melainkan jalan hidup yang disiapkan sang ayah. Tiada yang lebih diinginkan Frank Sr. terhadap putranya selain mengikuti jejaknya. Maklum, Lampard merupakan anak laki-laki pertama. Kedua kakaknya perempuan.
Lampard setengah terpaksa merintis nama sejalur dengan ayahnya, dengan bergabung ke dalam Youth Training Scheme (YTS), sekolah sepakbola di bawah naungan West Ham United, klub tempat ayahnya mengabdi sejak 1967-1985, pada 1 Agustus 1992. “Saya hampir bergabung ke Spurs (Tottenham Hotspur, red.) atau Arsenal. Tapi pada akhirnya saya memilih West Ham. Klub yang sejak kecil saya dukung,” ujar Frank Jr.
Baca juga: Tottenham Hotspur Tak Pernah Lelah Bertempur
Terus berkembangnya permainan Lampard membuatnya terpilih masuk tim muda West Ham dua tahun berselang. Pada 1995, Lampard teken kontrak profesional pertamanya kendati dirinya lantas dipinjamkan ke klub Swansea City selama semusim.
Namun, memiliki ayah populer di dunia sepakbola justru menambah berat langkah Lampard dalam membangun karier profesionalnya. Tekanan psikis yang diterimanya tak ringan seiring bermunculannya nada-nada sumbang. Paling kentara adalah isu nepotisme bahwa ia pemain “titipan”. Maklum, pada 1992 itu pamannya, Harry Redknapp, menjadi asisten pelatih tim senior klub. Belum lagi ayahnya, Frank Sr., comeback ke klub sebagai pencari bakat dan pelatih tim akademi.
Tekanan mental berat itu pada akhirnya membuat Lampard harus berlatih dan bekerja ekstra demi memberi bukti bahwa ia bukan pemain “titipan”. Hal itu pula yang dipesankan sang ayah kepadanya. “Jawablah dengan permainan sepakbola. Saya bilang padanya, semua pemain pernah menderita, bahkan Bobby Moore pun pernah. Yang terpenting bagaimana mengatasinya,” ujar Frank Sr. memberi nasihat.
Rumor nepotisme sejatinya bukan barang baru bagi Lampad. Saat masih bermain untuk tim sekolah pun isu itu sudah menghinggapinya lantaran Frank Sr. juga ikut melatih tim sekolahnya.
Namun, tekanan psikis di level profesional tentu jauh berbeda. Utamanya, saat Lampard kembali dari masa pinjaman dan menjalani debutnya untuk tim senior The Hammers di laga resmi, 31 Januari 1996, pada usia 17 tahun. Kala itu West Ham menjamu Coventry City. Beberapa penonton di tribun Upton Park menyorakinya, yang masuk sebagai pemain pengganti John Moncur.
“Saya masih belia saat menjalani laga pertama itu. Sulit di usia saat itu menerima sorakan itu karena belum punya pengalaman. Anda berupaya tak peduli tapi tetap sakit rasanya. Banyak sorakan dan cemoohan yang terdengar dan itu mengecewakan. Sambutan mereka membuat saya ingin pergi dari klub,” kenang Lampard.
Namun, kegigihan membuat Lampard bertekad pantang mundur. Hal itu membuatnya jadi pribadi yang lebih kuat. Ia berlatih dua kali lebih keras dari rekan-rekannya. Rio Ferdinand, sahabat yang seangkatan sejak akademi, jadi salah satu sosok penting yang membuat Lampard bisa melalui masa-masa sulit itu.
“Dengan Rio Ferdinand menjadi sahabat, sangat membantu putra saya dalam perkembangannya,” kata Frank Sr.
Soal isu nepotisme, sang ayah dan sang paman Harry Redknapp jelas membantah. Dalam bukunya, Harry Redknapp: My Autobiography, Harry mengatakan: “Saya kecewa pada beberapa fans di tribun tertentu yang memberinya kesempatan dan kepercayaan di awal-awal penampilan Frank Jr. Penonton juga mengarahkan cemoohannya pada saya dan Frank Sr. Situasinya juga sama dengan saya dan Jamie. Tapi saya percaya bahwa keputusan saya memainkan Frank Jr. adalah tepat secara profesional.”
Baca juga: Akhir Hayat Sang Penyelamat
Butuh waktu hampir dua musim bagi Lampard untuk bisa melalui “siksaan” itu dan mengubahnya jadi pujaan fans. Hingga 2001, total ia tampil dalam 148 laga dengan 24 gol. Bintangnya kian benderang ketika ia kemudian bergabung ke klub elite Chelsea.
“Sebelum saya bisa membuktikan diri, publik sangat skeptis. Ragu apakah saya ada di sini karena koneksi keluarga. Yang saya dapatkan hanya tuduhan bahwa saya bisa bermain hanya karena ayah dan paman saya. Sorakan itu hadir baik laga kandang maupun tandang. Sering terdengar komentar, ‘Anda tak sebagus ayah Anda.’ ‘Untuk mengikat tali sepatu saja Anda belum pantas.’ Sakit rasanya dan menumpuk jadi tekanan,” sambung Lampard.